“Jadi kamu mau bawa kabur Mina buat nikahin dia karena dia hamil,” Ucap polisi tua dengan name tag Rohmat setelah mendengarkan penjelasan Cahyo. Cahyo dengan jujur mengatakan bahwa ia berniat meninggalkan istrinya. Ia mengaku tak cinta dengan istrinya. Istrinyalah yang terlalu jauh mencintainya. Kebetulan, ayah istrinya kaya. Jadi, ia bisa meyakinkan orangtuanya untuk menikahkan Cahyo dengan anaknya. Ia mengatakan bahwa ia membuat Mina hamil karena ingin berpisah dari istrinya namun tidak menemukan cela untuk mencari kesalahan sang istri. Jadi ia menempuh jalan terakhir, menjalin hubungan dengan perempuan yang ia inginkan.
Cahyo mengangguk.
“Heh, kamu itu calon guru loh. Kok bisa kayak gini,” Pak Rohmat memukul kepala Cahyo menggunakan gagang kemoceng. Cahyo tidak bisa menjawab.
Takumi ada di ruangan itu dengan para polisi lainnya. Polisi lainnya tampak menyimak introgasi Cahyo yang menjelaskan kronologi ia membawa Mina.
Pak Rohmat membuka-buka dokumen riwayat hidup Cahyo “Padahal kamu udah punya anak empat tahun. Wah gila ya kamu? Kenapa kamu ngejar anak SMA lho,”
“Mina udah tahu?” Tanya pak Rohmat menahan amarahnya sekali lagi. Cahyo mengangguk dan para polisi kompak mengelus dada. Takumi bahkan sampai tersendak.
Polisi tak berseragam yang duduk di sebelah pak Rohmat mengetik sesuatu dengan komputer tabungnya.
“Pak, istri Cahyo sudah datang,” Seorang polwan masuk bersama dengan seorang wanita berdaster batik ungu yang menggunakan cardigan hitam sebagai outer-nya. Wanita itu masih sempat tersenyum kepada pra polisi, masih sempat meminta maaf. Wanita itu berwajah bulat lebar, dengan mata kecil sipit, hidungnya tidak terlalu mancung. Ia tampak seperti wanita yang ceria dengan senyum lebar bibir tipisnya yang menunjukkan gigi kelinci. Serta rambut tipis pendeknya yang berponi semakin menandakan kalau dia adalah seorang yang terlampau ceria.
“Ibu Sarina Nugroho nggih? Wah ibu sabar sekali, kalau saya jadi ibu pasti udah injak kepalanya,”
Sarina tersenyum lebar, “Dia ayah dari putra saya, Taki. Bagaimana saya bisa menyakitinya. Menyakitinya sama saja menyakiti anak saya,”
Mata sipit Takumi melotot ketika mendengar nama Sarina. Apalagi Sarina menyebut nama Taki.
Ia nekat mendekat ke arah meja pak Rohmat yang sedang mengintrogasi Cahyo yang tertunduk itu. Ia langsung menyeret Cahyo dan memukulinya. Ia memukuli Cahyo sampai mukanya babak belur. Para polisi dan ibu Sarina mencoba melerainya.
“Taki, astaga!” Teriak Dafina yang datang ketika Takumi kesetanan memukul Cahyo. Para polisi itu kewalahan memegangi Takumi yang terus berusaha memukul Cahyo.
“Kamu tahu namaku, pak? Aku Takumi. Takumi Rinangga Hendrolaksito. Bahkan di namaku ada namamu, dan gabungan namamu dan nama ibu Sarina, ibuku!” Takumi meludah hingga ludahnya muncrat di kaki Cahyo.
Mereka baru sadar, ada kesamaan antara namanya dan nama Cahyo.
Dewangga Cahyo Hendrolaksito, itu nama panjang Cahyo.
“Kamu ninggalin ibuku yang baik demi anak SMA? Ndak masuk blas! Jadi selama ini perempuan yang aku bela adalah orang yang membuat ibuku gila!” Nada Takumi meninggi.
Para polisi, termasuk Sarina hanya bisa melongo. Sarina melihat wajah Takumi sekali lagi. Ia melihat dirinya versi laki-laki. Ia berwajah sangat mirip dengan ibunya, di tahun ini kedua orang tersebut tampak seperti sepasang anak kembar.
“Taki?” Gumam Sarina. Ia melihat wajah Takumi sekali lagi. Benar, wajah terlampau lembut itu adalah wajah anaknya. Pria yang versi balitanya ada di rumah sekarang.
Mereka bertatapan sedikit lama sampai Dafina menyeret Takumi untuk masuk ke mobilnya.
“Berarti Cahyo adalah ayahmu?” Tanya Dafina yang menyetir. Tangan kirinya berada di rambut Takumi, mengelusnya pelan agar dia tenang. Ia tak bisa menahan tangisnya.
“Aku menolong perempuan yang merebut ayahku dari ibuku, sayang,” Ia semakin menangis tanpa suara. Wajahnya merah.
“Sudahlah, lihat saja nanti apa yang terjadi di masa depan. Tugas kita sudah selesai. Ayahmu saja yang kurang ajar,” Timpal Dafina. Tangan kirinya masih berada di rambut halus pria itu.
Takumi mengusap air matanya, “Sekarang tanggal 25 Juli ya? Ehh anterin aku ke rumahku,” Pinta Takumi. “Setelah itu kita pulang, tapi tolong anterin aku,”
Dafina mengangguk. Ia berkendara ke arah timur. Hening lah yang ada di mobil itu, hanya sesekali terdengar tangisan Takumi.
Sampailah mereka pada sebuah perkampungan. Bisa dibilang pecinan, namun bukan. Perkampungan itu sepi, hanya ada beberapa balita yang bermain petak umpet dengan sesama balita.
Seorang balita berambut mangkok dan berwajah bulat dengan pipi tembem itu berlrian mencari tempat sembunyi. Ia berlari ke arah balik pos ronda, namun diusir oleh seorang balita perempuan. Ketika akan bersembunyi di balik pintu warung, ia diusir oleh salah satu balita laki-laki. Alhasil, dia masuk ke tempat sampah.
Pemandangan itu terlihat dari kaca mobil. Takumi tertawa untuk pertama kalinya.
“Itu pasti kamu. Gemes banget hahahaha,” Gumam Dafina. Takumi lalu keluar menghampiri balita tersebut. Ia menggendong anak tersebut dan berjalan ke arah rumahnya.
Dafina keluar dari mobil, lalu menghampiri mereka berdua. Setelah truk sampah membawa bak sampah yang dimasuki oleh balita itu.
“Kamu siapa?” Tanya balita yang sibuk mengunyah wafer yang diberikan Takumi itu.
Takumi tersenyum, “Halo Taki, aku Taki juga. Dia itu calon istri kamu,”
Dafina tersenyum malu, ia mencubit pipi gendut Takumi kecil yang dua kali lebih menggemaskan daripada Takumi besar. Takumi kecil terlihat bingung, ia tetap mengunyah wafer.
“Kalau aku nggak bawa anak ini, anak ini sampai Piyungan, nangis di kantor polisi sampai malam baru dijemput kakek,” Jelas Takumi membuat Dafina tersenyum. “Nah itu rumahku,”