Jam sudah menunjukkan pukul 07.00 tetapi Dafina belum jua menemui Mina di sekolah. Padahal, kata Bude Hikmah ia masuk ke kelasnya tadi setelah menyusun risol di etalase.
Takut terjadi sesuatu yang tidak diinginkan, Dafina mengelilingi sekolah sambil memanggil nama Mina. Tetapi tak ada jawaban.
“Heh, dimana Mina?” Dafina menghadang Fahri dan Rinda yang rambutnya sekarang di-bleach dengan tidak teratur.
“Nggak tau lah. Bukan urusanku, asu!” Sahut Rinda dengan sedikit kencang. Dafina menatap mata mereka yang sayu. Ada lingkaran biru di bawah matanya.
“Kalian ngapain warnain rambut? Kalian mau jadi tokoh anime?” Dafina berjalan sambil memegang rambut kasar Rinda. Rambutnya tipis, lepek, dan sedikit bau. Bau kimia sangat jelas tercium.
Rinda sama sekali tak mengindahkan cemoohan Dafina yang mulai berani. Fahri juga begitu, ia lemah dengan perempuan cantik. Jadi dia memilih diam saja daripada ribut dengan wanita cantik. Mata merah Fahri terus mengeluarkan air mata. Berat badannya semakin hari terlihat semakin menurun entah kenapa. Ditambah rambutnya yang dicat kuning itu, sungguh membuatnya terlihat seperti anak ayam yang dijual di pelataran SD.
“Dafina fuck you!” Teriakan Rinda membuat semua orang yang berjalan di lorong tersebut menengok. Ia tertawa menggelegar bagai nyai yang berhasil mendapatkan tumbal, “Mau cari Mina? Itu di perpus!”
Rinda tertawa lagi namun mulutnya ditutup oleh Fahri.
“Edan koe!” Fahri mengibas-ngibaskan tangannya ketika Rinda menggigit tangan Fahri sampai berdarah.
“~Sumpah mati padamu ku jatuh hati, sumpah mati padamu ku jatuh cinta…~” Senandung Rinda terdengar sangat jauh dari nada aslinya. Ia mengambil sapu dan mengangkatnya untuk dijadikan mikrofon. Fahri menarik Rinda yang terus menyanyi ke dalam kelas sebelum banyak orang melihat.
Bodo amat.
Pikiran Dafina sudah kacau. Membayangkan apa yang terjadi dengan Mina di ruang tertutup itu. Jika di ruang terbuka mereka berani menyiksa Mina dengan sangat kejam, apalagi di ruang tertutup.
“Mina!” Panggilnya ketika memasuki perpustakaan. Ia menelusuri lorong demi lorong tapi tak mendapati Mina dimanapun. Ia berjalan pelan-pelan di perpustakaan sepi tersebut karena ia mencium parfum aroma vanilla yang bukan parfum Mina. Parfum vanilla itu semakin tercium seiring dalamnya ruangan sepi yang Dafina masuki. Ia ingat betul, ini mirip tercium seperti parfum ayahnya. Parfum untuk pria yang produknya discontinued karena pabriknya bangkrut di tahun 2000-an meski sangat populer pada tahun 1990-an. Hingga sampai di depan ruangan kecil kantor pustakawan, wangi raspberry parfum Mina tercium bercampur dengan bau kimia alkohol dan obat merah. Ia membuka perlahan pintu kantor yang tertutup sebagian.
“Sini!” Mina menyapa Dafina dengan senyum mengembang yang sangat lebar. Senyum yang tak ia lihat selama Mina bersamanya.
Mina duduk di kursi bangku kantor pustakawan. Ia sedang membersihkan luka nya dengan alkohol, lalu membalurkan obat merah dan menutupnya. Tersaji di depan Mina, ada dua gelas kecil teh panas dan jagung rebus satu buah yang sudah habis setengahnya. Ada sepatu kulit pria juga di samping kursi Mina.
Bukannya lega, Dafina malah menaruh curiga berlebihan.
“Kamu sama siapa? Damar? Yeni? Mana mereka?” Ia menyusuri kantor pustakawan tersebut, tapi sayangnya tidak menemukan siapapun.
“Maaf ya lama, tadi ngantri lama banget,” Seorang pria dengan kemeja putih yang dimasukan kedalam celana jeans washed blue itu masuk tanpa memperdulikan Dafina.
“Keturutan kan kamu beli lotek, ” Ucap pria itu lalu duduk di sebelah Mina. Mina tersenyum lebar ketika pria itu duduk disampingnya. Sangat mepet hingga tangan besar pria itu menempel di bahu Mina.
Pria itu mengelus rambut tipis Mina dan membuat Dafina melotot.
