Hanna mengaduk bubur ayamnya berusaha agar tidak terlalu panas. Ia lapar sekali. Lapar dan kesal lebih tepatnya. Seharusnya hari ini Hanna, Gita, Fiona dan Daru berkumpul di kos Fiona untuk membuat hadiah ulang tahun Dion. Mereka berjanji pukul sembilan pagi supaya siang nanti sudah selesai. Hari Sabtu yang seharusnya dinikmati Hanna dengan bersantai sambil mencuci pakaiannya. Tapi bukan itu yang membuat Hanna kesal. Masalahnya setelah Hanna keluar kos, Gita dan Fiona baru mengabari kalau mereka masih di rumah budhe-nya Gita dan baru sampai kos jam sebelas nanti.
Belum lagi Daru mengirim pesan kalau dirinya akan menyusul mungkin tiba pukul sepuluh. Hanna yang hampir tiba di kos Fiona akhirnya memutuskan untuk mampir makan bubur dan rencananya setelah makan bubur ini ia akan pulang dulu ke kos. Menunggu dua jam itu lama bagi Hanna. Begitu bubur ayamnya hangat Hanna dengan cepat melahap semangkuk bubur itu, mengisi perut yang sudah daritadi marah padanya karena tidak ada pekerjaan.
Hanna berjalan kembali ke kos. Jam baru menunjukkan pukul setengah sepuluh pagi. Masih lama acaranya, masih satu setengah jam lagi. Tapi Hanna sudah tidak terlalu kesal, mungkin ini efek kalau perut kenyang.
Tin! Suara klakson motor mengagetkan Hanna. Motor bebek hitam dengan pengendaranya yang mengenakan jaket hitam keabuan dan helm merah Nampak familiar bagi Hanna yang masih memegangi dadanya karena kaget. Daru membuka kaca helmnya dan tersenyum lebar. Laki-laki itu menggunakan kacamata padahal biasanya tidak. Hanna hampir tidak mengenalinya karena wajahnya tampak berbeda.
“Mau kemana? Kos Fiona kan kesana.”
“Fiona sama Gita nanti sampai sini jam sebelas. Mereka masih di rumah budhe-nya Gita.”
“Ya ampun. Saya enggak buka hp soalnya daritadi. Eh terus kamu mau kemana ini?”
“Pulang,” jawab Hanna singkat dan polos. Ia tidak memikirkan Nasib Daru kalau dirinya pulang.
“Saya gimana?” pertanyaan pendek dari Daru menyadarkan Hanna. Gadis itu terlihat berpikir, tidak mungkin dia mengajak Daru ke kos. Kos tempat tinggal Hanna itu khusus perempuan dan Hanna tidak ingin mendengar ocehan ibu kos tentang aturan membawa teman laki-laki meskipun itu hanya duduk di teras kos-nya.
“Ke danau kampus aja yuk. Nongkrong aja gitu. Mau enggak?” usul Daru.
Hanna menyetujui usulan itu dan menaiki motor Daru. Menghabiskan waktu satu setengah jam untuk menikmati pemandangan dan udara segar di danau kampus bukanlah pilihan yang buruk. Lagipula Hanna tidak sendirian, ada Daru yang menemaninya. Sesampainya disana, Daru dan Hanna duduk di rerumputan dekat danau. Udaranya sejuk dengan angin sepoi-sepoi. Suasananya tidak terlalu ramai, beberapa mahasiswa dari UKM dayung sedang berlatih di danau. Ada juga pasangan-pasangan muda yang duduk dan berfoto.
Ini pertama kalinya bagi Hanna maupun Daru untuk duduk berdua tanpa adanya kegiatan lain. Biasanya mereka makan atau seminar bersama, bukan duduk bersantai seperti ini. Rasa canggung hadir dalam hati Hanna. Gadis itu akhirnya hanya duduk menatap danau dengan wajah setenang mungkin. Ia berusaha mengatur ritme napasnya.
“Anginnya sejuk. Pemandangannya juga bagus, bikin tenang. Aku baru tahu deh suasana di danau kampus ini. Kalau tahu dari dulu kayaknya aku sering kesini,” tutur Hanna, memecah kecanggungan yang dirasakan keduanya.
“Hehehe, syukurlah kalau kamu suka. Saya tadi enggak kepikiran tempat lain, karena ini kan hari libur juga.”
Setelah itu mereka berbincang banyak hal. Terkadang ucapan Daru membuat Hanna tertawa. Obrolan mereka merembet kemana-mana. Tidak hanya mengenai kuliah dan tugas-tugasnya. Percakapan itu mengalir begitu saja tak tentu arah. Kadang mereka membahas lagu, politik dan berita-berita yang terjadi belakangan ini. Hanna merasa bebas berbicara dengan Daru dan mengutarakan semua pendapatnya. Begitu juga dengan Daru.
“Kalau film, kamu suka film apa?” pertanyaan Daru membuat Hanna sedikit termenung. Ia sudah banyak menonton film, tapi tidak tahu film apa yang ia benar-benar suka. Rata-rata film yang ia tonton sama saja, jarang ada yang membekas.