“Aku sama Mas Rauf udah ambil barang-barangmu ya? Dan ini ada celengan yang kayaknya punya kamu,”
Inayah meletakkan satu tas berisi pakaian Mina yang tersisa an surat-surat penting di atas meja belajarnya. Mina entah mengapa malah semakin tertekan melihat pakaian itu. Apalagi ketika kakak Inayah, Rauf meletakkan celengan ayam yang bertuliskan namanya.
Sebelumnya, Inayah dan kakaknya, Rauf nekat mengambil barang-barang milik Mina yang tersisa meskipun masih ada Paijo dan gerombolannya berjaga di depan rumah Mina dan ruko-ruko di sekitarnya. Mayoritas barang barangnya memang sudah terjarah. Bahkan beberapa lembar uang dan pakaian sudah terpanggang. Kedai milik ayah Mina dan ruko-ruko di sekitarnya sudah gosong, menghitam. Masih ada merah sisa bara api di meja kursinya, berarti bajingan itu memang belum lama membakarnya. Gambar babi besar tergambar di kamar orang tua dan kakak-kakak Mina yang terbakar.
Suasana kota kecil ini sangat mencekam seperti baru saja terjadi sebuah ledakan raksasa. Rata-rata hitam, bahkan bank yang sebulan lalu diresmikan oleh Gubernur pun gosong. Sepi. Tak ada seorangpun yang berlalu lalang, hanya para preman dan sesekali tentara yang berjaga. Inayah dan Rauf tak sampai hati membayangkan keadaan keluarga Mina dan para penyintas lainnya. Mereka mencoba berprasangka baik dan berdoa semoga orang-orang tak berdosa itu mengungsi dengan keadaan aman dan sehat walafiat. Namun terlepas dari semua itu, siapa yang melakukan ini?
Inayah dan Rauf berjalan tenang saja seolah ia adalah bagian dari preman tersebut. Mereka mengenakan tudung jaket hitam serta menutupi mulutnya dengan kain slayer merah. Mereka masuk ke ruko milik keluarga Mina yang sudah gosong. Mereka tak menemukan apa-apa, hingga mereka mencoba menggeledah kamar Mina yang gosong. Kerangka ranjang besinya pun sudah dicuri oleh orang tak bertanggung jawab.
“Nggak ada apa-apa, mas. Pulang aja yuk,” Ajak Inayah pada kakaknya yang masih tak gentar menggeledah kamar Mina.
“Tunggu. Kita belum cek disana,” Rauf menunjuk loteng. “Kamu jaga disini, nanti Mas ke loteng. Kalau ada apa-apa, teriak ya?”
Rauf naik ke loteng, sementara Inayah berjaga dibawah. Rauf diatas sana menemukan sebuah tas sekolah berwarna merah yang telah lusuh. Rauf membukanya sedikit dan dia melihat sebuah celengan tanah liat berbentuk ayam dan beberapa pakaian Mina.
“He, ayo kita pulang!” Rauf menepuk pundak adiknya yang dari tadi memantau keadaan luar dibalik jendela kamar Mina yang sedikit gosong. Mereka lalu bergegas pergi dengan posisi Inayah menggendong tas kuning berjalan di depan Rauf.
Baru saja melewati pintu, ada Paijo dan dua temannya yang menghadang. Bau alkohol oplosan sangat tercium dari badannya.
“Berani-beraninya loe masuk ke daerah gue!” Paijo mengayun-ayunkan botol sirup yang berisi minuman keras yang dicampur dengan obat sakit kepala dan lotion anti nyamuk.
Inayah dan Rauf bersiap-siap melancarkan jurus silat yang diajarkan oleh pesantren tempat mereka menimba ilmu saat sekolah dasar.
“Nantang dia bang!” Paijo mengayun-ayunkan botol, hendak memukulkannya pada kepala Rauf. Namun Tuhan masih menyelamatkan Inayah dan Rauf siang itu. Doa Umi Karomah yang selalu terpanjat merdu itu ternyata menembus langit.
Paijo tiba-tiba saja ambruk dan mulutnya mengeluarkan busa. Tubuhnya bergetar hingga kedua temannya itu panik dan malah menggoncang-goncangkan tubuh Paijo. Tak membuang waktu, Inayah dan Rauf lari tunggang langgang tak peduli teriakan dan erangan Paijo menyayat hati.
