Dafina memukul mejanya hingga es perasan jeruk nipis manis itu sedikit tumpah “Kita harus laporin ini ke polisi,”
Takumi pun sebenarnya sudah membicarakan kalau ada intimidasi di kelas. Namun, guru lain seperti tak mengindahkan.
“Bahkan guru agama punya foto itu,” Ucapnya dengan emosi juga. “Katanya hasil sitaan dari anak kelas XII,”
“Mina nggak mau ku ajak visum. Aku juga nggak punya kamera buat memfoto keadaan dia. Pakai hp juga nggak bisa dijalanin kalau ada orang asli zaman ini,” Sambung Dafina.
Takumi menggenggam tangan Dafina, menatapnya tajam, “Pokoknya kamu temenin dia terus, nanti lihat celahnya beberapa anak itu, oke?”
Dafina mengangguk.
“Terus kita pulang, kita nikah,” Sambungnya sambil tertawa.
Dafina tersedak hingga menyemburkan es jeruk di mulutnya, “Om, aku masih kecil,”
Ia melepaskan tangannya dari genggaman Takumi ketika melihat ada Yeni yang berjalan dengan dua temannya.
“Apa yang kamu ketahui tentang Yeni?” Tanya Dafina kepada Takumi tanpa mengalihkan pandangannya ke ketiga gadis itu.
“Dia mau jadi artis sinetron,” Jawab Takumi tenang, “Kata pak guru agama,”
Mina dengan seragam kuning tokonya berjalan diapit oleh Yeni dan Rinda. Sementara Dinda ada di belakangnya merekam dengan handycam. Takumi yang menyadari itu lalu mengikuti mereka. Bersama dengan Dafina tentunya. Mereka berjalan hingga sampai di pinggir sungai. Disana beberapa anak menunggu mereka, termasuk Fahri dan Damar. Mereka menyalakan semacam api unggun. Mereka duduk membentuk lingkaran, sementara seorang siswi berpakaian olah raga maju dengan diiringi lagu ulang tahun oleh yang lainnya.
“Selamat ulang tahun, Inggit. Ini hadiah buat kamu ya,” Yeni menyeret Mina ke tengah dan mengikatnya di tiang kayu yang mereka buat otodidak. Setelah selesai mengikatkan, ia lalu mengguyur Mina dengan air sungai hingga dia minta ampun.
Tidak hanya itu, Inggit dan dua temannya yang lain memasukkan obeng ke api lalu menempelkannya pada tangan Mina.
“Nggak bisa dibiarin!” Dafina bergerak maju dengan membawa tongkat kayu yang entah didapat dari mana itu. Namun Takumi menahannya. Ia mengeluarkan ponsel dari kantongnya sendiri lalu membunyikan sirine polisi dari ponselnya. Para anak berandalan itu ternyata nyalinya ciut, mereka lari tunggang langgang meninggalkan Mina yang masih terikat di tiang kayu.
Takumi dan Dafina berusaha melepaskan ikatan Mina. Luka obeng panas itu masih basah, menjalar ke mana-mana. Padahal, luka knalpot belum kering. Mina hanya bisa menangis, bisa dikatakan mentalnya memang hancur.
“Jangan ke rumah sakit, pak,” Rintih Mina saat Takumi mengendarai mobilnya menuju ke rumah sakit swasta tipe-c di daerah itu.
Dafina masih membersihkan luka Mina. Ia berkali-kali memarahi Mina yang hanya bisa diam pasrah dengan keadaan.
“Aku nggak minta kalian buat nolongin aku ya! Kalian nggak tahu gimana rasanya jadi aku!” Rengek Mina. Tangannya memegang kenop pintu mobil, hendak nekat keluar jika ia diantar ke rumah sakit.
