A Letter

Shelly Habsari
Chapter #2

Kembali ke Indonesia

Curup-Indonesia, Juni 2017

Tara mengerjap tiga kali. Ia mengedarkan pandangan ke seluruh sudut yang bisa dijangkau oleh matanya dan setelah sadar ia ada di sebuah ruangan yang—menurutnya—kamarnya, gadis itu langsung mengusap wajahnya sambil menghela napas lega. Ia mengerang sejenak lalu menegakkan tubuhnya dengan malas. Kini pandangannya tertuju pada jendela besar yang ada di bagian timur ruangan itu. Cahaya matahari pagi yang menembus tirai tipis di balik jendela membuat matanya mengernyit karena silau.

"Ah, dingin ...." Bibir Tara bergerak pelan. Suaranya lebih kecil daripada kicauan burung gereja yang mencoba untuk memanaskan selaput getar mereka di atas balkon kamarnya. Tara tidak terlalu menghiraukan mereka. Meskipun nyanyian hewan kecil itu adalah salah satu penyebab kenapa dia bisa bangun sepagi ini.

Tara mengingat samar-samar mimpinya malam ini dan merasa pusing. Selama satu tahun ini telah banyak hal yang terjadi. Tara koma selama seminggu sejak kecelakaan dan ketika bangun kakinya tidak dapat digerakkan. Butuh waktu satu tahun agar ia bisa berjalan kembali. Namun ingatannya masih belum sepenuhnya pulih. Kata dokter ia menderita amnesia fungsional. Itu bukan amnesia karena cedera, tapi karena kemungkinan ia terlalu banyak menderita stres sebelum kecelakaan itu terjadi. Benturan saat kecelakaan itu hanya sedikit meretakkan tengkorak kepalanya, tetapi Tara cukup beruntung karena cedera tersebut tidak mempengaruhi organ yang ada di dalamnya. Seharusnya ia bisa segera sembuh.

Ketika ia bangun dalam keadaan hilang ingatan, orang pertama yang dilihatnya mengakui sebagai ibunya. Tentu saja awalnya ia tidak mempercayai siapapun. Tapi wanita itu menyebut namanya—ya, setidaknya ia ingat namanya sendiri—dan memperlakukannya dengan baik sehingga gadis itu bisa percaya bahwa ia memang anak dari wanita yang mulai menunjukkan kerutan tipis di sudut matanya itu. Kini Tara sudah banyak mengingat tentang keluarganya, kehidupannya di Tokyo, dan Ryuko, satu-satunya orang yang rajin datang ke rumah sakit dan ngotot agar Tara mengingatnya. Namun meskipun hingga saat ini ia merasa sudah baik-baik saja, entah kenapa rasanya seperti ada yang hilang. Tara tidak tahu itu tentang apa, tapi setiap kali dia bermimpi buruk, dia bisa merasakannya. Ada sesuatu yang ia lupakan. Entah itu adalah ingatan yang baik atau buruk, dia juga tidak tahu.

Bulan lalu ketika akhirnya Tara bisa mengaktifkan emailnya lagi, seorang editor buku di Indonesia mengirim email ke Tara untuk menanyakan kabarnya dan mengajak Tara berkolaborasi dengan penerbit tempatnya bekerja dalam membuat buku ilustrasi untuk anak-anak. Dia tahu tentang Tara dari penerbit yang dulu naskahnya pernah Tara kerjakan untuk diterjemahkan dari bahasa Jepang ke Indonesia. Tara awalnya ingin menolak karena dia belum sepenuhnya pulih pasca kecelakaan itu. Namun karena kemungkinan ingatannya akan kembali jika dia pergi ke tempat yang dulu pernah ditinggalinya sewaktu kecil, ia akhirnya mengiyakan ajakan itu. Lagipula kota Tokyo yang sibuk dan bising hanya membuat kepalanya pusing dan membuat ingatannya tentang kecelakaan itu lebih sering muncul. Ia ingin sekali menghindari suara-suara yang membuatnya mual itu dan pergi ke tempat yang lebih sepi. Ia juga ingin sekali kembali menulis dan melukis yang disukainya. Begitulah awalnya hingga ia bisa sampai di sini, di kamar yang pernah ia tempati selama tujuh belas tahun lamanya. Meskipun ia hanya mengingat samar-samar tentang apa yang ada di kamar itu.

