A Letter From Kedah

Syarif Husni
Chapter #3

Professor Shabdin

LALU membuka handphonenya. Memastikan ruangan kuliah perdananya siang itu. Gak lucu sama sekali jika di hari pertamanya itu ia salah masuk ruangan. BKBM 1.6 tercetak di portal online miliknya. Segera ia bergegas. Sungguh ia tak mau siang itu terlambat masuk kelas. Bagaimana pun, pertemuan pertama tak akan ia nodai dengan tingkah masa SMA dulu.

Ia tiba di depan ruangan itu sesaat setelah sang dosen memulai kelas.

“Sorry Prof. I’m late..”

“Alright. Are you from Indonesia?” laki-laki itu langsung menghujani Lalu dengan pertanyaan.

“Yes, Prof. I submitted my document to U-Assist before I catch this class. Sorry..”

“Its alright, no problem. I just want to make it sure that you are from Indonesia..” lanjut lelaki yang dipanggil Prof itu.

“Oke, kalau begitu, silahkan perkenalkan dirimu kepada teman-temanmu”

“Baik, Prof”

Lalu melepas ransel yang menempel di pundaknya. Memperbaiki cara berdirinya sejenak, dan memulai memperkenalkan dirinya. Adalah hal yang biasa sebagai anak baru untuk mengenalkan identitas kita.

“Baik. Nama saya Lalu. Lalu Iqbal Martawang. Saya dari Nusa Tenggara Barat, tepatnya Lombok…”

“Sorry? Lombok?” Prof menyela. Raut wajahnya nampak serius.

Lalu merasa agak kikuk. Firasatnya mengatakan ada sesuatu yang tak elok pada saat ia menyebut nama daerahnya. Profesor pastinya paham bahwa memotong orang yang sedang berbicara itu tak baik. Tak perlu dirinya harus mengingatkan dosennya itu.

“Yes, Lombok, Prof. Lombok adalah salah satu pulau yang sangat indah yang dimiliki Indonesia..” Lalu mencoba mengumpulkan semua keberaniannya untuk mengatakan itu.

“Lombok yang banyak mengirim tenaga kerja ke sini itu ya?”

Lalu kaget. Ia sedikit tahu apa sebenarnya yang hendak laki-laki itu sampaikan. Tak perlu ia tutupi telinganya akan hiruk pikuk permasalahan para pekerja Indonesia di tanah Malaysia. Semua orang sudah tahu.

“Betul, Prof...”

Matanya menangkap air muka dosennya itu. Sejenak ia terdiam, nampak berpikir sejenak.

“Baik, silahkan lanjutkan..”

“Saya datang ke kampus ini atas beasiswa dari pemerintah Daerah Nusa Tenggara Barat. Ini tahun pertama saya. Saya tinggal di Inasis Maybank…”

“Baik. Selamat bergabung di kampus Rimba Raya. Saya harap kamu menikmati setiap proses yang akan kau lewati di sini..”

“Terima kasih, Prof” sambut Lalu. Tapi sejujurnya hatinya masih bertanya. Ada yang lain dengan reaksi profesor ketika dirinya menyebut daerah asalnya tadi.

Lalu mewarisi rasa penasaran yang begitu kuat akan sesuatu. Teringat dahulu ia terperosok ke dalam rawa penuh lumpur di pedalaman Lombok Timur sana demi memastikan bahwa sesuatu yang hitam sebesar lengan orang dewasa di dalam lumpur rawa itu adalah ikan. Ia menceburkan dirinya. Hasilnya? Hanya bongkahan kayu sisa pembakaran petani tembakau saat membersihkan area ladang. Bahkan, ia dan kawan-kawan masa kecilnya pernah berebut air di tengah aspal jalanan desa nan sunyi, pada suatu siang yang terik, dan air itu tiba-tiba menghilang. Belakangan baru ia tahu bahwa itulah yang namanya fatamorgana.

Cerita penasaran lainnya saat ia nekat stalking akun instagram adik tingkatnya waktu kuliah S1 dulu. Berita buruknya, ia lupa log out akun instagramnya atau paling tidak kembali ke halaman muka. Handphonenya yang tergeletak di atas meja tertangkap basah oleh teman-teman satu kelasnya. Dirinya kemudian menjelma bahan gosip baru di kampus. Seorang mahasiswa senior yang juga aktivis topcer Bahasa Ingggris kepoin akun instagram juniornya. Akun adik tingkat yang distalking itu diprivate beberapa hari setelahnya.

Dan rasa penasaran semacam itulah yang membawanya menyela kuliah perdana siang itu.

“Maaf, Prof. Jika tak berkeberatan, boleh saya bertanya?”

“Iya, silahkan..”

“Tadi nampak Prof agak kaget ketika mendengar kata ‘Lombok’?”

“Ooo….” Prof Shabdin ber-oo besar. Ia tahu bahwa anak muda di hadapannya menginginkan penjelasan.

“Baik. Saya agak kaget sebab Lombok tidak terlalu bagus di sini..”

“Tidak terlalu bagus? maksud, Prof?” Lalu memasang wajah penuh ingin tahu.

Huffttt.

Prof Shabdin menghembuskan napas panjang. Laki-laki itu nampak tak ingin bercerita tentang itu.

Ruangan itu hening untuk beberapa saat.

Lihat selengkapnya