A Little Color of You

SeoAnna
Chapter #11

Chapter 10 • Finn dan Langit

“Aku minta hadiahnya kalau aku menang,” kata Pandora sebelum dia berlari mengelilingi lapangan dengan keliling seratus delapan puluh meter itu.

Langit dan Argie menghampiri keempat siswi yang shock itu.

“Kalau sampai dia kenapa-kenapa, gue akan menuntut,” kata Langit pada Sheila tajam. Dia tidak peduli Sheila sudah ingin menangis. Dia tidak peduli perasaan Sheila akan hancur. Karena Sheila mengejarnya dengan cara yang tidak wajar sama sekali.

Argie menatap sinis Laras. “Lo juga sama.”

“Gie, ini bukan yang aku mau,” kata Laras. “Gie ...”

“Gue, sih, masa bodo,” kata Langit. “Se-masa bodonya juga kalian dengan perasaan anak-anak yang kalian sakitin. Cabut, Gie. Ngapain lo ceramahin bibit cabe unggulan di pasar?”

Argie mengangkat bahu tak acuh pada panggilan Laras. “Gue baru tahu cabe unggulan bisa ngeluarin air mata, Lang. Gue kira cuma bisa ngeluarin zat berbahaya bagi mata.”

Setelah mereka berdua pergi ke tribune, Finn dan Georgio juga menghampiri Sheila.

“Jangan harap ada kata memaafkan dari gue, Shei,” kata Finn. Lalu dia menyeret Georgio untuk duduk bersama Langit.

Sudah tiga putaran dilalui oleh Pandora. Tak nampak sedetikpun wajah lelahnya. Keringat mengucur dari wajah dan lehernya. Kedua matanya hanya memandang tajam ke depan saja, tanpa menghiraukan yang lainnya.

“KAK ARA! SEMANGAT, KAK!”

Tiba-tiba satu teriakan semangat dari tribune lainnya terdengar. Seorang siswi dengan rambut pendek dengan jaket warna ungu. Anak kelas sepuluh. Mita. Adik kelas yang waktu itu pernah ditolong oleh Pandora sampai Pandora yang masuk BK. Gadis yang lumayan pendek tetsebut melompat-lompat kegirangan dan berseru semangat. Untung saja Pandora tidak sampai terlalu terkejut sehingga dia salah fokus.

“KAK PANDORA JANGAN MAU KALAH, KAK!” pekik yang lain, teman di samping Mita. Adel.

Keduanya menjadi pusat perhatian saat ini selain Pandora. Cewek itu menoleh pada mereka berdua yang terus berseru menyemangatinya.

Kemudian beberapa pekikan semangat lainnya mulai bermunculan. Bermula dari Mita dan Adel. Lalu disusul anak kelas sebelas. Kemudian Rendy dan Argie. Anak-anak klub basket disitu mulai menyoraki Pandora dengan kalimat penyemangat. Anak-anak Cheers yang tak sedikit jumlahnya mulai meneriakkan yelyel dengan pola gerakan latihan sebelumnya.

“RA! KALO LO MENANG, GUE TRAKTIR DUA MINGGU, RA!” teriak Rendy.

“JANGAN NYERAH, KAK!”

“GO, ARA, GO!!"

“KITA SEMUA DUKUNG LO, RA!”

“IYA, RA! LO HARUS BISA BUKTIIN KALO LO MAMPU!"

Kalimat-kalimat itu membuat Pandora terharu. Dia tersenyum singkat pada kerumunan-kerumunan yang menyemangatinya. Kalau dilihat-lihat, kebanyakan adalah anak-anak culun, selain anak Cheers dan anak basket. Dan mereka kebanyakan yang pernah ditolong Pandora. Beberapa hanya ikutan saja, karena alasannya adalah mereka juga kesal dengan sikap geng Sheila, dan karena memang fans sejatinya Pandora. Aww.

Oke, itu sedikit lebay bagi Pandora. Dia tidak terbiasa seperti ini.

