A Hourglass Story

Wuri
Chapter #8

Vampir

Kembali ke malam itu. 

Fahri yang sudah buta dengan pesona Yeni itu tak bisa menjaga mulutnya. 

Yeni bukan orang yang bodoh. Ia membayar mahal untuk visum, dan untungnya ditemukan luka yang meyakinkan untuk mempolisikan Rinda. Serta saksi-saksi yang ia bayar mahal itu juga menguatkan kesaksian Yeni. 

Malam itu, Yeni, Fahri, seorang polisi, dan seorang polwan tanpa seragam telah sampai di depan gang persembunyian Rinda. Mereka bersiap untuk menggerebek bangunan semacam gudang yang tertutup itu. Pintu lapuk itu terkunci. Beberapa kali polisi berusaha mengetuk namun tak ada jawaban sama sekali dari dalam. Bau busuk sudah tercium dari luar. Karena berpikiran buruk, polisi itu mendobrak pintu lapuk yang terkunci dari dalam. Setelah dua kali percobaan, pintu triplek itu akhirnya bolong, rusak. Tampaklah Rinda yang tidur di kasur tanpa sprei dengan bekas suntikan di tangan kanannya. Jarum suntik masih ada di samping kanan tempat tidurnya, beserta semua obat halusional itu. Kertas berisi lirik lagu yang diciptakannya juga berserakan. Sampah makanan kecil dan minuman berenergi sebagian ada yang menumpuk dan sebagian lagi ada di sebuah meja belajar bergambar doraemon. Semacam meja mewarnai TK. Di bawah meja mewarnai, gitar kuning milik Rinda sudah patah di bagian atasnya. 

“Saudari Rinda Kusumaningrum, anda kami tahan atas tindakan kekerasan kepada saudari Yeni. Serta pasal tambahan untuk penyalahgunaan narkoba dan obat-obat terlarang,” Polisi wanita menarik pundak Rinda agar bangun, lalu ia memborgol tangannya. 

“Bunga yang bermekaran di dataran kaki gunung, pelangi yang melengkung serupa senyum indah dirimu. Aku dan kamu, gunung dan lautan. Gunung di timur dan laut di barat. Sebuah kutub berbeda. Aku fajar yang meninggi, sementara kau senja yang berdamai dengan kegelapan…” Rancau Rinda. Pandangannya lurus ke Fahri. Ia menyeringai bagai kesurupan tepat ke arah Fahri. 

Polwan itu tidak menggubris puisi Rinda. Ia menuntun Rinda dengan tangan yang terborgol. Sementara polisi sisanya memanggil polisi yang lain untuk menyelidiki tempat ini lebih lanjut. 

Ketika sampai di depan Fahri dan Yeni, ia meludah, “Kalian akan merasakannya hahahahah,” Ia tertawa bagai kerasukan iblis. Ia kemudian masuk ke mobil polisi. “FUCK YOU,” Ia mengacungkan jari tengahnya kepada Fahri dan Yeni.

Kabar Dinda dan Rinda yang masuk penjara serta Damar yang menghilang entah kemana rupanya sudah tersebar di sekolah. Sekolah sudah sedikit lebih tenang daripada sebelumnya. Tak ada lagi pemalakan, tak ada lagi kepanikan para siswi ketika ada foto tak pantas yang diperjual belikan. Namun masih ada dua orang sisanya. 

“Selamat pagi,” Sapa Takumi pada kelas yang damai itu. Ia mengabsen seluruh siswa, dan tidak didapatinya Fahri dan Yeni, “Fahri dan Yeni ijin atau kenapa nggih?

“Sekarang kan tinggal mereka berdua,” Kelakar salah satu siswa dan ditertawai oleh yang lain. 

“Paling mereka sekarang tinggal berdua. Kumpul kebo HAHAHAHAH,” Sahut siswa yang lain. Yang lain hanya tertawa. 

Ternyata mereka juga sedikit tidak suka dengan geng anak kaya pembully itu. Namun mereka tak pula dekat dengan Mina. Mina masih menjadi siswi yang dikucilkan meski tak ada siksaan fisik lagi. 

“Pagi pak,” Sapa Fahri yang baru datang lewat tanpa melihat ke arah Takumi. Ia berjalan bersebelahan dengan Yeni. Yeni melirik sebentar ke arah Takumi yang wajahnya tengil, sedikit mengejek. Kedua anak itu langsung duduk sebelahan. 

Hening.

