A Hourglass Story

Wuri
Chapter #4

Pasukan Raiso Mikir

Berangkat pagi-pagi sekali memang bukan kebiasaan bagi seorang pekerja kantoran biasa. Bagaimana tidak? Jam setengah tujuh katanya gerbang sudah ditutup. Begitupun yang dialami oleh Dafina dan Takumi. Eh, mungkin Dafina saja. 

“Gerbang ditutup setengah tujuh kata dokumen peraturan sekolah,” Pesan Takumi lewat aplikasi chat yang biasa mereka pakai. 

Dafina menengok jam dinding di kamarnya. Kurang lima menit. Tetapi ia masih sempat mengirimkan pesan suara kepada Takumi, “KENAPA KAMU NGGAK NGOMONG DARI AWAL!”

Meskipun riasannya belum sempurna, ia tetap nekat berangkat sekolah. Setelah mempersiapkan buku pelajaran yang sudah ada di lemarinya, ia langsung saja mengemudikan mobilnya menuju sekolah yang sepertinya juga tidak nyaman itu. 

Benar saja, selangkah lagi gerbang usang bercat abu-abu tua itu akan ditutup. 

“Murid baru ya?” Sapa seorang satpam kepada Dafina. Ia memperhatikan logo di kanan lengannya juga rok yang sedikit lebih pendek dari rok murid lainnya. 

“Iya pak,” Jawabnya singkat sambil terengah. Entah mengapa, satpam itu sangat memperhatikan penampilan Dafina yang masih dengan style tahun 2020-an. Apalagi ditambah ia menaiki mobil. Tas biru langit berbahan kulit sintetisnya juga tidak umum dimiliki oleh orang biasa di tahun tersebut. 

“Besok lagi jangan telat, kali ini saya maafkan karena kamu baru!” Bentak satpam itu setelah bengong menatap Dafina dari ujung kaki ke ujung rambut.

Dafina mengangguk, ia langsung berlari ke kelasnya.

Seorang guru menyambutnya ketika ia sudah berada di depan kelasnya.

“Nama Saya Dafina Sekar Nawangwulan,” Ia memperkenalkan diri di hadapan para siswa yang berdecak kagum dibuatnya. Mungkin Dafina salah perhitungan dalam meriset trend 90an. 

Bahkan dari tadi ada siswa yang terus memperhatikannya sejak awal ia memasuki kelas. Dari nametagnya, namanya adalah Fahri. Matanya menyapu ruangan, mencoba menemukan Mina. Mina duduk sendiri di bangku pasangan. Ia duduk di bangku terdepan yang paling pojok kiri. Mina mendongak sebentar melihat murid baru yang mencuri perhatian itu. Dafina melambaikan tangan, tapi Mina tidak menanggapinya dan malah menunduk lagi. Sekarang, luka baru sudah ada di pergelangan tangan Mina, pergelangan tangannya dibalut dengan kasa perban putih. 

“Kamu bisa milih. Itu depan sendiri pojok kanan atau di nomor dua paling belakang jejer Fahri,”  Tawar ibu guru tersebut dengan senyum yang mengembang. Dafina memperhatikan, ada satu perempuan yang cemberut. Ia tidak memakai seragam dengan name tag. Selain itu, siswi-siswi lainnya juga akan berbisik iri jika Dafina berhasil duduk dekat dengan siswa yang katanya paling tampan se angkatan. Dafina juga menebak, pasti siswa ini adalah anak basket, seperti kisah-kisah romansa anak SMA pada umumnya. 

Tentulah Dafina memilih duduk dekat dengan Mina. 

“Halo Mina, kita ketemu lagi,” Dafina mengulurkan tangannya. Namun diterima seperti takut-takut oleh Mina. Iya, tangan kiri Mina dibalut perban, Mina yang sekarang bukanlah Mina yang ia temui di toko kemarin malam. Matanya merah sembab, ujung hidungnya merah tampaknya ia sering memencet hidungnya. Mina celingak celinguk melihat sekitar, meniti siapa sajakah yang memandang sinis ke arahnya dan Dafina. 

