Hanna menuruni tangga perpustakaan dengan langkah cepat. Baru hari pertama berkuliah tapi Hanna sudah meminjam beberapa buku untuk bacaan tambahan. Mungkin gadis itu menjadi orang pertama yang mengunjungi perpustakaan hari ini. Waktu bahkan baru menunjukkan pukul sepuluh pagi. Hari ini kelas pertamanya sudah selesai, hanya pengenalan dosen dan aturan-aturan saja.
Gita dan Fiona sudah menunggunya di lantai paling bawah perpustakaan. Maka dari itu Hanna berjalan terburu-buru. Rencananya ketiga gadis itu akan pergi makan bersama. Ada kafe kecil yang baru buka tak jauh dari kampus mereka. Tentu saja ketiganya akan saling bertukar cerita. Langkah Hanna semakin cepat hingga ia melewatkan satu anak tangga.
“Pelan-pelan Hanna!” beruntung, Daru memegangi tangannya dan menahan Hanna berguling di sisa tangga. Jantung Hanna berdebar cepat karena terkejut hampir jatuh terjerembab.
“Waah, thank you Daru!” ujar Hanna ceria setelah kembali menyeimbangkan dirinya.
“Mau kemana memangnya? Buru-buru gitu.”
“Mau ke kafe yang baru itu lho. Sama Fiona dan Gita. Daah!” Hanna melambaikan tangannya pada Daru dan segera keluar perpustakaan. Kedua sahabatnya sudah menantinya.
“Saya ikut dong! Boleh kan? Atau ini khusus perempuan?” Daru segera bergabung dengan mereka sambil membenarkan posisi tas di bahunya.
“Boleh kok. The more the merrier, ya kan?” sambut Gita cerah.
Daru segera menghubungi Dion untuk mengajak ikut berkumpul. Ajakan yang segera disetujui oleh Dion. Tidak lama kemudian kelimanya sudah berkumpul. Mereka memutuskan untuk berjalan kaki menuju kafe. Gita, Hanna dan Fiona berjalan berdampingan sementara Daru dan Dion mengikuti di belakang mereka. Hanna menceritakan sekilas pada Gita dan Fiona tentang Aksa. Ia yakin tak bisa bercerita dengan detail jika ada Dion dan Daru disekitar mereka. Ini tentang cinta pertama, tentu saja hanya Gita dan Fiona yang bisa memahami Hanna.
“Gila sih, jadi selama ini dia naksir kamu tapi masih ragu gitu? Sekarang datang lagi pas udah yakin, enggak peduli kamu ada pacar atau nggak. Gitu?” Gita memastikan kesimpulan cerita yang ia dapatkan. Hanna mengangguk membenarkan kesimpulan Gita.
“Dih, kalau aku, enggak akan aku terima balik walaupun jadi temen.” Fiona cemberut.
“Ih si dingin. Kalau cuma berteman sih nggak apa-apa juga kali!” tukas Gita sambil mencibir.
“Lagian Aksa temanku satu-satunya di SMA. Kayaknya jahat aja gitu kalau aku sampai enggak mau temenan cuma karena masalah perasaan,” ujar Hanna sambil menggandeng lengan Fiona.
“Suka-suka kamu deh. Pantas kamu sekarang lebih ceria.” Fiona tersenyum pada akhirnya, dalam hati bersyukur kalau Hanna sekarang terlihat sangat bahagia.
“Iya dong, aku punya kalian, temen lamaku juga udah baliki. Nilai-nilaiku bagus. Apalagi coba?” Hanna sedikit menyombongkan diri sambil bercanda.
“Deket sama yang ditaksir juga lagi. Eh, tapi masih?” bisik Gita pada Hanna, membuat Hanna menyikut lengan Gita demi membuatnya diam. Ia tak mau Daru mendengar apapun. Hanna tidak menjawab pertanyaan Gita.
Begitu tiba di kafe kecil itu, Hanna terkesima. Dinding temboknya diganti oleh kaca-kaca besar dan indah, dihiasi pot tanaman hijau menggantung. Hanna yakin bahwa ia bisa betah berlama-lama disini. Seusai memesan, mereka duduk dan mulai saling menceritakan kegiatan libur masing-masing.
“Hanna, gue penasaran.” Hanna menghentikan makannya saat mendengar Dion bicara.
“Penasaran apa?”