Tidak ada yang menyahut, tidak ada yang berbicara sampai Takumi dengan muka songongnya menanyai mereka seolah tak tahu apa yang terjadi, “Udah sembuh kalian? Mbak Yeni gimana audisinya. Setelah kelas, nanti cerita ya. Asyik nih kita bakal punya temen artis,” 

Tidak ada yang menanggapi. 

“Oke ya sudah. Kita lanjut belajar saja. Sekarang kita belajar tentang Fluida Statis. Gimana, apa modul dari Bapak sudah dibaca?”

Takumi meneruskan pelajarannya dengan berlagak sok polos seolah tak tahu apa-apa. Celakanya, semua murid kelas juga menganggap ia benar-benar polos. Padahal ia dan Dafina lah yang secara tidak langsung merencanakan semua ini. Agar Yeni dan kawan-kawannya lah yang justru menjatuhkan satu sama lain. 

Dafina berulang kali melirik dua orang itu dari pantulan cermin yang dibawanya. Dua wajah keji itu tak tampak keji lagi, namun ia malah terlihat gelisah. Untuk foto dan hasil DNA itu, memang Dafina menundanya. Menunggu agar mereka mengakui sendiri. Menunggu agar Yeni menyadari kesalahannya seperti Dinda. 

“Kamu nggak kebangetan ya sama mereka?” Tanya Mina ketika melihat Dafina cengar cengir di depan cermin bulat yang ia bawa dari rumah. 

Dafina balik menatap tengil Mina yang jauh lebih tenang dari sebelumnya, “Kamu tahu siapa yang akan aku singkirkan setelah menyingkirkan dua orang itu? Cahyo,”

“Jahat kamu Daf,” Ucap Mina datar. 

“Kalau kamu memang cinta sama dia, kamu tunggu otakmu waras dulu. Kalau kamu udah waras, barulah kamu telaah baik-baik, apakah dia baik buat kamu?” Bisik Dafina, namun Mina tak menggubrisnya. Dafina adalah orang yang paling ia senangi, namun ia benci ketika Dafina membahas Cahyo. 

Dafina mencium parfum vanilla itu. Entahlah apa yang diperbuat Cahyo hingga wanita ini beraroma vanilla. Atau memang parfum itu diberikan pada Mina? Tidak. Wangi raspberry parfum Mina masih tercium dari seragam Mina. 

“Kamu ganti parfum ya?” Selidik Dafina. Mina hanya menggeleng. Ia mengatakan bahwa ia masih menggunakan parfum botol anak-anak yang lama. 

“Emang nggak beres. Beneran,” Gumamnya. 

“Pagi pak, Fahrinya ada?” Bapak guru olahraga muda itu mengetuk pintu kelas, lalu masuk mencari Fahri. Fahri pagi ini jadwalnya latihan dengan rekan-rekan satu timnya itu untuk pertandingan antar provinsi . 

“Tumben banget pak nggak ada surat ijin. Latihannya dimana pak?” Tanya Takumi kepada bapak guru olah raga itu. 

“Di lapangan sekolah pak. Kebetulan lapangan di GOR tempat biasanya kita latihan sedang digunakan untuk pertandingan antarklub regional,” 

Takumi tersenyum sok polos. Begitupun dengan Dafina, “Jadi anak-anak, Mas Fahri ini dipilih jadi salah satu anggota tim basket putra daerah ini. Besok dua bulan lagi akan ada pertandingan basket antardaerah yang berskala nasional. Ayo beri tepuk tangan untuk Mas Fahri,”

“Mas Fahri, ayo maju,”

Fahri dengan wajah jengah maju dengan diiringi tepuk tangan terpaksa dari para siswa di kelas itu. 

“SEMANGAT FAHRI!” Teriak Dafina dengan lantang, ia bertepuk tangan dengan sangat keras. 

“Itu udah disemangatin sama number one fans. Pak Bowo, perlu diketahui kalau mas Fahri ini totalitas banget latihannya, sampai jarang tidur dan…..” Takumi menepuk pundak Fahri. Pak Bowo, guru olahraga tersenyum bangga. 

“Sudah pak saya mau latihan dulu,” Potong Fahri lalu ia berjalan begitu saja. Bahkan ia tak menyapa pak Bowo. Pak Bowo sampai minta maaf pada Takumi. 

Dafina tahu, Takumi merencanakan sesuatu. 

