A Letter To You

Yusrina Imaniar
Chapter #10

Kemah Angkatan

Hanna, Fiona dan Gita sudah berkumpul dengan mahasiswa lainnya di lapangan kampus. Di sana terparkir truk-truk tentara yang akan membawa mereka ke lokasi Kemah Angkatan. Perjalanan yang menggunakan truk bukan bus ini membuat mereka tertarik karena belum pernah menaiki kendaraan seperti itu.

Tas carrier yang Hanna bawa terasa cukup berat baginya. Berkali-kali Hanna memperbaiki posisi demi membuat bahunya terasa lebih nyaman, tapi hal itu tidak terlalu membantu. Hingga akhirnya tas carrier itu Hanna lepaskan. Sepertinya tasnya berat karena Hanna membawa banyak air mineral. Selain itu barang yang wajib dibawa juga cukup banyak.

Perjalanan menuju lokasi Kemah Angkatan memakan waktu sekitar 2,5 jam dari kampus mereka. Sepanjang perjalanan, para mahasiswa itu sibuk dengan bernyanyi dan mengobrol. Hanna juga menikmati perjalanan yang menyuguhkan pemandangan menenangkan seperti kebun teh. Udara juga terasa sejuk. Hanna merapatkan jaket yang ia kenakan, berharap jaket yang ia bawa lebih tebal dari yang sekarang ia kenakan.

Setiba di lokasi Kemah Angkatan, para mahasiswa dibawa ke villa yang menjadi lokasi mereka menginap dan beristirahat. Hanna memilih satu kamar dengan Gita dan Fiona serta beberapa mahasiswi lainnya. Hanna meletakkan barang bawaannya dan juga menggelar sleeping bag untuk tidur nanti malam.

“Udaranya ternyata dingin banget,” ucap Fiona seraya bercerita kalau di rumah tempatnya tinggal biasa bersuhu panas, jadi suhu dingin begini terasa lebih menggigit untuk kulitnya. Hanna memijat bahunya pelan, berharap rasa pegalnya berkurang setelah menggendong tas beratnya. Ia segera mengeluarkan beberapa botol minum berukuran satu setengah liter dari tasnya. Hanna juga mengeluarkan kayu putih dan mengoleskannya dibahu dan leher, berharap cairan bening kehijauan itu bisa memberinya kehangatan dan menghindarkannya dari udara dingin.

Waktu istirahat hanya sekitar tiga puluh menit sebelum akhirnya mereka dikumpulkan lagi di lapangan untuk makan siang dan pengarahan. Kunjungan ke kebun teh berikut pabrik pengolahannya akan dilaksanakan besok. Acara pertunjukan seni kecil juga akann diadakan esok malam. Setiap kelompok sibuk memikirkan apa yang akan ditampilkan.

Hari ini bisa dibilang mereka benar-benar menikmati hari. Mengobrol dengan kakak tingkat dan juga mengakrabkan diri dengan mahasiswa satu angkatan. Kondisi villa yang menjadi tempat mereka menginap juga sangat nyaman, meskipun harus tidur di lantai dan menggunakan sleeping bag. Satu hal yang menyebalkan dari acara ini adalah ponsel mereka harus dimatikan dan hanya boleh digunakan malam hari Ketika jam istirahat tiba. Hanna tidak terlalu keberatan dengan itu karena ia tidak punya orang lain yang perlu ia hubungi selain orangtuanya. Teman-temannya ada disini, jadi tidak perlu khawatir.

Waktu berlalu dengan begitu cepat, malam sudah tiba. Hanna mengabari orangtuanya kalau kegiatannya hari ini sudah selesai. Lampu kamar sudah dimatikan dan pintu juga sudah ditutup. Hanna berbaring dalam sleeping bag sambil memegang ponselnya. Teman-teman yang lain juga begitu. Terlihat beberapa sleeping bag yang memancarkan cahaya ponsel, menunggu kantuk datang. Hanna sudah mulai mengantuk saat satu pesan masuk membuat ponselnya bergetar.

Evandaru : [Hanna udah tidur?]

Satu pesan berisi pertanyaan yang membuat jantung Hanna berdegup sedikit lebih cepat. Pesan itu dari Daru, membuat kantuk Hanna pergi. Hanna menggigit bibir, berpikir akan membalas atau menunggu besok. Akhirnya Hanna memutuskan untuk membalas pesan itu.

Hanna : [Belum, kenapa? Kamu belum tidur?]

Evandaru : [Agak susah tidur. Kamu nggak kedinginan kan? Hati-hati jangan sampai kedinginan.]

Hanna menarik napas panjang, berusaha menjaga ritme jantung yang semakin cepat tanpa persetujuan darinya. Perhatian ini diberikan padanya karena Daru hanya menganggapnya teman kan? Pasti tidak lebih dari itu, pikir Hanna. Tapi kenapa rasanya ia sudah jatuh cinta tanpa bisa ia kendalikan?

Hanna : [Enggak kok, aman. Aku tidur dulu ya, mulai ngantuk.]

Evandaru : [Oke. Selamat tidur, Hanna. Sampai ketemu besok.]

Mungkin kalau sekarang lampu dinyalakan, orang-orang bisa melihat wajah Hanna yang merah seperti tomat. Sekarang saja rasanya pipi Hanna panas. Gadis itu meringkuk dalam kantung tidurnya sambil memegangi kedua pipinya yang masih terasa panas. Mungkin memang sudah waktunya berhenti menghindari perasaannya. Hanya saja bagi Hanna, sekarang ini ia tidak boleh banyak berharap. Hanna mematikan ponselnya dan menutup mata. Sekarang ini ia perlu tidur.

*

Matahari sudah terbit dan mulai meninggi saat para mahasiswa junior berkumpul di Tengah lapangan untuk memulai kunjungan ke kebun dan pabrik pengolahan teh. Mereka akan berjalan cukup jauh hari ini. Hanna memastikan ia membawa cukup air minum dalam tas ranselnya. Beberapa peralatan dan juga kebutuhan pribadi sudah dipastikan tidak ada yang tertinggal. Bahu Hanna masih terasa sedikit sakit, tapi Hanna mengabaikan hal ini.

“Masih sakit bahunya?” Fiona menatap Hanna yang memijat bahunya pelan sebelum menggendong tas ranselnya. Hanna hanya mengangguk sambil meregangkan tangan.

“Mau koyo enggak? Siapa tahu perlu. Baunya nggak enak sih, tapi lumayan lah.”

“Enggak deh, makasih Fi. Tapi nanti juga hilang kok. Ini pegal biasa aja,” tolak Hanna.

“Bawa aja sih. Aku bawa banyak.” Fiona memberikan sebungkus koyo pada Hanna dengan sedikit memaksa. Hanna sering merasa dirinya baik-baik saja, tapi hal itu membuat teman-temannya lebih mudah khawatir pada Hanna. Hanna berterima kasih dan memasukkan koyo itu dalam tasnya.

Lihat selengkapnya