“Eh iya mas. Ini Dafina temanku,”
Pria itu menyalami Dafina yang masih melotot dan berwajah masam. Ia mengaduh, mengapa masalah menjadi sangat besar. “Saya Cahyo, pustakawan magang sama ngajar English Club juga”
“Oh Dafina ya? Kakakmu kamu nggak apa-apa kan?” Lanjutnya
“Nggak apa-apa mbahmu kiper! Mina masuk kelas!” Dafina menarik kasar tangan Mina yang masih merah itu dengan meninggalkan lotek yang sudah dibuka oleh Cahyo.
“Kamu kalau goblok jangan goblok banget. Dia manipulasi kamu saat kamu masih lemah. Jangan deh deket deket sama Cahyo lagi!” Ia mendorong Mina ke kursinya dan dilihat oleh seisi kelas. Termasuk dua orang berambut kuning itu. Dari semua geng mereka, Yeni dan Damar belum terlihat ada di kelas.
“Lalu gimana dengan kamu dan pak Takumi? Bukannya kamu sama aja denganku?” Hadrik nya lirih.
Dafina celingukan, memastikan semuanya tidak terdengar. Bagaimana caranya menjelaskan pada Mina kalau sebenarnya ia dan Takumi itu sebaya?
“Asal kamu tahu ya. Aku dan Taki itu…” Ucapan Dafina terpotong oleh kedatangan Takumi bersama dua pria dan wanita berpakaian medis.
“Udah deh nggak usah kamu urusin. Yang jelas hubunganku nggak seperti hubunganmu sama Cahyo!”
“Yang pasti jauhi Cahyo!” Bisiknya tepat di telinga Mina. Di telinga Mina tercium aroma vanilla juga, jelas ini masalah besar. “Kamu ngapain aja hah?”
Mina kembali membisiki Dafina, “Cuma dia yang bisa selamatkan aku, Daf. Lainnya nggak bisa!”
“Pekok! Benerkan kamu dimanipulasi!” Dafina menjauh dari Mina yang tampak sedikit menangis karena kata-kata Dafina yang terdengar sangat kasar.
“Good for you lah,” Sambung Dafina yang membuang mukanya.
Takumi mengernyitkan dahi ketika mendapati Rinda dan Fahri rambutnya sudah ber-cat. Bisa saja mereka tahu kalau hari ini ada pemeriksaan narkoba. Satu langkah Takumi sudah hampir gagal.
Takumi dan Dafina beradu pandang. Tahu apa yang ia maksud tetapi sungguh ini diluar dugaannya. Fahri dan Rinda tersenyum sinis, melirik ke arah Takumi yang terlihat kosong. Mereka kalah langkah dengan dua orang remaja di tahun 1998. Sepertinya memang ada permainan orang dalam atas keputusan mereka mengecat rambut.
Para petugas memotong sampel rambut dari para murid di kelas tersebut. Mereka sepertinya juga sama seperti Takumi, tidak menyangka kalau kedua orang tersebut mengecat rambutnya. Para petugas medis itu sebenarnya sudah sangat curiga dengan Fahri dan Rinda. Apalagi Rinda yang tampak sangat lesu.
“Oh kamu pencipta lagu?” Sapa petugas medis perempuan kepada Rinda yang tampak sedang menulis bait demi bait lirik yang puitis.
“Iya kak. Aku akan jadi musisi terkenal di kemudian hari,” Balas Rinda disertai dengan gelak tawa bagai kuntilanaknya.
Petugas medis laki-laki yang curiga pada Fahri juga menanyai ia yang tampak setengah tertidur. Ia menepuk pundak Fahri, “Mas Fahri Oktavian ya? Atlet pelatnas voli?” Petugas medis itu mengamati mata fahri yang memerah.
“Basket pak,” jawabnya singkat lalu tidur lagi setelah mengetahui rambutnya tidak jadi dipotong oleh petugas medis.
“Mas, jangan tidur. Masih pelajaran lho ini,” Ucap petugas medis tersebut. Ia menjatuhkan pulpennya lalu Fahri memungutnya. Tangan Fahri gemetaran saat ia mengambil pulpen tersebut.
Setelah selesai mengumpulkan sampel, mereka tidak kehabisan akal untuk mengambil sampel lain milik Fahri dan Rinda. Mereka meminta izin untuk mengambil sampel urine kedua siswa tersebut, namun tak juga diizinkan. Alasannya, kesepakatan awal adalah menggunakan sampel rambut, tidak ada pengecualian lain. Meskipun dua orang petugas medis mengatakan kalau Fahri memiliki gejala pengguna ganja dan Rinda memiliki gejala penggunaan LSD, namun mereka tetap tak mengizinkannya. Pihak sekolah hanya mengizinkan adanya penggeledahan. Fahri dan Rinda sudah pasti lolosnya.
