A Letter

Shelly Habsari
Chapter #3

Surat dari Masa Lalu

Setelah menghabiskan satu gelas air mineral di dapur, mata Tara menyapu seluruh isi ruangan rumahnya. Ia samar-samar mengingat bentuk ruangan itu. Namun karena sudah berlalu delapan tahun, ia tidak yakin posisi barang-barang yang ada di sana masih tetap sama atau sudah berubah. Sejak ia pindah ke Tokyo, rumah itu ditempati oleh adik dari ayahnya. Saat ini suasana rumah sedang sepi. Tantenya mungkin sekarang sedang pergi ke pasar untuk membeli bahan-bahan kue. Tantenya memiliki sebuah toko kue kecil yang cukup ramai di perempatan dekat gang rumah mereka. Setiap hari minggu ia dengan mobil tua peninggalan suaminya pergi untuk membeli bahan-bahan kue di Pasar Tengah Curup.

Adel, sepupunya yang masih SMA tinggal di asrama dan minggu ini tidak pulang karena ada kegiatan OSIS di sekolahnya. Adel bersekolah di SMA yang sama dengan Tara dulu. Tara hanya sempat bertemu dengannya sebentar kemarin saat gadis remaja itu ikut menjemputnya di bandara. Kemudian tantenya mengantarkannya kembali ke asrama setelah mereka selesai makan malam.

Ketika mengantar Adel, Tara melihat sekilas sekolah lamanya yang berada sekitar seratus meter dari asrama. Ia samar-samar mengingat bentuk gerbang dan bangunan yang ada di bagian depan sekolahnya. Tapi karena waktu itu sudah malam, ia tidak yakin apakah ingatannya benar. Dia berjanji pada dirinya sendiri untuk datang ke sana setidaknya sekali sebelum pulang ke Tokyo.

Tara mulai menyibakkan tirai jendela dapur. Rumah kecil yang berjarak sepuluh meter dari rumahnya, kata tantenya adalah bekas garasi milik ayahnya yang kini disewakan. Rumah itu kelihatan sepi. Tara pikir mungkin penghuninya masih tidur karena sekarang hari libur. Lagipula meski sudah jam tujuh di sini dingin sekali karena daerah tempat tinggalnya dikelilingi oleh pegunungan.

Tara kini membiarkan tirai yang tadi ia sibakkan tetap terbuka. Namun ia tidak membuka jendelanya. Uap embun yang menempel di jendela serta kabut tipis yang menyelimuti hamparan kebun teh di sekitar rumahnya sudah cukup membuktikan kalau udara di luar bisa membuatnya menggigil. Di sini memang tidak sedingin di Tokyo. Tapi Tara memang pada dasarnya tidak menyukai cuaca dingin. Setiap kali musim dingin tiba di Tokyo, hidungnya pasti selalu mampet di pagi hari dan itu cukup membuatnya menderita selama beberapa jam hingga waktu makan siang.

Gadis itu kini mencari pembersih debu milik tantenya. Setelah menemukannya di pojok ruangan dekat dapur, ia kembali ke kamarnya di lantai dua. Hari ini ia ingin membersihkan kamarnya dulu. Meskipun tantenya berkata ia sering membersihkan kamar Tara, tapi hidung Tara yang sensitif masih bisa merasakan debu-debu beterbangan di kamar itu pada pagi hari.

Tara menaruh gawainya di buffet, lalu mulai menyalakan mesin pembersih debu. Ia mulai dari bawah lemari, bawah dipan tempat tidur, hingga ke sela-sela meja belajarnya. Baru seperempat ruangan yang ia bersihkan, mesin itu bersuara aneh. Tara menarik mesinnya dan melihat ada apa di bawahnya. Ternyata ada sebuah amplop kecil yang menyangkut gara-gara tersedot oleh mesin itu. Amplop itu berdebu. Warnanya sudah tidak putih lagi, tapi cenderung berwarna krem kekuningan dan tampaknya belum pernah dibuka. Di depan amplop seseorang menulis nama dan alamat rumahnya dengan pulpen tinta berwarna hitam yang hampir pudar. Tara membuka amplop itu dan ternyata isinya sebuah surat. Dari luar memang tampaknya seperti surat biasa. Tapi yang membuat Tara terkejut adalah siapa yang menulis surat itu. Di dalam surat tertulis namanya dengan jelas namun dengan tulisan yang terlihat kekanak-kanakan. Tara melihat tanggalnya dan kepalanya semakin pusing. Itu adalah surat yang ia tulis sendiri lima belas tahun lalu saat ia masih kelas 5 SD.

 

Curup, 6 Juni 2002

 

Lihat selengkapnya