“Pak, ada laki-laki overdosis di ruko Selalu Hoki di unit 304 ya pak. Keadaannya sudah sangat darurat,” Rauf berhenti di sebuah telepon umum yang sudah sedikit gosong lalu menelpon ambulan dan berbicara seadanya.
“Ayo mas,” Inayah menarik Rauf yang masih mengangkat gagang telepon karena ia menyadari masih ada beberapa preman di belakang. Alhasil, gagang telepon itu digantungnya sembarangan. Tak lama kemudian ambulans datang dan tambah menguntungkan pelarian mereka di tengah mata para preman yang masih memburu calon korbannya.
Mina membuka satu demi satu barang yang ada di tas kuning tersebut. Tas itu milik Riki, di dalam kantong terdalamnya masih ada dompet hijau army yang berisi uang gajinya bulan April. Slip gaji juga masih utuh, terlihat belum tersentuh sama sekali. Sebenarnya, Mina baru tahu kalau Riki bekerja menjadi operator pabrik gula untuk biaya kuliahnya. Setahu Mina, satu keluarga juga tidak ada yang tahu.
“Jangan pikirkan koko, pakai uang ini buat kabur. Jangan sampai mereka menemuimu,” Tulis Riki dalam bahasa mandarin di balik slip gajinya.
Dibukanya pula dokumen pendidikan yang dibungkus dalam map plastik merah itu. Betapa baiknya keluarga Mina, ia masih sempat menyiapkan semuanya tanpa sepengetahuannya. Berarti memang mereka telah mengetahui kabar tentang ini jauh hari sebelum kejadian.
“Bagaimana aku harus berterima kasih pada kalian?” Isak Mina.
Ia mengambil sebagian uang di dompet Riki, memberikannya pada Inayah. Tentu saja mereka berdua menolak. Gila kalau mereka menerima uang dari Mina dan Riki yang entah sekarang berada dimana itu. Mina semakin menangis, Tuhan memang baik karena mengirimkan keluarga Inayah di tengah ketidakberdayaannya.
“Jangan dipikirkan. Besok kamu siap-siap aja ke Jogja. Aku anterin motoran,” Ucap Inayah menenangkan Mina yang menangis. Inayah mengambil selembar gamis panjang bermotif batik serta celana olahraga. Tak lupa kerudung panjang hitam berenda milik Umi Karomah juga dibawanya ke kamar.
“Mas Rauf, aku minta almamaternya teteh Lilis ya. Masih disini kan ya?” Inayah menarik tangan kakaknya untuk mencari jas almamater hijau tua itu di lemari kamarnya. Rauf dan Lilis menikah sebelum mereka lulus kuliah, jadi jas itu ada di kamar kakaknya dulu sebelum ia mengontrak.
Inayah masuk dengan membawa jas almamater hijau tua yang sedikit lusuh. “Kamu kalau pake ini, nggak ada yang nyangka kamu meme-meme,”
“Pokoknya apapun itu aku percaya sama kamu, Mbak. Maafin Mina ya,” Ucapnya seraya memeluk gadis manis yang terlihat galak itu.
“Eh tapi inget ya. Koh Riki yang baik hati itu harus kamu jodohin sama aku,” Candanya di sela-sela pelukannya yang dalam itu. “Kalau koh Riki nggak mau, salah satu kokomu aja lah terserah kamu. Milih sambil merem pun nggak akan rugi kok,”
Untuk kali pertama, Mina tertawa. Inayah lega, namun menyayangkan bantuannya yang hanya sampai di sini. Inayah berdoa semoga budenya yang galak nan julid itu bisa menerima Mina yang sebelumnya diperlakukan seperti putri itu.
Esoknya, mereka meminta restu pada abi dan umi untuk motoran sampai ke Jogja. Syukurlah, pak Ustadz Zulkifli tidak keberatan sama sekali. Ia malah mengganti oli dan mengisi penuh bensin motor Inayah. Umi Karomah juga memberikan bekal serantang penuh oseng-oseng ati dengan lauk tempe mendoan sebanyak enam biji.
“Nanti kalau laper terus bekal dari umi habis, kalian jajan ya,” Lilis menyelipkan amplop berisi uang yang cukup dipakai untuk membeli empat porsi nasi padang di kantong tas diklat yang dibawa oleh Mina.
