Hari demi hari berlalu. Yeni beberapa hari tidak menghadiri kelas. Semua tahu, dia sedang mempersiapkan diri untuk keberangkatannya ke Jakarta. Ya, pengumuman diterimanya dia sebagai pemeran utama kedua sudah terdengar di seluruh sekolah. Yeni Anggraeni ada di daftar wanita yang akan memainkan peran di film tersebut.
Sabtu malam, di aula sebuah sanggar. Yeni menjalankan pelatihan terakhirnya dengan ibu Beti, guru tari di sebuah universitas seni ternama. Sudah tiga jam ia menari di aula sanggar yang hanya diterangi oleh satu lampu neon. Hanya ada dia dan ibu Beti yang sangat keras melatihnya. Yeni dinilai sedikit kaku. Saat ibu Beti sudah mulai lelah, ia akhirnya berlatih sendiri.
“Yeni, itu ada teman kamu nyariin,” Ucap ibu Beti dengan diikuti seorang siswi berseragam batik SMA. Dari jauh, ia terlihat membawa sekuntum bunga.
Yeni bahagia. Ia mengira siswi itu adalah Rinda atau Dinda, namun ternyata.
Dafina. Seorang yang setengah mati dibencinya.
Bu Beti sudah terlanjur meninggalkan mereka berdua di aula sanggar.
“Selamat ya. You deserve it,” Tidak langsung memberikan buket bunga tersebut, Dafina malah mengitari aula, membuat kesan horor kepada Yeni.
Keringat Yeni mengucur deras. Badannya sudah mulai dingin.
“Aku ramal, kamu akan terus jadi second lead, Yen. Kamu orangnya cepat puas dengan pencapaianmu. Tapi kamu akan menikah dengan penyanyi terkenal yang tahun ini berambut gondrong keriting, setengah Maroko setengah Sumatera Barat. Kamu akan dikaruniai dua anak laki-laki yang berwajah mirip ayahnya. Namun, dua puluh tahun lagi, penyanyi itu akan menceraikanmu karena suatu hal yang terjadi saat ini,”
“Dan salah satu anak kamu bukanlah anak penyanyi tersebut. Tapi anak dari teman kamu yang berandalan itu,”
Ia mengambil selembar lipatan kertas koran berukuran seperti sampul buku paket di sakunya. Setelah terbuka, terpampanglah gambar penyanyi yang dmaksud oleh Dafina. Penyanyi yang memang akhirnya jadi suami Yeni. “Ini bakal suami kamu. Aku menemukannya di tas temanmu, Rinda. Ia suka sekali sama dia kan?”
“Hentikan omong kosongmu!” Teriak Yeni melempar sepatu baletnya tepat di muka Dafina, namun Dafina menangkapnya.
“Aku kan hanya menyelamatimu, Yeni,” Ia memberikan bunga aster kuning itu kepada Yeni. Namun sebelumYeni menerimanya, Dafina menjatuhkan bunga hingga berantakan. Di sela-sela bunga tersebut, ada test pack kehamilan yang hasilnya positif.
Wajah Yeni pucat pasi, seolah darah di wajahnya sudah mengering diminum vampir. Ia tak bisa berkata apa-apa lagi. Rupanya, Dafina tahu semuanya. Tahu rahasia yang berusaha ia sembunyikan demi karirnya.
“Aku mengumpulkan surat dukungan dari yang lainnya. You better baca deh,”
Dafina mengambil amplop putih dari kentong roknya. Yeni tak mau mengambilnya, ia hanya diam. Seperti blank, tidak tahu harus berbuat apalagi.
“Oh, kamu terharu ya? Sini aku bacain deh,” Dafina membuka amplop itu. Ia mengambil beberapa foto janin laki-laki tersebut maupun foto tas hitam tempat janin tersebut ditemukan.
“Ah, panjang sekali. Intinya kecocokan DNA 98% dengan sampel DNA bernomor 255149 dan 4113118,”
“Kalau dihurufkan jadi apa Yen? Yeni dan Damar. Akan sangat menarik jika foto dan informasi ini aku kirimkan di koran hahahahaha. Ya, you deserve it,”
“Apalagi ditambah kesaksian Mina yang selama ini kamu siksa. Kamu nggak bakalan debut, Yeni,”
Yeni maju dan menampar keras pipi Dafina hingga terdengar sampai ke telinga ibu Beti yang dari tadi sebenarnya menguping pembicaraan mereka.
Dafina memegang pipinya yang memerah. Pusing. Pandangannya hampir gelap diakibatkan tamparan itu.
“Sekali lagi kamu ganggu hidupku, aku nggak akan segan-segan tusuk kamu juga!” Tegas Yeni, memojokkan Dafina yang masih sempoyongan menahan berat badannya.
“Juga? Sama seperti apa yang pacarmu lakukan pada pak Takumi?” Dafina berjalan menghindari Yeni. Ia mengambil sepatu kuning tua dengan tali coklat yang ada di rak sepatu di aula tersebut. Ia lalu melempatkannya pada Yeni.
“Asu!” Umpatnya pada Dafina yang beranjak pergi.
Yeni mengepak semua barangnya. Dengan serampangan, ia memakai kemeja kotak-kotak yang tergantung di pojok ruangan. Ia lari, tak karuan. Pikirannya sudah tak berbentuk, karirnya sudah di ujung tanduk.
Ia mengabaikan teriakan ibu Beti memanggilnya. Ia menelusuri tiap jalan yang kemungkinan dilewati oleh mobil Dafina. Namun nihil, mobil wanita itu tak nampak pun.
“Ya Tuhan kamu kenapa Yen?” Tanya Dinda ketika Yeni tak sengaja menabraknya. Fahri dengan sekuntum bunga mawar merahnya dengan polos menyelamati karier Yeni yang selangkah lagi (seharusnya) cemerlang. Serta sebuah bungkusan kuning tua berisi penanak nasi yang memang mewah di tahun tersebut ditenteng oleh tangan kurus Rinda.
“Dafina, Din!” Yeni bergetar. Menangis di pelukan Dinda.
“Yaudah, jangan cerita disini,” Fahri meletakkan jari telunjuknya di depan mulutnya sendiri. Mereka lalu masuk ke warung bakmi Jawa yang berada tepat di sisi kanan toko bunga tempat mereka membeli bunga.
“Jadi Dafina tahu semuanya?” Buka Dinda yang berada di sebelah Yeni.
Yeni mengangguk. Bibirnya bergetar ketika ia menceritakan semua yang Dafina lakukan di aula sanggar tersebut. Apalagi, Yeni merasa bu Beti mendengar semua percakapan itu.
“Udah aku bilang kan, Yen. Jangan deket-deket sama bajingan kaya Damar. Hamil kan kamu, kalau gini yang susah siapa? Kamu kan?” Rinda dengan rokok beraroma mentholnya buka suara.
Ia membuang puntung rokoknya yang tinggal setengah itu ke lantai lalu menginjaknya. Ia mengambil rokok mint dari kantong Fahri. “Sekarang dimana dia? Paling wis modar,”
Yeni menumpahkan es jeruk nipis tepat di muka Rinda. “Kalau ngomong jangan sembarangan!”
“Sembarangan katamu? Coba kalau kamu nggak main-main sama dia!,”
“Pacaran nggak, tapi kawin jalan terus. Nggak ada temen yang ngawinin temen kayak gitu. Emang kalian saling cinta? Nggak kan. Birahi kok diikuti,” Rinda mengelap mukanya yang kecut terkena ampas jeruk nipis yang masuk ke mulutnya.