“Dafina, mending kamu duduk di sebelah Fahri,”

“Aku takut mereka membencimu,”

Dafina menengok ke belakang. Fahri masih saja menatapnya dengan tatapan menggoda. “Cowok sok kecakepan kayak gitu? Makasih deh. Orang aku maunya deketan sama kamu,” Ia mengeluarkan buku pelajaran serta alat tulisnya. “Ssst itu bu guru didengerin. Jangan overthinking melulu,”

Mina dari tadi menunduk. Tak berani menatap sekitarnya. Ia terus saja menggaruk lengan kirinya. Sebuah luka basah seperti luka bakar tergambar besar di lengan tangannya bagian bawah. 

“Mina, itu luka kamu nggak diobatin. Perih banget tuh. Kenapa itu,” Gumamnya di sela-sela bu guru yang memberikan penjelasan. 

“Sssst biasa kecelakaan kerja,” Bisiknya takut-takut. 

Dafina tahu itu bohong jelas sekali itu luka bakar. Di antara setrika atau knalpot, “Itu knalpot kan? Ih siapa yang melakukan ini padamu?”

Ibu guru mengakhiri pelajaran hari itu. 

“Baik. Untuk besok pagi tugas ibuk cuma satu. Meringkas materi tentang Struktur dan Fungsi Ribosom, Retikulum Endoplasma, Lisosom, dan Mitokondria. Ingat, jangan cuma meringkas ya, nanti akan ada kuis sebelum saya menjelaskan materinya,” Tutup guru sambil memasukkan buku paketnya ke dalam totebag hitamnya. 

Ekspresi para murid tampak seperti mengeluh, namun mereka menahannya. 

“Dafina, nanti untuk PR bisa tanya ke anak-anak lainnya ya,” Guru tersebut menyapa Dafina sekejap lalu meninggalkan kelas. Mina tampak masih menunduk lesu. Meskipun terlihat ramai murid-murid lainnya berebut untuk bersalaman dengan Dafina, tetapi Mina hanya menunduk saja terkadang ia seperti menggigil kedinginan. Ia juga terus menggaruk tangannya yang ada bekas luka knalpot yang masih merah tersebut. 

“Halo Dafina, namaku Fahri. Senang bertemu denganmu,” Fahri dari belakang menepuk pundaknya dan mengajaknya bersalaman. Dafina menyambutnya dengan ramah. Tangan Fahri masih terpagut, enggan melepaskan genggaman tangan Dafina. Dafinalah yang berusaha melepaskan tangan Fahri. “Eh, sudah bawa makan belum? Nanti makan yuk di kantin bude Hikmah. Sotonya uenaaak banget,”

Dafina mengeluarkan bekal makanannya. Sialnya, ia membawa tempat makan tahan banting  yang diproduksi sekitar tahun 2013-an. Dafina yang baru menyadarinya malah langsung berlagak hedon, “Waduh, sayang banget aku bawa bento. Maaf, lain kali saja ya mas Fahri,”

Bento….” Desis dua murid di belakangnya. Fahri diam, ia merasa memang Dafina bukanlah jatahnya. Namun malah justru tantangan bagi murid yang sepertinya berasal dari keluarga kaya itu. 

Ia tersenyum, memperlihatkan giginya yang berbehel. “Yowis tapi besok kapan-kapan harus mau. Oke?”

Dafina mengangguk. Mungkin, Fahri tidak sadar bahwa perempuan yang ia ajak bicara ini 8 tahun lebih tua darinya. “Bisa dibicarakan ya. Terima kasih mas Fahri,” Dafina menjabat tangan Fahri lagi dan membuatnya berkeringat. 

Dua murid di belakangnya berdesas-desus sinis pada Dafina. Pertama tentulah ia bisa membuat Fahri, murid idola itu berkeringat. Dengan kerendahan hati, Fahri mau mendatangi anak baru untuk mengajaknya makan. Sebelumnya, ia terkenal sangat cool. Jangankan mengajak makan murid biasa,ia hanya mau makan kalau geng orang kaya yang mengajaknya. Yang kedua, ia mau duduk dekat dengan Mina.