“Teteh Lilis, apa ini nggak kebanyakan?” Mina mengeluarkan kembali amplop yang diselipkan itu dan memberikannya pada Lilis. Namun Lilis menolaknya. “Inayah makannya banyak. Semoga ini nggak kurang,”
Semua anggota keluarga Inayah tertawa.
“Udah, jangan lama-lama keburu tetangga curiga. Maafin kami ya, Mina. Kami nggak bisa anterin kamu ke depan,” Ucap Rauf.
“Ini sudah sangat lebih dari cukup abi, umi, teteh, mas, mbak. Maaf soalnya Mina ngerepotin. Terima kasih, semoga kalian selalu mendapat limpahan berkah dari Tuhan. Assalamu’alaikum,” Salam Mina kepada keluarga itu sebelum ia menaiki motor berwarna gabungan hitam, hijau, dan putih keluaran 1996 itu.
Hari masih pagi. Baru lima menit lalu mereka selesai beribadah sholat Subuh. Matahari belum sepenuhnya terlihat. Mina dan Inayah mendorong motor secara bergantian agar tak terdengar oleh warga. Barulah sampai luar dusun, ia menyalakan motornya.
Sepanjang perjalanan, Inayah selalu menceritakan tentang bude Hikmah dan apa saja yang harus ia lakukan agar bude Hikmah tidak marah padanya.
“Bude Hikmah udah syukur loh mau kamu ada di sana,”
“Bude Hikmah itu kena baby blues sepuluh tahun yang lalu. Anak ceweknya meninggal di dalam kandungan di usia 8 bulan. Suaminya yang bajingan itu malah pergi sama biduan dangdut,”
“Jadi kamu harus maklum ya kalau dia sedikit sensitif,”
Inayah bercerita sambil mengendarai motornya dengan kecepatan 50 km/jam agar perjalanan ini tidak terasa berat. Memang berat suasana pagi ini, masih lekat dengan bau gosong dimana-mana. Apalagi tangisan Mina terdengar samar-samar. “Mina, kamu mau gantian nggak? Punggungku agak sedikit sakit,” Inayah berhenti di pinggir sawah untuk mengajak Mina bergantian. Mina pun menyanggupi, meski jujur ia belum lancar mengendarainya karena ia memang belum diizinkan memiliki izin mengemudi.
Baru lima belas menit Mina mengemudi, ia langsung dihadang oleh beberapa preman membawa tongkat kasti. Entah siapa mereka dan apa urusannya hingga ia menanyai identitas dan keperluan mereka.
“Ini sepupuku, anaknya budeku. Kami mau mudik. Udah deh, ngapain kamu ingin tahu banget urusan kita!” Sangkal Inayah ketika mereka memperhatikan dengan seksama wajah Mina. Untung saja, tas kuning bertuliskan aksara Mandarin itu tidak dibawa. Jika dibawa, habislah mereka. Untungnya, Lilis memberikan tas diklat praktek guru agamanya.
Oh iya, Pak Ustadz Zulkifli memang guru ngaji di wilayah itu, seharusnya mereka kenal dan segan dengannya.
“Kalian nggak tahu paklikku siapa? Pak Ustadz Zulkifli!” Teriak Mina ketika Para preman itu mendekat dan memperhatikan wajahnya.
“Kamu bukan ponakannya pak ustadz Zulkifli kan? Mana ada mereka punya ponakan yang bentuknya kayak gini! Turun!”
“Lhah kok ngatur bentukan fisik seseorang? Biarin kita pergi, kalau nggak tak laporin polisi karena perbuatan tidak menyenangkan!” Teriak Mina ketika preman itu mulai menyentuh kerudungnya. Mina menamparnya dan menendang perutnya, “Ini udah pelecehan! Mundur atau kami teriak. TOLOOOONG ADA ORANG MESUM!” Teriaknya yang membuat para preman tersebut mundur dan membiarkan mereka berdua melanjutkan perjalanan.
Inayah tak henti-hentinya menepuk pundak Mina.
Singkat cerita sampailah mereka ke Jogja setelah perjalanan yang sangat melelahkan.
Seperti selayaknya tamu, mereka disambut dengan sajian apa adanya. Karena Bude Hikmah memiliki kantin angkringan sekolah, ia menyajikan nasi kucing seadanya. Nasi dengan lauk telur dadar iris dan sayur orek tempe. Namun, itu sudah lebih dari cukup untuk Mina.