Zibran lagi-lagi membuang napas dengan kasar untuk kesekian kali. Namun, ia tidak juga berhasil mengenyahkan sesak yang menyerang. Pikirannya kacau, kalimat Denia terus menggema dalam kepala membawa ketakutan berhasil mengungkungnya.
"Sial!"
Zibran memaki, menjambaki rambutnya sendiri dengan kasar, merutuk masa lalu akan kesalahannya yang tidak mampu berbuat apa-apa. Dirinya yang harus pergi dari kehidupan Denia dan Kaffa di saat pernikahan mereka baru seumur jagung.
Seandainnya saja ia mampu mengatakan alasan tersebut, bisa saja wanita itu akan mengerti dan memberikannya kesempatan untuk bersama Kaffa. Sayang, Zibran terlalu pengecut saat ini. Sikap liar dan arogannya di masa lalu tidak lagi ia miliki, semua hilang seiring waktu sejak saat itu. Jangankan memberi penyangkalan untuk membela diri, menatap Denia yang telah ia lukai sedemikian parah pun tak sanggup untuk ia lakukan.
Teramat besar kesalahan yang ia lakukan pada Denia. Jika saja ia tidak pernah mengusik hidup wanita itu, tentu segalanya takkan berakhir seperti ini, baik ia maupun Denia tidak akan ada yang terluka separah ini.
"Apa yang harus kulakukan?" tanya Zibran membenamkan wajahnya di atas lipatan tangan yang bertemu pada lutut.
***
Ia tidak dapat terlelap meski hanya sekejap, pikirannya kian kacau setelah pertemuan mereka. Bertahun-tahun Denia mencoba melupakannya, menganggap segala hal buruk tentang mereka tidak pernah terjadi.
"Ibu." Denia sontak terperanjat, cepat-cepat ia mengusap air mata. Agar putranya tidak mengetahui satu pun luka yang tersembunyi.
"Kamu, kok, sudah bangun? Apa belum tidur?" tanya Denia menggenggam tangan Kaffa yang saat ini melingkar di perut kecilnya, memeluk ia dengan lembut sambil menyandarkan kepala di bahunya.
"Ibu sendiri kenapa sudah ada di dapur saat ini?" balas Kaffa menanggapi pertanyaan Denia. "Masih terlalu cepat untuk berada di dapur dan bermain dengan tepung-tepung itu, Bu."
Denia tersenyum mendengar kalimat putranya. Ia pun berbalik hingga membuatnya menatap wajah Kaffa. "Apa Ibu membuatmu tidak dapat tidur?" tanya mengusap puncak kepala Kaffa, ia dapat melihat gurat khawatir di mata putranya.
"Ibu membuatku cemas," jawab Kaffa dengan jujur. Ia benar-benar takut saat ibunya pulang dengan keadaan yang tidak cukup baik. Mata sembab yang dengan mudah memperlihatkan ada sebuah luka di sana, membuat Kaffa tentu saja cemas.
"Maaf, tadi Ibu-"
"Jangan katakan apa pun. Aku tidak harus tahu bila itu hanya akan membuat Ibu terluka," sela Kaffa, ia tidak ingin mendengar alasan yang membuat ibunya kembali berbohong.
Kaffa tidak harus tahu apa yang terjadi bila hal tersebut hanya akan mengorek kembali luka ibunya. "Daripada main tepung di tengah malam seperti ini, mending temani aku tidur, Bu," ujar Kaffa menarik tangan ibunya setelah melepas celemek yang dipakainya.
Denia tidak menolak, ia pun turut berbaring di ranjang bersama Kaffa. Suara parau dan mata sayu Kaffa sudah cukup menjelaskan betapa mengantuk putranya. Denia mengelus lembut rambut Kaffa hingga anak itu akhirnya memejam dengan tangan yang masih mengenggam satu tangannya.
Ia memejam, lagi-lagi air matanya meluruh menatap putranya. Anak malang yang harus terlibat dengan mereka, korban atas kenakalan yang ia dan Zibran lakukan 15 tahun lalu. Anak yang mampu membuatnya bertahan hingga sejauh ini.
Meski terlahir karena sebuah kesalahan, tetapi baginya, Kaffa adalah anugrah terindah dalam hidupnya. Kesalahannya dan Zibran di masa lalu tidak harus membuat Kaffa terlibat hingga harus terluka.