“Dia murid paling populer di sekolah ini, Daf. Dia anak basket, sebentar lagi jadi timnas. Kalau kamu mau, kamu pindah saja dekat dia. Aku hina, Daf. Jangan duduk disini,”

“Kamu nggak takut sama pandangan orang? Kamu sempurna, seiring berjalannya waktu kamu pasti jauhin aku. Daripada besok kamu nyesel, mending pindah deh,” Ucap Mina sambil mengeluarkan buku fisika dan beberapa buku tulis. 

Empat murid dari bangku belakang maju dan mengambil buku di meja Mina. Buku bersampul coklat. 

Seorang murid perempuan yang memakai name tag Yeni mengambil buku tulis dan membukanya. Terlihat jelas, buku tersebut bertuliskan nama Fahri. Setelah membuka halaman tengah, dia menutupnya dan mengambil satu buku lagi. Setelah membukanya, ia melemparkannya pada Mina. “HEH INI KENAPA ADA DARAHNYA? JOROK!” 

Yeni menjambak Mina dan membenturkan kepalanya ke meja. “Kamu itu miskin dan kayak babi. Kalau bukan karena ayahku, kamu nggak bisa sekolah di sini!”

“Punyaku tulisannya dijelek-jelekin. Kalau nggak niat, bilang! Biar ayahku yang ngurus!”

Klise. 

Sudah sebulan berlalu, tahun ajaran berganti. Tetapi mengapa mereka masih menginjak-injak Mina?

Dafina menangkis tangan Yeni yang akan membenturkan kepala Mina ke meja lagi, “Yeni, Fahri, Damar, Dinda, Rinda. Kalau nggak bisa mikir, belajar. Jangan nyontek atau nyuruh orang lain ngerjain!” Teriak Dafina lantang. Mina tampak menarik-narik baju Dafina untuk menyuruhya diam. 

“Oh, nepo-baby toh? Sudah reformasi, harusnya nepotisme macam kayak gitu dihapus dong. Pengecualian kalau dia memang capable, bukan apa-apa bapak, apa-apa bapak,”

“Heh, anak baru. Nggak perlu berlagak jadi penyelamat. Kamu nanti akan menyesalinya!” Yeni menampar Dafina tepat di pipinya hingga pipinya merah. 

“Yeni, Yeni. Aku nggak tahu di masa depan, kamu bakalan jadi apa. Tapi aku nggak peduli, sekalipun ayahmu bakal keluarin aku, aku tetap akan sok jadi pahlawan,” 

“Apa yang kamu perbuat sama Mina, hah? Bentar lagi, aku mau melaporkan ini ke pihak yang berwenang,” 

“Nggak takut!” Teriaknya. Ia mengambil susu strawberry yang dibawa Dafina lalu menumpahkannya di meja mereka. 

“Kurang ajar!” Dafina meneriaki Yeni yang mundur begitu saja. 

Dafina menarik Mina ke ruang cleaning service untuk mengambil pembersih. Para murid membicarakan anak baru yang begitu berani meneriaki Yeni dan menyebut nama Fahri dan kawan-kawan sebagai murid yang tidak bisa mikir. Ia adalah orang pertama yang berpihak pada Mina. 

Dafina juga membersihkan luka Mina di UKS yang anehnya kosong. Tetapi warung bude Hikmah sangat ramai oleh orang dewasa berpakaian batik. 

“Mereka nggak ada yang tahu ya?” Tanya Dafina ketika membersihkan luka Mina. 

Mina menggeleng, “Cukup, Daf. Aku nggak mau kamu kenapa-napa karena menolongku,” 

Mina berlari menuju kelasnya dengan membawa pembersih lantai dan lap. Berkali-kali Dafina memanggilnya namun urung dijawab. 

Lihat selengkapnya