Hanna merasa tubuhnya hari ini aneh. Sudah beberapa hari ia merasa tidak enak badan, tapi baru hari ini dia merasa paling sakit. Empat hari yang lalu, gejalanya dimulai dengan demam dan meriang di sore hari. Namun, pagi harinya Hanna seperti baik-baik saja. Kejadian itu terus berulang hingga malam tadi demamnya cukup tinggi.
Sebenarnya Hanna ingin beristirahat di rumah. Tapi hari ini Hanna harus pergi ke kampus untuk bimbingan skripsinya. Penelitiannya sudah selesai dan Hanna harus menyelesaikan bab pembahasannya. Langkahnya gontai saat menuju kampus, wajahnya terlihat pucat dan lesu. Siapapun yang saat ini melihat kondisi Hanna, pasti akan khawatir kalau Hanna jatuh pingsan.
“Hanna, kamu harus ke rumah sakit sekarang. Jangan ke kampus. Aku jemput, ya?”
Hanna terhubung dengan Aksa lewat telepon. Hanna berniat menanyakan obat yang bisa ia beli di apotek tanpa resep. Tapi Aksa bisa mendengar suara Hanna yang sudah lemah, kini memaksa Hanna untuk pergi ke rumah sakit.
“Hah? Enggak usah. Aku ada bimbingan skripsi. Dosen pembimbingku mau ke luar negeri katanya. Nanti skripsi aku molor, lagi. Pulang bimbingan aja aku ke rumah sakitnya, nanggung,” balas Hanna sambil membenarkan barang bawaannya.
“Ya sudah, kamu tunggu disana!”
Sambungan telepon dengan Aksa terputus. Hanna segera menyimpan ponselnya. Mungkin Aksa sedang ada kesibukan, pikir Hanna. Aksa juga sedang berjuang menyelesaikan skripsi. Setelah itu, Aksa akan menjalani program co-assisstant di rumah sakit universitasnya.
Begitu tiba di ruangan Doktor Heni, Hanna bertemu dengan Daru. Hanna menyapa Doktor Heni dan menganggukkan kepalanya pada Daru singkat. Daru menatapnya sesaat, Hanna yakin ada tatapan khawatir disana, tapi kini Hanna tidak peduli. Perasaannya pada Daru sudah mati.
“Jadi kalau menurut saya, kamu tambahkan pembahasan dari buku yang ini, terus kamu coba cari jurnal lain yang lebih relevan, ya?” ujar Doktor Heni sambil memberikan penanda bagian yang harus Hanna perbaiki. Hanna juga mencatatnya, berusaha keras mengabaikan sakit kepalanya yang semakin kuat. Dua jam bimbingan skripsi terasa seperti berhari-hari untuk Hanna.
Doktor Heni memerhatikan wajah Hanna yang semakin pucat, bibirnya sudah memutih dan terlihat butiran keringat di dahinya. Padahal, suhu ruangannya ini dingin. Semakin jelas kalau Hanna sedang sakit. “Kamu lagi sakit, Hanna? Perlu ke dokter itu kayaknya,” ucap Doktor Heni khawatir.
“Iya Bu, saya sesudah ini mau ke dokter,” kata Hanna sambil berusaha tersenyum.
Hanna dan Daru kemudian membereskan barang-barangnya dan pamit dari ruangan Doktor Heni. Hanna berjalan di depan Daru, ia ingin buru-buru pergi dari kampusnya dan beristirahat. Daru berjalan cepat dan menjajari langkah kaki Hanna.
“Kamu kenapa malah ke kampus kalau memang lagi sakit?” tanya Daru. Masih dengan nada ketusnya. Hanna semakin sebal, ia sudah sakit. Tidak perlu lagi mendengar omelan orang lain.
“Bukan urusan kamu,” ucap Hanna sama ketusnya. Tentu saja ia tetap memaksakan diri ke kampus untuk bertemu dengan Doktor Heni karena ia mendapat kabar kalau lusa Doktor Heni akan pergi ke luar negeri selama dua minggu. Hanna tidak ingin membuang waktu selama dua minggu untuk menunggu. Ia sudah terlalu lelah dengan urusan ‘menunggu’.