Sudah enam belas putaran, namun sorakan tetap berlanjut dengan meriah. Waktu berlanjut dan terus berlanjut. Sepuluh menit kemudian Pandora sudah mencetak dua puluh dua putaran. Tiga menit kemudian dia mencapat dua puluh delapan putaran. Empat belas menit kemudian ia mencapat tiga puluh sembilan putaran.

Dan terakhir. Dia berhasil berlari tiga puluh kali!

“YES!!!”

“PANDORA! SELAMAT!!!”

“PANDORA!!! LO KEREN!"

Tiga puluh putaran di lapangan dengan keliling seratus delapan puluh meter. Jaraknya menjadi lima ribu empat ratus meter. Pandora seperti berlari tanpa henti dengan jarak lima setengah km!

Kaki Pandora bergetar hebat. Lelah karena ia tidak beristirahat sama sekali. Peluh keluar dimana-mana. Bajunya sampai basah. Untung sekarang bajunya batik berwarna cokelat. Tapi satu yang tidak berubah.

Pandangannya tetap tegas dan tajam.

Dengan langkah bergetar, dia menghampiri Sheila yang sudah memucat dari tadi. Dia benar-benar tidak menyangka kalau Pandora bisa menuntaskan tantangannya. Bahkan Pandora lebih cepat dari Sheila.

Selama dua tahun ini, cuma Pandora yang bisa mencetak rekor secepat itu. Mungkin alumni-alumni sebelumnya masih bisa lebih cepat daripada Pandora, karena mereka pasti anak-anak yang tidak pemalas seperti kebanyakan murid-murid jaman sekarang.

“Gimana?” tanya Pandora pada Sheila. “Masih punya muka untuk ditampilkan di acara live ini?”

Tak ada jawaban dari cewek pembully itu.

Pandora mengangkat tangan, melihat jam kecil. “Saya berlari lima kilometer panjangnya dalam waktu tiga puluh menit. Kalau kakak berapa?”

“HALAH! PALING-PALING SATU JAM!” celetuk seorang anak kelas sebelas, namanya Yoga. Dia itu memang lambe turah, salah satu teman sekelas Pandora.

“Nah, makasih untuk tantangannya, kak,” ucap Pandora, tanpa menghiraukan tatapan takut dan gemetar dari Sheila dan kawan-kawan. “Sekarang, terima kasih dan selamat kakak pada saya mana?”

“Terima kasih?!” tanya Sheila dengan nada tinggi, tanpa sadar ia mengucapkannya. Kini dia sudah berada di ambang kehancuran. Posisinya yang dahulu ditakuti kini malah menjadi berbanding terbalik dengan yang sebelum-sebelumnya.

“Iya. Terima kasih karena saya sudah menyelamatkan kakak dari pukulan yang lebih maut,” kata Pandora. Sheila melirik tangan Pandora yang terkepal kuat hingga memutih. Dia tahu maksud Pandora. “Kalau saya nggak muncul, mungkin kak Finn atau kak Georgio akan hajar kakak di tempat ketika mereka datang tadi.”

“Menang aja sok belagu lo!” cecar Elsie. Dia masih berusaha untuk mengokohkan kedudukan mereka.

Pandora memutar bola matanya jengah. “Aku udah bilang, kan? Kalau aku kalah, kalian malu. Tapi kalau aku menang, kalian hilang harga diri. Sekarang kalian punya hak bicara apa setelah dikalahkan sama anak pungut kasihan?”

Sheila menggertakkan giginya. Air mata sudah ada di permukaan matanya.

“Satu kali lagi, saya juga mempertaruhkan harga diri saya,” kata Pandora. “Saya menyogok teman-teman saya dengan hati, harga diri, dan nyawa saya karena saya sadar kalau saya punya banyak musuh. Bukan dengan ucapan basi, uang, dan pelampiasan seperti kalian berempat. Saya punya otak, dan saya bisa matematika. Saya bisa masuk kelas biasa, karena saya punya tekad, bukan cuma mulut pemaksa kayak kalian. Saya ganjen? Nggak ngerasa kakak lagi ganjen sekarang? Banyak tingkah, pakai baju ketat. Itu ganjen, nggak?!”

Lihat selengkapnya