Barulah setelah siang, Yeni berangkat dengan keadaan yang lemas. Ia bahkan tampak seperti zombie saking pucatnya. Kakinya lemas seakan tak mampu menopang berat badannya. Disusul kemudian sang jagoan, Damar yang masih petentengan tak peduli guru yang menegurnya.
Yeni beralasan haid hari pertama sementara Damar beralasan sedang sakit.
Ternyata Takumi tak kehabisan akal, ia sengaja ingin mengambil sampel ilegal. Sampel untuk orang tua si bayi dan tes narkoba (meskipun tidak mungkin). Ia membawa satu kardus susu botol rasa vanilla yang digemari pada tahun itu.
“Ini yang dikasih itu kelas ini doang apa semuanya?” Tanya bu guru bahasa Indonesia pada Takumi yang tidak ada angin tidak ada hujan kok membagikan susu.
“Saya kebetulan ada rezeki bu. Cuma mau membagikan. Semua kelas yang saya ajar juga dikasih kok bu,”
“Tenang buk. Saya jamin nggak ada racunnya,” Lanjut Takumi yang dibalas dengan gelak tawa para murid.
“Omongannya mirip sama kamu,” Bisik Mina yang dibalas dengan anggukan dan tatapan judes dari Dafina. Mina tampak seperti ingin memperbaiki suasana, namun Dafina enggan berurusan dengan budak cinta ini. Takumi melayangkan pandangannya pada Dafina dan membuat isyarat tangan seperti mengetik sesuatu. Dafina paham apa arti kode tersebut. Ia lalu ke kamar mandi sebelum Takumi keluar dari kelas tersebut.
Dafina membuka ponselnya. Beberapa pesan dari takumi masuk ke ruang obrolannya. Ia mengatakan bahwa ia sudah memberi kode label nama pada barcode susu tersebut. “Nanti kamu yang bagi. Dari kiri ke kanan, depan ke belakang. Lalu kosongkan tempat sampah depan, ok?”
“Bagi ini saat istirahat kedua. Pastikan mereka membuangnya di tempat sampah merah di depan kelas. Tolong ya, aku bayar mahal buat ini,”
Dafina tidak membalasnya. Namun ia melaksanakan perintah Takumi. Ia membagikan susu tersebut sesuai dengan barcode yang berisi kode angka yang membentuk nama mereka. Misalnya FAHRI. F adalah huruf ke 6 maka dinotasikan dengan angka 6, A adalah huruf pertama dinotasikan dengan angka 1, H dinotasikan sebagai 8 dan seterusnya. Berarti susu milik Fahri diberi barcode 618189 sebagai anotasi dari F-A-H-R-I. Susu tersebut sudah diurutkan sesuai dengan tempat duduk murid. Semuanya akan berjalan lancar saat Dafina membagikan susu itu dengan benar dan dengan catatan tidak ada yang bertukar susu.
Sepanjang pengamatan Dafina, tidak ada yang bertukar susu dan syukurlah tidak ada yang membawa pulang susu tersebut. Karena sepertinya para siswa dendam pada Dafina apalagi saat menghajar Wahyu dan Darto kemarin, mereka meninggalkan sampahnya di kelas. Dafina memungutinya dengan plastik besar dan buru-buru memasukkannya ke mobil untuk diserahkan pada dokter Diana atau siapalah.
Namun sepertinya rencana dafina yang satu itu terhalang oleh Mina yang sedang mengobrol cantik dengan Cahyo di parkiran motor.
“Pulang!” Tiba-tiba saja Dafina menarik tangan kurus Mina. Mina sedang bersenda gurau dengan Cahyo sambil mendengarkan walkman. Headset itu sampai terputus dari walkman tersebut.
“And I don't care who you are, where you're from, what you did. As long as you love me…”
Lirik itu terputar beberapa kali. Hingga Mina komat kamit menyanyikannya.
“Aku cuma lagi belajar bahasa Inggris, Dafina,” Ucap Mina. Cahyo hanya tersenyum lembut kepada Dafina. Seolah membenarkan kalau mereka sedang belajar bahasa Inggris. Tetapi tidak, guru mana yang sampai hati berhubungan dengan muridnya?
“Saya ingatkan ya bapak. Jangan terlalu dekat dengan Mina. Dia itu minor dan bapak adalah laki-laki dewasa yang jauh umurnya dari dia. Bapak belajar bahasa Inggris kan? Tahu dong literatur barat udah bahas ini dari tahun jebot. Hubungan antara pria dewasa dan anak-anak itu namanya grooming. Bapak cari deh perempuan dewasa yang mau sama bapak,”
“Loh apa salahnya? Kan cinta itu buta,” Sahut Cahyo sambil membenarkan kabel headsetnya yang terputus.
