Hanna tidak tahu harus berbuat apa. Hanna dan Gita kini duduk berhadapan di kafe tempat mereka berjanji akan bertemu. Mereka berdua sama-sama tidak memercayai kabar kematian Daru. Gita sibuk dengan ponselnya, menghubungi orang-orang yang dekat dengan Daru.
“Dion juga enggak tahu tentang ini, Hanna. Kita semua enggak ada yang tahu,” ucap Gita. Hanna menganggukkan kepalanya, tatapannya kosong.
Hanna berusaha untuk tidak menangis. Rasanya tidak wajar jika ia menangisi laki-laki lain padahal kini ia sudah bertunangan dengan Aksa. Tapi kabar tentang Daru membuat hatinya pedih. Bagaimana bisa kabar yang Daru berikan pada mereka adalah kabar tentang kematiannya?
“Dia sudah dibawa ke luar kota. Katanya kota kelahiran ayahnya,” ucap Gita lagi.
Gita menatap Hanna yang tidak bicara sejak tadi. Terlihat jelas Hanna menahan tangis. Gita berani bertaruh dada Hanna saat ini pasti terasa sesak sekali. Gita yang sudah menangisi Daru sejak tadi saja masih merasa berat dalam hatinya.
“Hanna, kalau mau nangis, nangis aja. Enggak salah kalau kamu nangis. Kamu nangis karena kehilangan teman dan itu manusiawi. Semua orang pasti mengerti.”
Baru saja Gita berkata begitu, sebulir air mata jatuh dari mata Hanna. Matanya sudah tidak sanggup menahan beban air mata yang mendesak untuk dikeluarkan. Hanna menangis tanpa suara, membuat Gita menyodorkan sekotak tisu padanya.
“Dia sakit. Katanya kanker… tapi enggak jelas kanker apa.”
“Kok bisa sih, enggak ada yang tahu?” ucap Hanna dengan suara parau akibat menangis.
“Dia sudah lama sakit. Sejak kuliah… itu kata adiknya,” kata Gita setelah membaca pesan lanjutan dari adik Daru.
Gita menyodorkan ponselnya pada Hanna. Ada foto keranda yang sudah ditutupi kain hijau dengan tulisan ‘Evandaru’ terpampang disana. Rupanya Daru sudah persiapan untuk dimakamkan. Gita menyeka air matanya lagi.
Hanna dan Gita terdiam untuk waktu yang lama. Tenggelam dalam pikiran mereka masing-masing. Gita kemudian berdiri dan mengajak Hanna untuk ikut dengannya.
“Ayo Hanna, kita harus kesana. Mungkin terlambat, tapi kita bisa mengunjungi makamnya, Hanna.”
*