Takumi menghela nafasnya “Iya, iya aku ngalah,”
“Aku emang nggak ngerti masalahmu. Aku sebangsa denganmu. Ayahku juga minggat saat aku berusia 4 tahun. Alasannya klasik, pergi sama selingkuhannya,”
“Ayahku dan ibuku dijodohkan, simple karena kakekku kaya,”
“Tapi katanya dia nggak cinta sama ibuku, katanya ibuku kurang cantik. Waktu itu usaha kakekku juga bangkrut sebangkrut-bangkrutnya karena krisis dan sentimen masyarakat,”
“Dan bodohnya aku masih pakai nama ayahku. Meskipun jangankan nafkah,mendaftarkan akta kelahiran pun nggak mau. Ibuku baru baik-baik saja waktu aku dapat pekerjaan, sebelumnya beliau hampir gila. Saking cintanya dia sama ayahku dan saking nggak punya semangatnya dia,”
Dari kaca, Dafina bisa melihat mata Takumi yang berkaca-kaca. “Untung wajahku mirip ibuku. Eh, tidak. Aku tidak tahu bagaimana ayahku. Mereka tidak pernah menunjukkannya,”
Semua wanita itu diam.
Mobil berjalan dengan kecepatan rendah, mereka akhirnya membawa Mina ke klinik.
“Kamu jangan bilang ya kalau ketemu aku dan pak Takumi disini,” Pesan Dafina ketika mengantar Mina kembali ke tempat kerjanya setelah ia membersihkan lukanya. Aneh lagi, para karyawan di toko itu terlihat tak peduli dengan Mina yang dipenuhi luka.
“Makasih Dafina, Pak Takumi,” Ucapnya singkat.
“Eh, kamu suka Totoro kan? Aku punya sedikit DVD series-nya di rumahku. Bude memberiku uang dan menyuruhku beli sesuatu yang bisa menghiburku,” Lanjutnya. “Besok kapan-kapan ke rumahku ya,”
“Sounds good. Liat deh kapan-kapan. Barangkali ada yang belum ku tonton di Netflix,” Jawab Dafina. Ia lalu menutup mulutnya sendiri, dan Takumi meliriknya sadis.
“Maksud kamu apa?” Tanyanya.
“Ayo kita harus pulang ya. Mama kamu telpon-telpon aku terus,” Takumi menjewer telinga Dafina yang keceplosan. Mereka pamit.
Takumi dan Dafina tidak habis pikir dengan penyiksaan-penyiksaan yang terjadi pada Mina. Mereka menunggu sehari lagi agar bisa menyelamatkan Mina sebelum sesuatu menimpanya.
Mereka sudah mencari latar belakang dan keadaan Mina sekarang. Mina sudah lima kali mencoba bunuh diri, namun gagal. Dan pada masa kini, Mina dirawat di rumah sakit jiwa oleh Inayah dan Riki yang ternyata pada masa kini berjodoh dan memiliki dua anak. Diketahui memang Mina sakit setelah lulus SMA. Bukan hanya sakit fisik, namun juga ia sakit jiwa. Ia mulai berkhayal yang tidak-tidak. Ia merasa ada genderuwo yang mengikutinya. Ia selalu berteriak ketika melihat murid SMA.
Takumi dan Dafina ingin mengubah itu.
***
Siang itu sangat terik. Suasana sangat panas dengan asap kendaraan yang hitam mencekat. Ditambah lagi asap dari pabrik plastik.
Yeni dan keempat temannya duduk di bangku belakang. Mereka berbagi rokok filter yang memang terkenal saat itu.
“Aku pinjem uang lah,” Pinta Damar pada Yeni ketika ia membuka dompet kulit merah mudanya.
“Papa stop ngasih uang jajan ke aku sampai aku dapat sepuluh di pelajaran fisika,”
“Guru baru itu gendeng. Dia bikin catatan gede di resume kemarin. Aku suruh ngulangi, gara-gara tulisan tangan di tugas itu beda,”
Yeni menyembulkan rokoknya tepat di muka Fahri. “Dapet berapa kamu hari ini?”
“Yah, mayanlah bisa buat kita party malam ini,” Jawabnya. Ia mengeluarkan uang hasil palakannya hari ini dan membuat semuanya tercengang. “Kalau cewek mah aku senyumin aja duit udah keluar,”
“Eh itu itu si guru pengganti fisika mau jalan ke kantin,” Tunjuk Dinda pada Takumi yang berjalan santai sambil membaca novel menuju kantin.
Takumi melihat mereka dari jauh, mereka mengintipnya di balik tembok kelas. Entah apa yang mereka lakukan. Yang jelas, sisa-sisa rokok masih tercium di seragam mereka.
