Sam berdecih ketika melihat Pandora. “Orang buta kenapa kesini? Mau jadi pahlawan kesiangan?”
Pandora mengangkat bahu tak acuh. “Aku nggak dengar kamu bicara apa. Tapi aku bisa lihat ya, tolong. Aku tau kamu ngomong apa dari gerak mulut kamu. Mendingan sekarang kalian pergi ke kelas daripada aku laporin guru BK.” Mana mau Pandora datangi guru itu. Dia hanya mengancam.
“Gue nggak peduli. Pergi!”
“Aku kasih tau sesuatu sama kamu, ya,” kata Pandora sambil berjalan maju. “Kalau aku turun tangan disini, aku bisa pastiin kamu malu besar.”
“Kayaknya gue memang harus kasarin lo,” gertak Sam. Pandora tak bergeming. Cewek itu berhenti di tempatnya, lalu menunggu ancang-ancang Sam. Pandora mengingat-ingat. Sepertinya Sam belum termasuk daftar siswa yang pernah dipukul dengan tongkatnya Pandora.
“Oke,” putus Pandora. “Silahkan. You first.”
Sam tak banyak omong lagi. Dia tidak mempedulikan Langit yang mencoba menghentikannya, lalu langsung meninju Pandora.
Sayang, Sam tidak bisa meletakkan tangannya dengan tepat di wajah Pandora, karena dia menghindari serangan brutal itu.
“Oops,” cibir Pandora. Lalu dia menendang selangkangan Sam tepat sebelum cowok itu bisa bereaksi apa-apa. Pandora mendorong Sam hingga dia terhempas ke tanah. Lalu dengan cepat, Pandora menyabetkan tongkatnya dua kali kepada Sam. Berakhirlah cowok itu terus meringis kesakitan. “Maaf, ya. Pasti kalau sekarang ada anak-anak yang lain, kamu malu banget.”
Pandora menyeringai kepada antek-antek Sam. “Ayo, ada yang mau lagi? Bel sebentar lagi bunyi. Pilih bawa pergi bos kalian ini, atau mau jadi samsak gratis buat aku lagi?”
Karena ngeri dengan seringaian Pandora, maka semua teman-teman Sam menggotong bos mereka. Lalu kelimanya pergi dengan cepat sebelum Pandora berulah lagi.
Pandora berbalik dan menghadap keempat berandalan sekolah yang ... Err ... Brian menatapnya dengan pandangan berbinar-binar, Rendy menatapnya sambil melongo. Lalu Langit ... Cowok itu menatap tajam Pandora, seolah cewek itu sudah mengusiknya. Ya meskipun begitu, kan, Pandora sudah menolong mereka.
“Maka—“
“Nggak perlu ngomong makasih kalau bos kalian nggak ngizinin,” kata Pandora, memotong ucapan Brian sambil menunjuk Langit dengan ujung tongkatnya. Itu membuat Langit merasa sedikit terhina. “Mau bawa ke UKS atau obatin disini?”
Rendy memiringkan kepalanya. “Hah?”
Pandora menunjuk Argie dengan sorotan mata dan dagunya. “Temen kalian luka-luka, lihat kakinya. Kenapa maksa masuk, sih?”
Langit berdecak, menyuruh Brian diam, bahkan sebelum Brian menjawab. “Bukan urusan lo. Jangan bilang guru BK.”
Pandora merentangkan tongkatnya, menghadang Langit untuk bergerak lebih jauh lagi. “Sori kalau nggak mau terima. Tapi aku yang jadi guru BK kalian sekarang.”
-oOo-
“Aduh!” Langit mengaduh kesakitan ketika Pandora menempelkan kapas dengan cairan betadine ke lengannya yang luka. “Sakit, tahu nggak.”
“Tahu. Siapa suruh banyak gerak,” kata Pandora. Dia masih tetap memakai alat penyumpal telinga. Dia hanya tahu perkataan Langit dari gerak bibirnya saja.
Karena kondisi Argie yang benar-benar parah, mereka terpaksa mengendap-endap ke ruang perawatan. Disana ada suster, satu. Untungnya bisa diajak kompromi dengan Pandora untuk tidak bocor ke guru-guru. Bel tanda masuk sudah berbunyi sejak lima belas menit yang lalu. Tak apalah Pandora sebentar saja pergi dari kelas pertama. Toh, alasannya logis karena dia memang membantu Langit dan kawan-kawan.
“Ra, itu penutup telinganya harus dipake, ya?” tanya Rendy. Tapi karena posisinya agak jauh dan tidak menghadap Pandora, jadi Pandora tidak sadar.
Karena tak kunjung di gubris, Langit menarik penutup telinga tersebut dengan paksa hingga lepas.
“Ini kenapa mesti dipake?” tanya Langit tajam sambil memegang satu penutup telinga. “Biar sengaja nggak denger kita manggil lo?”
“Balikin!” Pandora merebut kasar kembali penutup telinga tersebut. Ia memakai kembali alat tersebut dengan benar. “Kalian bertiga ngomong kasar, telinga aku jadi gatel. Sakit.”
Langit memutar bola matanya, lalu mencopot salah satu penutup telinga lagi. “Lo ini kenapa, sih?”
Pandora merengut. Lalu mencopot semua penutup telinganya, dan menaruhnya di saku. “Aku buka! Puas?”
Tak ada jawaban lagi dari mereka berempat. Langit selonjoran di salah satu tempat tidur, memandang ke arah yang lain. Rendy dan Brian duduk di sebelah Argie yang pingsan di tempat tidur lainnya.
“Oh, jadi bener, ya, rumornya lo itu bisa ngeliat hal yang nggak bisa kita liat dengan telinga lo?” tanya Rendy hati-hati.
Pandora mengemas kembali obat-obat yang tadi dia gunakan. Ia mengerutkan kening dan menatap Rendy. “Bahasanya ambigu. Aku cuma bisa ngeliat warna-warna suara. Aku nggak bisa ngeliat yang lainnya selain itu. Dan aku lihat pakai mata, bukan pakai telinga.”
Iya juga. Kata-kata Rendy ambigu.