Hanna sekarang ini merasa semakin sibuk. Menjelang akhir semester tugas kuliah juga semakin bertumpuk. Tapi rasanya menyenangkan, ada Gita dan Fiona yang menemaninya. Daru dan Dion juga sering bergabung dengan mereka untuk mengerjakan tugas. Makan siang juga sering bersama, bahkan di kelas gabungan yang diadakan di auditorium pun mereka sering duduk sejajar kecuali kalau dosen meminta untuk duduk per kelas.
Seperti hari ini, ketiga gadis itu duduk di depan gedung perpustakaan sambil membuka tugas mereka. Hanna sibuk dengan laptopnya untuk menulis laporan praktikum, sementara Fiona menandai bagian-bagian jurnal yang akan digunakan untuk tugas makalah. Gita sendiri sibuk dengan modul-modul untuk mencari jawaban yang benar dari kuis-kuis kemarin.
“Daru mau ulang tahun bentar lagi lho,” kata Gita memecah keheningan.
“Terus? Perlu dirayain?” Fiona mengangkat wajahnya dari modul yang sedang dibacanya.
“Yuk! Kasih kado yuk!” Gita terlihat bersemangat.
“Kamu aja Git, yang naksir kan, kamu.” Hanna menggoda Gita. Godaan yang dibalas dengan cubitan di pinggang oleh Gita. Hanna mengaduh sambil tertawa.
“Enggak ya! Enggak ada. Ada yang aku suka tapi bukan Daru,” ujar Gita sambil tersipu malu.
“Oh ya? Siapa?” giliran Fiona yang penasaran. Tapi Fiona dan Hanna sama-sama tidak percaya. Jelas-jelas dari sikapnya, Gita suka pada Daru!
“Ada deh, anak fakultas lain. Nanti aku cerita. Balik lagi nih, kado Daru apa?”
“Ah, bohong kalau enggak ada bukti. Terus Daru suka apa? Enggak tahu aku,” ujar Fiona.
Meskipun Gita tahu beberapa hal yang disukai Daru, tapi ia merasa tidak yakin untuk membeli apa. Beruntung, Dion datang tidak lama kemudian. Membawakan beberapa minuman ringan untuk mereka. Dion akhirnya menjadi narasumber bagi ketiga gadis itu. Dion menceritakan kesukaan Daru, seperti fotografi, karate, berkemah, menggambar, futsal. Tapi rasanya tidak ada yang cocok untuk dijadikan kado.
“Kan suka fotografi, gimana kalau lensa kamera aja?” usul Gita dengan senyuman lebar seolah menemukan ide cemerlang.
“Heh, gila kamu! Lensa itu mahal Anggita Wulandari. Uang bulanan kita digabung juga nggak cukup!” Fiona kesal. Wajahnya cemberut.
“Apa dong? Kaos futsal? Sepatu futsal? Tenda buat kemah?”
“Ini anak enggak pernah hidup susah aku rasa,” ucap Fiona terlihat gusar dan gemas pada Gita.
“Kado handmade bagus menurut gue, tapi kita bisa bikinnya nggak?” ucap Dion.
“Nah iya, tau enggak sih toples kaca yang diisi pasir pakai kerang-kerang gitu? Lucu kan buat kado. Bikin itu aja!” Gita kembali bersemangat.
“Nyari pasir dimana Gitaaa! Disini banyaknya tanah, bukan pasir.” Hanna menarik napas panjang, turut gemas pada Gita.
Gita mengusulkan mencari di mall kecil dekat kampus mereka. Meskipun tidak yakin akan menemukan pasir dan bahan yang mereka cari, Hanna dan Fiona menyetujui ajakan gadis itu. Dion memilih tidak ikut karena ada janji dengan Daru. Kalau dibatalkan Daru pasti akan menanyakan alasannya pada Dion. Sepulang kuliah, mereka pergi berkeliling mall dan tak menemukan apapun kecuali toples kaca. Mereka menatap toples kaca yang mereka beli sembari duduk di meja food court.
“Mau diapain ini, masa kadonya toples,” ucap Gita sambil cemberut.