Pulang sekolah, tiba-tiba Dafina ditarik tangannya oleh Takumi yang berada di ruangan kelas X yang kosong. Ia memberikan kamera dan recorder. “Kamu lihat lah dia tanding hari ini. Pura-puralah jadi fans,” 

“Lah ngapain?” Tanya Dafina sambil memasukkan dua alat itu ke dalam tas biru langitnya.  

“Buat narik massa. Sama aku udah bikin ini,” Takumi mengeluarkan peralatan pemandu sorak yang berbentuk seperti jerami yang dibuat dengan rafia warna merah sebanyak lima pasang. Ia juga membuat poster yang terbuat dari kertas manila yang ditulisi dengan kertas emas sebanyak lima buah dengan kata-kata semangat yang berbeda. Di salah satu poster, ia menggambarkan anime yang identik dengan Fahri yang sedang bermain basket. Ia menggambarkan Fahri yang latihan pada tengah malam saat lampu lapangan hampir mati. Takumi menyuruh Dafinalah yang harus membawa poster itu. 

Dafina tahu, Takumi tak akan seniat ini jika tak punya alasan. Tapi dengan membuatnya seperti ini?

“Nanti kamu akan tahu,” Jelas Takumi yang seolah membaca pikiran dan ekspresi bingung Dafina. 

Dafina segera saja lari menuju lapangan tempat anak-anak basket itu latihan. Benar saja, ia membagikan peralatan pemandu sorak itu pada lima siswi yang paling tampak antusias melihat latihan. Sungguh, jika Dafina berada di usia belasan, ia akan benar-benar menjadi pemandu sorak untuk tim itu, bahkan untuk level latihan sekalipun. 

“KAK FAHRI I LOVE YOU!” Teriak siswi kelas X yang memakai kaos kuning dengan motif bunga bunga yang dimasukkan di rok seragam pramukanya. Rambutnya ia biarkan tergerai, ia menggunakan jepit renda bunga warna coklat muda di bagian atas rambutnya. Ia ditemani oleh dua temannya yang tak kalah antusias darinya. 

Dafina sampai membatin sebuah doa, semoga satu diantara mereka tak menjadi korban Fahri. 

“KAK FAHRI SEMANGAT!!!” Teriak siswi itu menyemangati dengan pom pom pemandu sorak yang diberikan oleh Dafina sebelumnya. 

Lapangan masih kurang ramai.

Dafina tahu, ia harus memancing keributan dengan gadis itu agar menambah penasaran orang-orang yang masih di lingkungan sekolah untuk menonton latihan tersebut. 

“FAHRI AKU MAU JADI PACARMU!” Teriak Dafina ketika Fahri hendak memasukkan bola basket ke ring. Semua pemain, termasuk pelatih dan asisten-asistennya melirik Dafina yang pura-pura tersenyum genit. 

Fahri gagal mempertahankan bola yang diambilnya, meskipun ia tahu Dafina hanya berpura-pura. Pemain dengan rompi pemain cadangan lah yang berhasil mengambil bola yang hampir saja diambil oleh Fahri. 

Kecantikan Dafina memang sudah banyak dibicarakan oleh para siswa. Pernyataan cinta dari Dafina yang lantang itu mendadak menjadi pusat perhatian para siswa yang masih ada di gedung untuk keluar sekedar melihat Dafina yang memuja muji siswa yang konon katanya terpopuler di sekolah itu. 

“JANGAN NGIMPI MBAAAK!” Siswi berkaos kuning itu menyahut. Ia menyerobot pengeras suara yang belum disingkirkan dari lapangan sekolah setelah gladi bersih suporteran itu. 

Kini Dafina diam saja, sok cantik. 

Siswi kelas X berkaos kuning dan dua temannya rupanya tersulut emosi. Mereka tak rela pemain basket dicintai orang lain. Apalagi desas-desus yang mengatakan kalau Fahri menyapa gadis itu saat ia pertama masuk. Tidak hanya menyapa, bahkan menawarinya makan. Hal yang mustahil bagi Fahri untuk bersapa ria jika bukan dengan wanita yang sangat ia inginkan.

“NGGAK USAH SOK CANTIK MBAK!” Teriak ketiga siswi itu lagi. Membalas sikap sok centil Dafina. Tiga siswi kelas X dan Dafina terus terusan berdebat hingga lapangan tersebut sesak oleh siswa siswi yang penasaran baik dengan latihan tim basket daerah ini maupun dengan suporter yang sedikit mendobrak norma itu. Pada akhirnya, ketiga siswi kelas X itu lelah. Mereka lelah mendebat Dafina. 

Lihat selengkapnya