“Eh Pak Takeshi. Biasanya guru baru sini itu ngasih uang keamanan dan traktir kita,” Yeni langsung duduk di samping Takumi. Takumi tidak bergeming, bergeser menjauhinya.
“Nama saya Takumi,” Ujarnya singkat. Matanya masih tertuju pada novel fisika berbahasa inggris tersebut.
“Takumi, dengar ya! Koe ki mung guru magang, guru pengganti! Dadi ra usah nggaya! (Kamu itu cuma guru magang, guru pengganti. Jangan belagu!)” Damar memukul mejanya, namun Takumi tak mengindahkannya.
Kini giliran Fahri yang mulai mengalihkan perhatian guru itu. Ia mengambil lima gelas minuman teh instan yang tersaji di meja belakangnya. “Pak, saya minta uang buat beli ini!” Fahri membagikannya pada masing-masing anak. Mereka lalu kompak mencoblos dan meminumnya
“Kalau mau beli teh mbok bilang,” Takumi meletakkan bukunya lalu mengeluarkan dompet. Ia memberikan sejumlah uang pada muridnya, “Lain kali yang sopan,”
Secepat kilat, Fahri lalu menarik dompet Takumi.
Mereka berlima lalu lari. Tanpa rasa bersalah mereka tertawa lepas.
“Sialan!” Umpat Takumi yang dompetnya dilempar oleh Fahri dengan keadaan kosong mlompong. Untungnya, Takumi sudah menyingkirkan foto Dafina di dompet itu.
Takumi memperhatikan dengan jelas kelima anak tersebut. Ada dua orang yang terlihat tidak normal. Rinda sepertinya memang sedikit pendiam, ia lebih sering tertawa hambar menyerupai kuntilanak dibandingkan berbicara dengan teman-temannya. Mata Rinda normal, namun sepertinya dia tak dapat mengendalikan bola matanya sehingga mata tersebut terlihat juling. Sepengetahuan Takumi, Rinda lah yang paling sering terlambat mengikuti kelasnya. Ia juga sering tertidur di kelas, dan terbangun seolah ia terbangun di malam hari.
Yang kedua adalah Fahri. Siapa lagi. Dia memang terlihat prima karena statusnya sebagai calon atlet timnas. Namun ada beberapa kejanggalan. Tangan Fahri bergetar ketika merebut dompet Takumi. Ia sering sekali terlihat gelisah dan berkeringat di ruangan berpendingin udara. Ada yang salah dengan bau rokoknya. Sepertinya Fahri terlalu kaya untuk menghisap rokok kretek.
Sepulang sekolah, Takumi memutuskan untuk mengikuti Fahri dan temannya. Ia berjalan terus sampai di rumah besarnya di kawasan perkotaan yang elit. Rumahnya cukup mewah untuk tahun itu. Rumah tingkat dua bergaya modern Eropa bercat biru muda. Ia memiliki taman kecil di depan rumahnya yang ditumbuhi oleh bunga mawar merah, merah muda, dan putih. Serta ayunan kecil berwarna putih yang diduduki oleh anak perempuan berdaster putih.
“Sialan, Ternyata dia punya adik perempuan. Kenapa dia tega sama Mina?” Gumam Takumi dalam hati.
Anak perempuan berdaster putih itu kemudian masuk setelah salah seorang asisten rumah tangganya menghampiri.
“Den, tuan tadi bilang, den Fahri nggak boleh keluar,” Fahri yang keluar dari rumah itu dengan ripped jeans denim dan kaos band berwarna washed black dihadang oleh salah satu asisten rumah tangga di rumah tersebut.
“Lha tinggal mbok ndak usah ngomong,” Fahri mendorong asisten rumah tangganya tersebut.
Asisten rumah tangganya itu terus memanggil-manggil nama Fahri. Namun Fahri tak mengindahkannya.
Fahri terus berjalan ke arah timur. Takumi mengikutinya hingga sampailah mereka ke rumah kosong yang katanya angker. Disana, Rinda sudah menunggunya di pintu dengan ekspresi datar. Rinda mengenakan pakaian yang hampir mirip dengan Fahri. Ripped jeans dan kaos putih yang sudah menguning.