A Little Hope

Triyanti Fitri
Chapter #3

3 | Kaku

Masih terlalu pagi. Namun, Zibran telah tiba di sekolah sejak tadi. Semangat untuk segera bertemu dan lebih akrab dengan Kaffa membuatnya datang lebih awal. Lagi-lagi ia tak dapat terpejam, otaknya sibuk mencari cara agar dapat lebih dekat dan akrab dengan statusnya sebagai pelatih.

Apa yang dikatakan Bayu tentu benar. Peran yang dimainkannya saat ini bukan hanya sebagai ayah Kaffa, tetapi juga pelatih tim basket. Tak wajar bila ia menunjukkan segalanya dengan terbuka di hadapan semua orang. Bukan hanya Kaffa yang harus ia perhatikan, tim basket HSBC kini telah menjadi tanggung jawabnya.

"Selamat pagi, Pak." 

Zibran yang tengah berdiri di samping satpam sekolah turut menggulum senyum, membalas salam dari siswi yang baru saja memasuki area sekolah. Kedatangannya yang terlalu pagi membuat Zibran memilih menemani Yudi—satpam yang bertugas, dibandingkan harus menjadi orang bodoh yang tak tahu harus melakukan apa. Statusnya di sini hanya seorang pelatih basket, yang jam tugasnya setelah jam sekolah. Namun, karena sudah tidak sabar untuk menunggu siang hari, ia datang sangat cepat.

"Kenapa tidak sekalian jadi guru olahraga saja, Pak? Jadi sekalian, tidak harus menunggu jaml pulang," tanya Yudi tanpa menatap Zibran yang masih sibuk menyapa para siswa-siswi.

"Jadi guru di sini tidak mudah, Pak. Saya tidak belum bisa ssampi sana. Jadi pelatih saja sudah cukup," ucap Zibran.

Menjadi seorang guru di sekolah tersebut memang tidaklah mudah. Banyak syarat yang harus tercapai untuk mendapatkan posisi di sana. HSBC adalah sekolah swasta bertaraf internasional, mulai dari pengajar hingga para muridnya bukanlah orang sembarangan.

Tawaran untuk menggantikan Bayu saja adalah hal yang benar-benar ia syukuri. Bila bukan karena Bayu, ia pasti takkan ada di dalam sekolah ternama tersebut.

"Assalamualaikum, Pak, pagi," sapa seorang siswa yang datang dengan sepedanya, berbeda dengan para pelajar lainnya.

"Waalaikumsalam. Pagi, Nak Kaffa," balas Yudi yang kemudian membuat Kaffa menyunggingkan senyum ramahnya. 

"Pagi, Pak Zibran."

Zibran yang sejak tadi mendadak kaku hanya dapat mengangguk dan tersenyum. Lidahnya mendadak keluh saat menatap wajah sang putra berada tepat di hadapannya.

"Saya masuk dulu yah, Pak," ujar Kaffa yang kemudian kembali mengayuh sepedanya memasuki area sekolah lebih dalam.

Meninggalkan Zibran yang masih tetap pada posisinya. Zibran tak berkata apa pun. Membiarkan Kaffa berlalu dari pandangannya tanpa ada kalimat yang terucap. Ia masih sangat gugup, walau hanya berbicara dengannya.

***

"Benar kamu baik-baik saja, Kaf?"

Pemuda yang berada di atas brankar ruang UKS itu mengangguk. "Aman, Kak," jawabnya sambil mengacungkan jempol dengan cengiran yang khas.

Kaffa tersenyum geli melihat kakak kelasnya masih menatap khawatir. Padahal, ia telah berulang kali mengatakan bahwa ia baik-baik saja. Namun, tetap saja temannya itu bersikap berlebihan.

"Beneran? Jangan bohong hanya untuk melindungi anak itu," ujar Firza dengan emosi.

Lihat selengkapnya