A Hourglass Story

Wuri
Chapter #9

Lemon

Film Yeni sebulan lagi akan rilis. Yeni sudah diperkenalkan sebagai salah satu artis yang akan memainkan peran di film tersebut. Meski pemeran pembantu, film ini adalah batu loncatan yang sangat baik untuk karier Yeni. Yeni telah memiliki banyak penggemar. Bahkan sudah banyak artis dua puluhan tahun yang memberikan bunga dan sepucuk surat merah jambu padanya. 

Tak ada penyesalan di hati Yeni. Tak ada niatannya untuk menjenguk ketiga temannya, terlebih Fahri yang meringkuk di penjara anak dengan kasus pembunuhan dan narkoba. Mimpinya berkembang di atas kandasnya mimpi ketiga (atau keempat) temannya. 

Ia bukannya semakin bijak, malah berjalan semakin ndangak. Ia menciptakan pesuruh-pesuruh lain Pengikutnya semakin banyak. Dimana ada Yeni, selalu ada murid yang mengikutinya. Entah menyemirkan sepatu, membawakan tasnya, atau sekedar membelikannya jajanan. Sekali lagi, Yeni tidak berubah. 

Yeni masih sekolah di tempat yang sama. Namanya memang paling bersih diantara teman-temannya yang lain. Padahal, kesalahan yang terbesar dan berturut-turut ia lakukan. Ia akan sekolah di sekolah ini untuk sementara waktu.

Ia kini punya lima teman satu circle yang baru. Mereka juga anak orang kaya, tak kalah dari keempat teman sebelumnya. Kurang lebih satu bulan lagi, Yeni akan pindah sekolah ke ibukota agar aksesnya menjadi aktris lebih mudah.

“Mina, bukuku mana?” Seorang siswi dari kelas sebelah menghampiri Mina. 

Mina mengeluarkan lima buku tulis bersampul badur. Dengan bergetar, ia menyerahkan buku tersebut pada gadis itu. 

Dafina diam-diam memperhatikan gadis yang berdiri di depan bangkunya dan Mina itu. Dari nametag di bajunya, diketahui ia bernama Santi. Dafina sengaja menjulurkan kakinya memalang di depan pintu, membuat Santi terjatuh. 

“Jangan ngalangin jalan orang dong!” Hardik Santi yang terjerembab. Ia menepuk-nepuk roknya yang berdebu, lalu perlahan bangkit, memeriksa sikunya. Ia mendapati sikunya yang berdarah. “Tuh kan, berdarah,” Ucapnya manja.

Dafina melirik sadis Santi, lalu melewatinya begitu saja. Membiarkannya pulang ke kelasnya dengan hati tidak enak, “Lah kamu ngapain kesini?” 

“Aku bilang jangan ngerjain tugas punya siapapun lagi. Aku capek ya lama-lama,” Bentak Dafina pada Mina yang sedang menulis sesuatu di buku tulis bersampul kuning kenari. Dafina tahu, itu bukan buku Mina. 

Mina tidak menanggapi ocehan Dafina. Mina terus menulis rumus-rumus kimia di buku tersebut. 

Dafina jengkel setengah mati, ia merebut buku itu dengan kasar hingga coretan panjang tergambar di buku tersebut. Dafina semakin mendidih ketika nama Yeni Anggraeni ada di sampul buku tersebut. 

“Yeni lagi. Yeni lagi. Setelah temennya mati, dia nggak kapok ya?” 

Seisi kelas kaget setelah kata ‘mati’ terdengar dari mulut Dafina. Semua aktivitas kelas menjadi terhenti, dan beberapa anak memandang Dafina dengan pandangan sadis. 

Dafina menyadarinya. Tak ada yang bisa ia lakukan lagi, kecuali diam. 

Namun, ia tak bisa mengendalikan amarahnya ketika Yeni datang dengan petantang- petenteng seorang diri. Mungkin tak ada lagi pasukannya di kelas ini, namun posisinya sebagai calon artis membuatnya disegani. 

