A Little Hope

Triyanti Fitri
Chapter #1

1 | Kesempatan

Langkahnya berayun cepat, ia berlari memasuki bangunan megah di hadapannya dengan terburu. Dalam hati ia merutuk, semalam memang ia terlalu sibuk berbahagia hingga baru terlelap saat dini hari. Akhirnya, ia pun harus bangun kesiangan pagi ini dan mengacaukan segala persiapannya. Padahal, ia ingin tampak gagah saat bertemu dengannya. 

Namun, penampilannya saat ini benar-benar kacau. Pakaiannya kusut karena lupa disetrika, rambut acak-acakan, hingga wajah yang tampak kuyuh. Waktunya yang sempit tadi, membuat Zibran melakukan semuanya dengan asal. Hanya membasuh wajah, mengambil baju apa saja dan memacu motornya dengan ugal-ugalan agar dapat sampai tepat waktu.

Ia tentu tak ingin melewatkan hari ini. Angannya selama bertahun-tahun akhirnya dapat terwujud. Hal itulah yang membuatnya tak dapat terpejam. Kesempatan emas yang didapat tentu sangat membuatnya bahagia. Hingga berbagai rencana indah pun telah terangkai. Namun, sialnya, terlalu bersemangat malah membuat segalanya kacau.

Langkah lebarnya mendadak terhenti. Tujuannya untuk segera menuju ruang kepala sekolah terjeda. Ia terpaku saat mendengar gelak tawa yang sangat dikenalnya. Ritme jantungnya mendadak kacau, ketika jarak di antara mereka kian terkikis dan mempertemukan mereka

Untuk beberapa detik, Zibran kaku di tempatnya. Dirinya berada begitu dekat dengan pemuda tersebut untuk sesaat, sebelum kembali menjauh dari pandangannya. Melewati ia begitu saja, lalu berlari meniggalkannya yang masih tertegun. 

***

Sejak memasuki ruang olahraga perhatiannya langsung tertuju pada seorang siswa yang tengah men-dribble bola orange dengan lihai. Fokusnya terkunci pada anak yang tengah bermain penuh semangat itu. Sampai pada akhirnya, teralihkan oleh tepukan di pundaknya. Ia pun menoleh menatap Bayu. 

Dengan cepat Zibran mengusap jejak air mata yang tak sanggup ia bendung. Cukup malu memperlihatkan air matanya pada Bayu.

"Kamu akan bersamanya lebih lama mulai sekarang, Zib. Tanpa harus bersembunyi lagi." 

Zibran mengangguk dan mengikuti Bayu duduk pada bangku yang tersedia di sisi lapangan. Kembali ia mengucapkan terima kasih pada sang sahabat yang telah memberi kesempatan untuk berada di sini. Tempat di mana ia akan berada lebih dekat dengan putranya.

"Aku hanya dapat melakukan ini, Zib. Bahkan sudah sangat terlambat, seharusnya kamu menemuiku lebih awal dan mengatakannya. Aku pasti akan membantumu lebih cepat," ujar Bayu.

Zibran menghela napas, pandangannya kembali tertuju pada salah satu anak yang berada di lapangan. Benar apa yang dikatakan Bayu, jika saja ia menemui lebih cepat, kemungkinan untuk lebih dekat dengan putranya akan lebih mudah. Tanpa harus mengawasi diam-diam selama bertahun-tahun. 

Namun, bukannya tak ingin berupaya untuk dapat lebih dekat dengan anaknnya, tanpa bersembunyi. Hanya saja, tidak pernah ada jalan untuknya. Ia juga terlalu malu untuk memunculkan diri di hadapan teman masa SMA-nya itu. Takut pula bila jarak dia dan putranya akan semakin jauh saat orang-orang tahu bila ia mengawasi Kaffa. Melanggar titah dari mertuanya untuk pergi dan tidak mendekati anaknya sendiri. 

Lihat selengkapnya