“Because minors’ brains aren’t finished developing and even the most advanced and mature teenager has trouble setting boundaries, is insecure, and easily pushed around by an adult with experience who can convince them all kinds of abusive,”
“Saya itu nggak buta pak. Tahu yang memang benar-benar tulus membantu dan ada udang di balik batu. Terus physical touch kayak tadi maksudnya apa? Abang adek?”
“Stay away from her! I’ll smash your brain if you dare to…” Lanjut Dafina yang menarik tangan Mina kasar menuju mobilnya.
Cahyo hanya senyum polos membatin, “Apapun yang kamu lakukan, dia akan tetap mencintaiku,”
Sungguh, bagaimanapun tidak tepat untuk seorang guru menjalin hubungan dengan muridnya.
Dafina terus memaki Mina, namun ia seperti tak mengindahkannya. Dengan dalih, “Kamu sama pak Takumi aja mau-mau aja kok. Kalian nggak gimana-gimana kan? Terus, dengan dasar apa kamu bilang kalau mas Cahyo pedofil?”
Dafina membuang nafas, mencoba tenang. Bagaimana cara ia menjelaskannya.
“Umur Cahyo 25 tahun, dan umur kamu 16 tahun. Kira-kira apa yang dicarinya dari anak 16 tahun?”
Akhirnya ia berdiaman di dalam mobil karena Mina tidak bisa menjawabnya. Pergelangan tangan Mina masih merah bekas tangan Dafina. “Yang jelas aku mencintainya. Dia balas cintaku, itu udah cukup banget,”
“Bullshit! Makan tuh cinta!” Umpatnya sambil memencet klakson dengan kasar hingga pengemudi mobil kijang di depannya berteriak kaget.
“Kita mau kemana dengan sampah botol susu itu?” Tanya Mina tenang. Dafina meliriknya sebal. Bagaimana ia bisa setenang itu setelah Dafina mengumpatinya?
“Kamu diem ikuti saja. Lagi males ngomong sama kamu,”
“Maafin aku, Dafina,” Ucapnya singkat lalu diam sepanjang perjalanan.
Sampailah mereka pada rumah sakit tempat dokter Diana bekerja. Mina mengaku belum pernah masuk ke rumah sakit yang tergolong mewah tersebut. Untuk tahun itu, rumah sakit ini sangat lengkap. Semua fasilitas rumah sakit standar di tahun 2020-an seperti operasi hingga pengobatan kanker sudah ada di rumah sakit tersebut. Konon katanya, bedah forensik dan tes DNA juga sudah difasilitasi di rumah sakit ini. Para polisi yang sebelumnya tidak percaya pada mereka itu sebenarnya tahu dan mau untuk mengadakan pemeriksaan lebih lanjut pada janin yang mereka temukan itu.
“Kamu jangan aneh-aneh deh,” Bantah Mina ketika ia tahu bahwa Dafina akan menyerahkan sampel DNA itu pada rumah sakit. “Kamu nggak takut? Sebenernya kamu asalnya darimana sih, kok kayak nggak paham sama situasi,”
Dafina tidak mengindahkan Mina yang mulai sedikit kehilangan kesabaranya yang setebal kasur kasur yang ada di rumah aslinya.
Ia tetap memasukkan botol susu itu dan menyerahkannya pada para petugas forensik yang bertugas.
“Kamu nggak perlu tahu aku berasal dari mana. Yang pasti niatku baik sama kamu, tolong kamu pertimbangkan omonganku,” Balasnya untuk terakhir kali.
Dafina terus berjalan dan mampir ke apotik untuk membeli obat luka untuk Mina. Mina sempat menolaknya karena memang ini mahal untuk tahun krisis ini. Namun dengan senjata diam seribu bahasa Dafina, akhirnya Mina terpaksa menerimanya.
Hasil tes ini akan keluar kurang lebih seminggu lagi. Dalam seminggu itu, Dafina dan Takumi akan memikirkan strategi untuk menghindari perundungan itu atau kalau perlu balas dendam terhadap kelakuan durjana beberapa murid yang merundung Mina. Apalagi ditambah dengan kehadiran Cahyo yang mencurigakan itu.
Kota ini terasa semakin panas. Apalagi di dalam mobil yang tidak berpendingin udara ini. Siang padat merayap. Dafina harus balik arah mengantarkan Mina ke sekolah lagi, lalu balik menuju penginapannya. Melelahkan.