Hanna tahu benar kalau Aksa menyukainya dan mendekatinya. Bisa terbukti dengan pesan yang Aksa rajin kirimkan. Aksa juga sering mengirimi Hanna makanan. Tapi Hanna tidak terlalu banyak memberikan reaksi pada Aksa. Hanna merasa bersalah setiap melakukannya, ia menunggu Daru tapi seperti memberi harapan pada Aksa.
“Daru juga enggak gerak. Kesal aku sama dua laki-laki itu!” ucap Fiona ketus.
Hanna, Gita dan Fiona tengah berkumpul bersama, menghabiskan waktu bertiga di kamar kos Fiona. Saat berkumpul seperti ini, tentu saja yang menjadi topik pembicaraan adalah cinta. Hanna memeluk boneka beruang milik Fiona. Berbeda pendapat dengan Fiona, Gita justru berkata, “emang Daru gitu kok. Tungguin kek, sabar. Dia udah ngasih banyak sinyal!”
“Tapi ini kelamaan, lho. Udah mau setahun tapi enggak ada kejelasan. Bentar lagi tingkat empat. Lama amat mikirnya! Lama-lama aku jadi tim Aksa!” seru Fiona berapi-api.
“Kamu masih berharap sama Daru?” tanya Gita. Mau Gita dan Fiona memihak ke salah satu laki-laki itu, perasaan Hanna yang paling utama.
“Yah… masih. Tapi Daru enggak ada kejelasan juga. Aku jadi bingung. Sebenarnya dia punya perasaan sama aku atau enggak. Tapi kata kamu kan, yang penting perasaan aku, bukan perasaan dia,” ucap Hanna mengambang. Rasanya semakin galau saja.
“Bukan masalah itu! Gini ya Han, kamu boleh kok suka sama Daru tanpa peduli perasaan Daru sama kamu. Tapi kalau kamu nunggu terus gini, buang waktu. Mau sampai kapan memangnya ditungguin? Makin hari aku lihat dia makin jauh. Coba lihat, kapan terakhir dia kirim pesan sama kamu?”
Hanna termangu. Sudah lama ia tidak saling berkirim pesan dengan Daru. Hanna mengecek ponselnya, terakhir Daru mengiriminya pesan adalah tiga hari lalu. Saat Fiona membaca isi pesan mereka, isinya hanya sebatas membahas tugas. Entah Daru meminjam tugas Hanna atau bertanya tentang buku sumber yang Hanna gunakan.
“Lihat kan, Git! Kalau chat kayak gini, mana bisa dibilang naksir!” seru Fiona penuh kemenangan seraya mengembalikan ponsel Hanna. Gita berpikir sejenak, “tapi waktu itu sampai pegangan tangan lho.”
“Main-main aja dia kayaknya! Udah ah, aku bete kalau bahas Daru!”
Hanna diam. Sebagian dalam hatinya memang ingin tetap menunggu Daru. Tapi menunggu orang yang bahkan kini tidak berusaha untuk mendapatkannya membuat Hanna merasa bodoh. Ah, andai Tuhan menunjukkan pada Hanna siapa orang yang tepat.
*
Hanna pergi makan siang sendirian. Fiona pergi mengikuti seminar dan Gita makan siang dengan pacarnya. Rencananya, mereka akan berkumpul lagi sebelum kuliah dimulai. Hanna memesan satu paket ayam goreng lengkap dengan nasi, tahu, tempe dan sambal. Saat sedang menikmati makannya, Dion duduk diseberang Hanna.
“Hei, gue gabung sini ya. Si Gita sama Fiona mana?” tanya Dion sambil menyiapkan sendok dan garpu untuknya makan. Hanna menjelaskan kegiatan mereka dan Dion hanya manggut-manggut.
“Eh, nanti gue mau lihat buku yang elo pinjam dari perpus kemarin. Dibawa enggak?” tanya Dion tiba-tiba. Hanna menganggukkan kepalanya dan merogoh ke dalam tasnya. Namun pandangannya tersita oleh sebuah situasi tak terduga.
Daru baru saja masuk ke dalam kantin bersama seorang gadis. Hanna yakin itu bukan teman satu angkatannya. Sepertinya gadis itu adik tingkat mereka. Dion menyadari kemana perginya tatapan Hanna dan mengangkat alisnya saat Daru duduk bersama gadis itu. Tidak ada yang tahu apakah Daru menyadari atau tidak kalau Hanna ada disana dengan Dion.