Suara dering gawai mengejutkan Tara. Dengan sigap ia meraih benda persegi panjang itu di buffet kecil dekat tempat tidur. Nama ibunya tertera di layar.

Astaga. Sepertinya ia harus menghabiskan waktu paginya hari ini dengan mendengarkan ceramah panjang dari Ratu Kota Taito.

“Iya, Bu?” Suara Tara terdengar serak. Sebenarnya dulu Tara selalu bicara bahasa Indonesia dengan ibunya. Tapi sejak mereka tinggal di Jepang, Ia sudah terbiasa menggunakan bahasa Jepang meski tetap memanggil wanita itu dengan sebutan ibu dalam bahasa Indonesia.

“Sudah sampai? Kenapa tidak menghubungi Ibu? Apa kau tahu sudah berapa kali aku meneleponmu? Jam berapa kau sampai di bandara? Apa tantemu menjemput tepat waktu? Kau tidak melewatkan makan malammu, kan? Apa kau kecopetan di jalan?” Ibunya langsung mengomel begitu Tara membalas teleponnya. Gadis itu tidak tahu pertanyaan mana yang harus dijawab duluan.

“Aku sudah ada di kamarku dan sangat kelelahan.” Akhirnya gadis itu memilih jawaban tersingkat. Artinya ia sudah sampai di rumah. Dia tidak menghubungi ibunya karena kemarin sampai di rumah larut malam dan sangat malas mengecek gawainya. Alasan kenapa bisa sampai larut malam, itu karena dia kelaparan begitu menunggu kopernya di dekat pintu keluar bandara dan langsung diajak makan malam oleh tantenya di restoran Padang yang ada di Jalan Soeprapto, pusat kota Bengkulu. Otomatis mereka harus memutar jauh untuk pulang ke rumah. Dan terakhir, bagaimana dia bisa kecopetan di jalan kalau seharian berada di udara?

“Apa kau akan baik-baik saja di sana? Pasti kau merasa asing.”

“Sedikit. Ibu tidak perlu khawatir. Aku hanya di sini tiga bulan. Setelah pekerjaanku selesai aku akan kembali ke Tokyo.”

“Baiklah. Jaga dirimu. Jangan dipaksa kerja terus menerus. Jujur saja, Ibu sedikit senang dulu kau sakit karena akhirnya bisa istirahat di rumah. Padahal sebelum itu kau orangnya gila kerja hingga membuat kami khawatir. Kalau ada apa-apa, langsung hubungi Ibu, ya?”

“Iya ....” Tara sudah mulai lelah mendengar omelan ibunya. Ia ingin cepat-cepat mengakhiri telepon dan minum segelas air putih. Tenggorokannya sudah kering sekali karena belum minum setetes air pun sejak tiba di rumah semalam. Setelah berbicara panjang lebar akhirnya ibunya menutup telepon. Tara melemparkan gawainya ke kasur dan langsung mengibaskan selimut tebal yang menutupi kakinya.

"A, a, aaa ...." Gadis itu mengerang dan berdiri dengan kaku di sebelah tempat tidurnya. Ia kemarin menempuh perjalanan hampir delapan jam ke Jakarta, lalu satu setengah jam ke Bengkulu, dan setelah itu ia harus naik mobil lagi dari Bandara Fatmawati ke Curup, melewati pegunungan yang berkelok-kelok selama hampir tiga jam. Kini ia baru bisa merasakan seluruh badannya pegal-pegal.

Lihat selengkapnya