Ia mengelap tempat duduknya. Lalu duduk dengan anggun tanpa memperhatikan yang disekitarnya. Ia mengeluarkan kaca dari tasnya, ia bercermin dan bergumam, “Setidaknya sebulan lagi aku udah nggak jadi anak kabupaten,” 

Dafina yang merasakan aura negatif Yeni semakin tidak sabar untuk menamparkan buku kuningnya itu tepat di muka Yeni. Meskipun Mina sudah mencegahnya, Dafina. 

“Tadi apa kamu bilang, anak kabupaten?” Dafina menampar Yeni dengan buku kuning itu. Tentulah Yeni tak terima, tak ada angin tak ada hujan Dafina mengusiknya. “Anak kabupaten setidaknya ngerjain PR sendiri,”

Ia balik menampar Dafina hingga suaranya terdengar sampai pojok kelas. 

“Hahahaha, calon artis kelakuannya kayak gini toh,”

Dafina berbalik arah, ia tertawa setan. Ia mengeraskan suaranya, “Temen-temen, catet ya. Sewaktu SMA, Yeni orang curang, PR-nya nggak pernah dikerjain sendiri. Apalagi kalau dia koar-koar kalau dia murid teladan, itu pembohongan publik! Kalian semua tahu kan kalau dia juga pembully kalian semuanya punya buktinya kan!”

Ia menyunggingkan senyum miring, “Kalau kalian butuh duit, tinggal keluarkan aja bukti-buktinya. Apalagi kan, dia bikin Damar ma…,”

“DIAM!” Teriak Yeni. Ia menampar Dafina sekali lagi hingga pipinya merah. Tak cukup itu, ia juga menjambak rambut Dafina. 

“Ini ada apa?” Bu Guru kimia datang dan mendapati dua murid itu bertengkar hebat. 

Dafina tersenyum, wajahnya tenang namun licik, “Nggak kok bu, dia cuma latihan akting. Barangkali aja kan dia dapat peran psikopat,” Ia menekankan kata psikopat dalam kalimatnya. Ia melirik Yeni sinis. 

“Maafkan kami ya, bu,” Dafina kembali berucap manis. Tak ada lagi sisa-sisa raut kemarahan di wajah Dafina. 

Bu guru kimia itu tak bereaksi apa-apa. Hanya Yeni yang bereaksi berlebihan. Khawatir dengan keberanian Dafina. Ia berpikir hanya satu yang bisa menyelamatkannya, uang bapaknya. 

“Ini kan yang kamu mau?”  Sore itu, Yeni bertemu Dafina di sebuah taman di alun-alun utara. Yeni melemparkan satu tas pakaian yang berisi penuh uang kertas. 

Dafina hanya tertawa, “Kamu pengen aku membersihkan uang bapakmu?” Dafina membuka tas yang lebih nampak seperti tas peralatan badminton itu. Ia menghitung sekilas uang itu, “Emmm, dua puluh kali UMK Jogja kira-kira. Enaknya beli apa ya?” 

“Kamu bawa uang ini dan jangan menampakkan batang hidung pesekmu itu lagi!” Yeni menunjuk-nunjuk muka Dafina, ia mendorong kecil dahi Dafina. 

Dafina mengambil satu bendel uang, lalu menghitungnya di depan Yeni. Ia kemudian mengipasi dirinya menggunakan uang-uang merah tersebut “Aku kan?” 

“Makasih ya, Yen. Aku ambil ini aja, haram duit darimu,” Ia mengambil gantungan kunci besar berbentuk totoro itu. Ia pergi sambil memutar-mutar gantungan kunci itu menggunakan jarinya. “Mending kamu balikin aja ke bapakmu,”

Ia melambaikan tangannya dari belakang. 

Lihat selengkapnya