A Little Hope

Triyanti Fitri
Chapter #5

5 | Permintaan

Kaffa mengulum senyum, semangatnya terbakar melihat betapa piawai Zibran memainkan si kulit bundar. Saat ini mereka tengah bermain bersama dengan cukup sengit, tak ada yang mau mengalah baik ia maupun Zibran. Keduanya saling beradu merebut bola dan kejar-kejaran mencetak angka. 

Kaffa merasa benar-benar tertantang saat ini. Awalnya ia sempat enggan untuk meladeni ajakan pelatih tersebut. Namun, melihat kemampuan Zibran membuat Kaffa tak dapat menahan diri dan langsung ingin bermain dengannya. Luar biasa kemampuan Zibran membuatnya kagum.

"Yess!" seru Zibran penuh semangat. Bola yang berada di genggaman tadi, kini berhasil masuk ke dalam ring membuat kemenangan menjadi miliknya. 

Pria tersebut tersenyum senang, bukan hanya puas akan kemenangannya yang unggul dua poin dari Kaffa. Ia merasa sangat bahagia dapat sedekat ini dengan Kaffa. Rencana yang ia susun sepanjang malam akhirmya berjalan lancar. 

"Permainan, Bapak, bagus!" Kaffa memuji dengan penuh semangat menyusul Zibran, Kaffa ikut duduk di tengah lapangan. Ia tersenyum, bermain bersama Zibran ternyata cukup menyenangkan.

"Benarkah?" tanya Zibran menatap Kaffa. Senyumnya merekah melihat reaksi Kaffa. Putranya mulai berbicara, memuji permainan dengan penuh semangat.

Zibran tersenyum lebar mendengar pujian Kaffa. Untuk pertama kalinya mereka dapat sedekat ini dan berbincang dengan akrab. Rasanya luar biasa, ia tak menyangka akan mendapat pujian seperti ini padahal ia masih sangat kaku saat bermain. 

Baru beberapa bulan ini Zibran kembali menyentuh bola basket setelah sempat ia tanggalkan bertahun-tahun silam. Ia tidak lagi sepiawai dulu, begitu kaku, bahkan berlari seperti tadi rasanya melelahkan. Berbeda dengan 15 tahun lalu, saat di mana ia bermain dengan penuh semangat tanpa kenal lelah dan menjadi kebanggaan sekolah dan idola para siswi sekolahnya. Sama seperti Kaffa saat ini, tapi semuanya hancur akan kesalahannya.

Zibran menghela napas berat, mencoba menguarkan sesak yang tiba-tiba menghimpit dada. Mengenang hal indah tersebut membuatnya juga mengingat segala hal pahit, saat di mana ia menodai sahabatnya sendiri, ketika segalanya rusak karena dirinya sendiri.

"Ah, sudah hampir bel. Aku ganti baju dulu, ya, Pak." 

Zibran hanya dapat mengangguk, membiarkan Kaffa bejalan menjauh dengan tergesa untuk segera berganti pakaian. Mengganti jersey-nya dengan seragam sekolah. Tak ada kata yang dapat ia ucapkan pada Kaffa saat ini, lidahnya masih cukup kelu untuk merangkai kata.

Tidak butuh waktu lama, Kaffa akhirnya kembali dengan seragam lengkapnya. Aturan di sekolah tersebut cukup ketat bila menyangkut kerapian dan disiplin, melanggar akan dikenakan sanksi. Empat pelanggaran saja, dapat membuatmu terancam.

"Maaf membuatmu bermain di pagi hari seperti ini," ucap Zibran sambil merapikan dasi Kaffa, lalu menyeka jejak keringat di wajah anak itu.

"Tidak apa-apa, Pak," jawab Kaffa, "nanti main lagi, ya. Nanti pasti saya yang yang akan menang." 

Zibran tersenyum, diusapnya puncak kepala Kaffa dengan lembut. "Berjuanglah! Melawan Bapak itu tidak mudah." 

"Dasar sombong," ucap Kaffa menatap Zibran dengan sambil tersenyum, sebelum meninggalkan tempat itu dengan tergesa saat bel telah berbunyi nyaring.

***

Perhatian Kaffa teralih sepanjang pelajaran. Sentuhan Zibran tadi membuat pikiran dan hatinya mendadak tak menentu. Ada rasa nyaman menjalar saat tangan lebar Zibran mengusap puncak kepalanya. Entah mengapa perlakuan Zibran tadi membuatnya terdiam. 

"Kaf!"

Lihat selengkapnya