Pandora yang didorong oleh Langit malah makin bersungut-sungut. Cowok yang berada di belakangnya ini sangat absurd dan menyebalkan. Habis ini pasti Alex akan ribut dengan Langit. Memang benar kata guru-guru di sekolah, Langit itu hobi cari perkara duluan. Sekarang Pandora menyesal karena menunggu Georgio atau Finn.
“Ayuk, pulang,” ajak Langit sekali lagi. Ketika sudah keluar dari gerbang sekolah, ia mensejajarkan langkahnya dengan Pandora. Mereka berjalan di trotoar berwarna merah bata. Langit berusaha sepelan mungkin agar kaki Pandora tidak berdarah lagi ketika berjalan atau berlari.
“Naik apa?” tanya Pandora. Akhirnya dia mengalah karena Langit pasti akan terus memaksanya. Dan dia tahu kalau Langit kalah, dia masih punya seribu satu cara untuk memaksa Pandora kembali.
“Naik bus, lah. Kapan lagi seorang Langit bisa duduk bareng di bus sama Avengers-nya Vaias?” gurau Langit sambil terkekeh, diikuti Pandora. “Seru, kan, ngomong sama gue?”
Pandora mendorong pelan lengan Langit hingga cowok itu sedikit menjauh. “Lebih seru ngomong sama Tom Holand daripada jejadian kayak kamu.”
“Kok, duain gue sama Tom Holland? Kok, gue jejadian?”
“Biarin. Kan, aku sama Tom Holland sama.”
“Dari segi mana lo bilang sama?”
“Kita sama-sama Avengers! Kamu juga jejadian, anaknya wewe gombel. Nih, aku udah di culik,” Pandora tertawa hingga ia lupa akan rasa sakit di kakinya. Langit juga ikut nyengir dan tertawa terbahak-bahak.
Langit tidak bisa menahan senyumnya. “Cewek galak model lo langsung dijauhin sama Tom Holland, kali. Thanos aja takut sama lo. Palunya Thor kalah sakti sama tongkat Avengers-nya Vaias.”
Lagi-lagi Pandora tertawa. “Cengirannya monyet DuFan aja kalah keren sama senyum gigi Pepsodent kamu.”
“Jahat banget gue dibandingin sama monyet DuFan,” kata Langit sambil pura-pura menutup wajahnya dengan telapak tangan.
“Nggak peduli,” balas Pandora sambil menjulurkan lidahnya.
"Lo salah kali. Itu bekantan, bukan monyet."
"Oh, jadi mau disamain kayak baboon Kalimantan juga? Oke. Langit baboon, Langit baboon," kata Pandora sambil menyenandungkan Langit baboon dengan nada yang ia buat sendiri. Dia berjalan mendahului Langit, berjaga-jaga kalau Langit nanti mendorongnya ke kubangan air di dekat situ.
Langit hanya nyengir. Untung saja ini Pandora yang ngomong. Kalau cowok selain teman-temannya, bisa-bisa Langit tonjok matanya, biar biru dan merah. Karena nanti dia yang menjadi baboon mata biru dan merah.
Mereka berdua berjalan sambil bercanda, sambil memaki dan mengejek satu sama lain, hingga tiba di halte bus. Bus berwarna kuning-merah dengan lambang Vaias sudah terparkir di halte. Langit dan Pandora berjalan cepat, tidak mau ketinggalan bus lagi seperti tadi pagi.
Beruntung, di dalam bus masih ada tiga kursi yang kosong di bagian belakang. Pandora dan Langit bisa duduk disana. Karena suasananya tidak berisik alias hening, Langit dan Pandora harus menahan-nahan ocehan mereka. Bahkan Pandora sampai mengantuk dan bosan karena tak ada candaan ria lagi.
Setelah sekitar setengah jam kurang, Pandora dan Langit sampai di halte bus tempat Pandora biasa menunggu bus ketika berangkat sekolah. Halte itu juga tempat Langit dan Pandora bertemu sebelum Pandora masuk UKS.
“Kamu nggak mau pulang?” tanya Pandora pada Langit ketika bus sudah pergi dari halte.
“No. Gue mau nganterin lo sampe rumah,” kata Langit. “Nggak apa-apa, kan?”
Pandora mengangguk. “Iya, nggak apa-apa. Tapi nanti ke rumah kamu nggak kejauhan?”
Langit menggelengkan kepalanya. “Motor gue dititipin di bengkel sana,” katanya sambil menunjuk sebuah bengkel yang penuh mobil dan motor. “Dari sini rumah gue juga nggak terlalu jauh, kok.”
“Oke,” kata Pandora. “Ayo, rumah panti aku ada di komplek sana.”
Langit mengikuti Pandora. Kali ini kedua anak itu diam saja.
Pandora berjalan di depan, menutupi wajahnya dengan helai rambutnya yang tergerai bebas. Sementara Langit berada di belakangnya, menyusul. Langit memandang sekitarnya, sesekali menoleh pada Pandora.
“Kenapa?” tanya Langit pada akhirnya. “Baru pertama kali jalan sama cowok selain Bang Finn sama banyg George?”
Pandora memiringkan kepalanya, tersenyum. “Iya. Soalnya aku kurang tertarik sama cowok selain anak panti. Kalau jalan, pun, sesekali sama Bianca, karena rumahnya bisa lewat sini juga."
Langit mensejajarkan kembali langkahnya dengan Pandora. “Masa lo nggak tertarik sama cowok manapun? Tapi kalau sama gue, lo ketawa-ketawa, tuh.”
“Biasa,” kata Pandora, mengelak.
“Hm ... Kalau begitu, berarti lo ini cewek singa yang belum pernah pacaran, kan?”
Pandora mengangkat bahu. “Aku nggak pernah tertarik sama hubungan yang kayak begitu. Karena, sia-sia, kan? Pacaran sekarang, sebentar lagi putus. Sayang banget. Mendingan kalau pacaran, langsung nikah aja biar nggak terlanjur sia-sia.”
“Keren banget lo bisa bilang kayak begitu,” kata Langit.
“Hm ... Kalau kamu?” tanya balik Pandora.
“Belum pernah juga.”
“Kenapa? Kamu ganteng pasti banyak yang mau. Aku sering denger kamu ditembak banyak cewek dari sekolah lain."
“Kenapa, ya? Karena gue juga nggak tertarik sama cewek-cewek yang ngejar gue,” jawab Langit. “Soalnya mereka ngeliat gue dari luarnya aja. Mereka nggak tahu kalau aslinya gue gimana. Gue keliatan kayak cowok playboy, ya, Ra?”
Pandora tertawa ringan. “Tuh, kamu tahu. Coba, deh kamu pakai outfit ala-ala K-Pop Idol, pasti keliatan banget jiwa-jiwa playboy-nya.”
“Padahal gue murni nggak pernah pacaran juga,” kata Langit jujur. “Bener kata lo. Sia-sia juga pacaran. Ujung-ujungnya juga putus dan nggak menghasilkan apapun. Yang lebih sialnya lagi, kalau kita punya mantan, kita bisa berantem terus sama mereka. Nggak asik banget hidup kita.”