Mei 2007.
Laju bus besutan Stuttgart ini begitu tenang melahap aspal jalur pantai utara Pulau Jawa yang tidak begitu rata. Keenam karet bundar bertuliskan Michelin begitu angkuh menopang otot-otot suspensi rigid axle1 dengan leaf spring2. Cukup firm menimangku yang masih mengunci lisan ketika riuh suara di dalam kabin tengah membicarakan banyak hal.
Namun, aku tiada pernah tertarik dengan obrolan itu. Mata ini hanya terus menatap ke arah luar jendela, menikmati pendaran Sol yang mulai menerangi Gaia, memberikan cahaya kepada apa-apa yang diterpanya. Acapkali kali bus ini mengeluarkan harmoni tiga frekuensi hanya untuk mengusir lekas-lekas kendaraan yang melaju lambat di depannya. Sejurus keempat teromol yang dikendalikan oleh sistem pneumatik langsung bereaksi begitu sigap tatkala sang sopir menekan pedal rem ketika kendaraan seberat lebih dari 5 ton ini membutuhkan deselerasi.
Kuhela napas panjang ketika tersadar ini adalah bagian perjuangan selama tiga hari dua malam. Raga ini harus melewati dua batas provinsi untuk mengumpulkan nilai demi coretan pena di atas rapor yang merepresentasikan seluruh hasil belajar selama satu semester. Karena urgensi itulah, seluruh siswa kelas XI harus mengikuti kegiatan yang akan singgah di dua kota besar di Pulau Jawa.
Masih melekat imaji lembayung yang mengantarkan raga ini meninggalkan Bekasi kemarin. Tiada terasa kini sudah menapaki tanah Semarang yang begitu hangat menyambut, seraya buaian sang Sol semakin menjauhi horizon, perlahan tapi pasti merengkuh ke zenit dengan begitu perkasa.
Distorsi frasa remaja kembali terdengar mengganggu ketika bus ini semakin dekat ke tempat tujuan pertama kami. Sebuah ikon bersejarah peninggalan Kolonialisme Belanda yang konstruksinya dimulai pada tahun 1904.
Bangunan ini dahulu merupakan kantor Nederlands-Indische Spoorweg Maatschappij, sungguh masih sombong menjulang dengan begitu megah membawa seluruh pesona keindahan, tentunya bersama dengan gravitasi magisnya. Terlihat amat kental, tetapi aristokrat.
Mereka menyebutnya Lawang Sewu.
Entah karena memang namanya Lawang Sewu atau karena gugusan jendela yang rapi mengelilingi bangunan itu sehingga menyerupai banyak pintu sehingga disebut demikian. Namun, aku sungguh tetap mengagumi segenap keindahan yang terpancar dari tiap-tiap sudutnya.
“San,” panggil suara itu, sekejap lalu menghentikan lamunan atas kekagumanku di tempat ini.
“Lo turun lah cepet.”
Dia Arif, sang ketua kelas, dan salah satu teman yang begitu sial berada di dekatku. Menurut mereka, berada di dekat seorang Sani akan membawa kesialan, dan karena itulah aku semakin dijauhi oleh mereka yang merasa bahwa dirinya lah yang paling benar.
“Bentar,” ujarku menghela napas seraya melangkahkan kaki untuk menuju ke kabin depan bus ini.
“Lo bawa kamera kan?” tanya Arif lagi.
Kuangkat tangan kanan yang saat ini menggenggam kamera digital besutan Eastman Kodak beresolusi 3 megapiksel; memastikan kepadanya bahwa sang pembawa sial ini sudah siap menjadi juru foto seluruh kegiatan kami di Lawang Sewu.
“Semangat lah, San,” ujar Arif seraya menepuk pelan pundakku. “Siapa tau ada anak Semarang yang nyantol sama loe kan.”
“Anak Semarang?” tanyaku keheranan.
Arif tersenyum, ia lalu menunjuk ke arah luar jendela. “ Tuh lo liat, banyak cewek Semarang di luar sana. Mereka juga kayaknya lagi study tour kayak kita.”
Kulontarkan senyum simpul seraya menggeleng ringan. “Gak lah, bro. Udah cukup terakhir gue dibikin malu sama Laura.”
Lelaki itu lalu berbalik badan. “Ya, itu terserah lo sih.”
Sejalan ia memimpin langkah meninggalkan kendaraan ini. Aku pun menyusul untuk menginjakkan kaki pertama di Kota Semarang. Sejenak, hangat atmosfernya langsung mendekapku dengan perasaan yang begitu membuncah, seolah ada satu hal besar terjadi kepada diri ini nantinya.
Sudahlah, aku tidak perlu banyak berpikir. Tugasku adalah berkeliling, mengambil gambar di beberapa sudut bangunan ini, lalu kembali ke bus, menikmati kesendirian yang telah menjadi sahabatku sejak dahulu.