A Little Hope

Triyanti Fitri
Chapter #8

8 | Lebih Dekat

Zibran kembali tergelak melihat tingkah Kaffa. Sedari tadi anak terus mengoceh pada Firza, menasihati bagaimana cara bersikap ramah dan cara agar menunjukan sikap ramah pada orang lain. Rentetan kalimat panjangnya masih saja terdengar tanpa lelah.

"Adeknya cerewet banget, ya, Mas?"

Zibran sontak teralih pada pria yang tengah memperbaiki rantai sepeda Kaffa. Ia tersenyum mendengar kalimat tersebut. "Dia bukan adik saya, Mas," ujarnya. Ia menatap Kaffa yang telah membuat bengkel tersebut menjadi ramai, padahal hanya mereka bertiga yang ada di sana. 

"Oh, yah, kirain adeknya. Mirip banget, tadinya saya kira anaknya, tapi tidak mungkin. Mas, masih mudah gini masa sudah punya anak sebesar itu. Apa ponakannya?"

Zibran sempat tertawa mendengar ucapan dari pria tersebut yang terlihat sangat penasaran. Namun, kemudian ia merutuk lidahnya yang tak dapat ia kontrol. Ia pun dibuat terkejut akan kalimat yang mengatakan mereka yang terlihat mirip, sejelas itukah?

Ia kembali melirik Kaffa, syukurlah jarak tempat duduk ia dan kedua pemuda tersebut tidak terlalu dekat. Kaffa juga masih sibuk berbicara dengan Firza sehingga anak itu tidak harus mendengar perbincangan mereka. Hal tersebut benar-benar membuatnya lega.

"Dia putra saya, Pak, alhamdulillah saya udah punya anak sebesar dan secerdas dia," ujar Zibran, ia tersenyum menatap Kaffa. Tidak dapat lagi ia menyangkal, maka Zibran memilih jujur.

"Wah! Umur berapa nikahnya, Mas?" tanya pria tersebut penasaran membuat Zibran menyesal karena semakin memancing rasa ingin tahu pria tersebut.

"Itu privasi saya, Pak." Zibran berucap singkat. Ia tidak ingin lagi memperpanjang pembicaran di antara mereka yang sudah mulai melebar, karena Kaffa dan Firza yang kian mendekat padanya.

"Sudah selesai belum, Pak?" tanya Kaffa.

"Belum, mungkin sebentar lagi," ujar Zibran.

"Berapa menit lagi?" Kini Firza yang bertanya.

"Kakak, kalau mau pulang, duluan aja." Kaffa berucap, ia menatap Firza yang mendadak gelisah setelah menerima telepon yang ia tahu itu siapa. 

"Ya, udah pulang sama aku kalau gitu," putus Firza seenaknya menarik tangan Kaffa.

"Loh, bagaimana caranya? Sepedanya belum selesai, masa nyuruh Pak Zibran yang bawa? Kan, Pak Zibran juga bawa motor?" 

Firza membuang napas kasar sambil menatap Kaffa yang masih diperbaiki. Bukannya tidak ingin menuggui sepeda Kaffa selesai, tetapi ia harus buru-buru pulang setelah mendapat pesan dari asisten rumah tangganya. 

"Aku buru-buru, Kaf. Nurut aja. Sudah sore juga, Tante Denia nanti khawatir," bujuk Firza untuk membawa Kaffa pulang bersamanya.

"Lalu, sepedanya bagaimana? Pak Zibran?"

Lihat selengkapnya