Flashback hidup Daru.
Daru mengintip Hanna, Gita dan Fiona dari jendela perpustakaan. Hanna Ashadia, rupanya itu nama gadis yang selalu menggoda Gita. Mulanya Daru merasa risih dan terganggu, karena ia hanya menganggap Gita temannya. Tapi lama-lama rasanya penasaran juga. Menurut Daru, Hanna punya wajah yang menarik, terutama Ketika gadis itu tersenyum. Kertas kuis ternyata bisa membuatnya berkenalan dengan Hanna.
“Ngapain?” Dion mencolek bahu Daru yang menoleh sambil tersenyum dan menggeleng.
“Enggak,” ucap Daru, kemudian kembali duduk di mejanya. Dion ikut mengintip jendela dan menemukan apa yang sedang dilihat Daru. Dion sudah kenal Daru sejak SMA. Seingatnya, sahabatnya itu tidak pernah bersikap seperti itu.
“Nona kertas kuis rupanya ya,” goda Dion. Daru hanya tersenyum sambil melanjutkan menulis tugas.
“Kertas kuis itu cuma alasan kan? Masa iya lo enggak bisa pinjam teman sekelas. Gue juga paket A. Ngapain pinjam ke Hanna segala.”
“Ssst! Ini perpustakaan,” tegur Daru sambil tersenyum tipis.
“Naksir ya lo?”
“Cuma penasaran aja,”
Dion memutar bola matanya. Sungguh jawaban klise, pikir Dion. Mana ada penasaran sampai pinjam kertas kuis padahal jelas paket yang dibutuhkan Daru ada padanya. Ditambah Daru sampai mendekati kakak tingkat demi kertas kuis tahun lalu untuk diberikan pada Hanna. Daru memang laki-laki yang baik, Dion pun mengakuinya. Satu-satunya hal buruk dalam diri Daru adalah ego. Egonya sangat besar. Dia pasti tidak akan mengaku kalau menyukai seseorang. Daru juga pernah bilang kalau gadis impiannya adalah gadis yang punya visi sama dengannya. Bagi Dion, Daru itu rumit. Cinta ya cinta saja, tidak peduli pada siapa.
“Jadi udah enggak penasaran sekarang kan?” tanya Dion.
“Yah, sejauh ini sih udah enggak.”
Daru kembali melanjutkan menulis tugasnya. Ya, ia hanya penasaran pada gadis yang selalu menggoda Gita dan dirinya. Satu hal yang tidak bisa dijelaskan adalah kenapa hanya Hanna yang membuatnya penasaran, sementara Fiona tidak. Ada sesuatu yang menarik dari Hanna bagi Daru. Sesuatu yang Daru juga tidak bisa jelaskan.
*
Daru merebahkan tubuhnya di ranjang sambil memegangi fotokopi buku catatan Hanna. Ia menatap tulisan tangan Hanna. Dirinya memang suka mempelajari sesuatu dan grafologi atau ilmu membaca karakter lewat tanda tangan dan tulisan salah satunya. Meskipun tidak ahli dan hanya bermodalkan belajar melalui internet. Menurut Daru, tulisan tangan itu unik dan otentik.
Tulisan tangan Hanna terlihat rapi. Tekanan pada caranya menulis menunjukkan Hanna orang yang mampu mengendalikan emosi. Tentu saja, gadis itu bisa mengubah mimik wajahnya dari yang semula bersedih menjadi kembali normal dalam hitungan detik. Hanna juga sepertinya orang yang optimis, tapi tulisannya yang berukuran kecil bisa jadi menunjukkan sifatnya yang tertutup. Jarak hurufnya hampir menyambung, artinya Hanna orang yang berlogika, dan Daru menyukai itu.
Daru sadar kalau itu hanyalah perkiraan. Mungkin saja sifat Hanna tidak seperti yang ia bayangkan. Tapi entah kenapa tulisan tangan Hanna terlihat sangat menarik baginya. Dibandingkan dengan tulisan tangan teman-temannya yang lain, tulisan Hanna-lah yang paling…
Tunggu, berapa kali hari ini dia memikirkan gadis itu? Daru tersentak dan segera duduk. Kamu Cuma penasaran Daru, batinnya. Hanna teman yang baik dan ia harus mengakuinya. Tulisan tangannya rapi, itu adalah fakta. Tidak masuk akal kalau Daru menyukai Hanna hanya karena tulisan tangan atau karena rasa penasaran. Tidak, dirinya bukan laki-laki yang mudah jatuh cinta atau menyukai seseorang hanya karena hal-hal sepele. Daru selalu berpikir kalau gadis yang akan membuatnya tertarik adalah gadis dengan pemikiran hebat, punya logika yang baik, punya wawasan yang luas, ramah, menyenangkan, percaya diri dan punya banyak teman.
Hanna tidak seperti itu, pikir Daru. Selama tiga bulan terakhir mengenal Hanna, menurut Daru Hanna adalah gadis pendiam dan kadang kikuk saat harus bersosialisasi seperti kurang percaya diri. Hanna juga sepertinya tidak punya banyak teman, jarang sekali Daru melihat Hanna bergaul seperti Gita. Gadis itu seringnya sendirian atau bersama Fiona dan Gita. Meskipun begitu, Daru bersyukur karena bisa menjadi teman Hanna karena gadis itu baik dan pintar.
Ya, saya salah paham. Salah paham kalau berpikir ini tandanya saya menyukai Hanna. Saya hanya menganggapnya teman yang baik, tidak kurang dan tidak lebih.
*
Daru menghela napas kasar beberapa kali. Rasanya menyebalkan. Setelah pulang dari bioskop tadi, Daru terus berpikir. Tidak, dia tidak menyukai Hanna. Setidaknya itu yang dirinya Yakini. Hanna hanya teman, tidak lebih dan tidak kurang. Dirinya tidak menyadari kalau sikapnya itu terus diperhatikan oleh Nisa dan ibunya. Sang ibu tahu bahwa ada yang mengganggu pikiran putra sulungnya itu.
“Kenapa sih Kak? Daritadi kelihatan kesal. Cerita, dong!” ceplos Nisa, setengah gusar melihat kakaknya.