A Little Hope

Triyanti Fitri
Chapter #10

10 | Denia

Zibran menatap tak percaya orang di hadapannya. Kalimat yang baru saja Kaffa katakan cukup membuat ia terkejut. Dengan polosnya Kaffa meminta untuk menjaga jarak karena alasan kenakan-kanakan seperti tadi. 

"Ada-ada saja, lalu kamu ingin menjauh dari Bapak biar teman-temanmu yang lain tidak salah paham?" tanya Zibran, "memangnya apa yang kita lakukan? Kenapa mereka bersikap berlebihan?" 

Zibran mengusap wajahnya dengan kasar. Ia sudah bersikap sewajar mungkin, adil pada anak tim basket lainnya sesuai saran Bayu agar semua berajalan lancar. Namun, situasi seperti ini mengapa tetap saja terjadi?

"Aku hanya tidak ingin teman-teman yang lain merasa tidak nyaman. Jadi, tolong, Pak." 

Zibran membuang napas kasar, diam sejenak sebelum akhirnya mengangguk. Ia tidak dapat menolak akan permintaan Kaffa, terlalu memaksakan inginnya juga sangat egois saat ini. Teman-teman Kaffa yang merasa tidak nyaman bisa saja juga membuat Kaffa terbebani.

"Hanya jaga jarak, jangan pernah coba untuk menghindar dari Bapak." Kaffa hanya mengangguk mengiyakan kalimat Zibran. Tentu saja hanya sebatas menjaga jarak agar semuanya merasanya nyaman. Kedekatannya dengan Zibran juga telah membuatnya nyaman, jadi bagimana mungkin ia akan menghindar?

"Padahal, Bapak pikir bisa bonceng kamu," ujar Zibran kecewa. Motor baru yang dibelinya beberapa hari lalu, nyatanya tidak bisa ia gunakan untuk Kaffa. Padahal, ia sangat ingin merasakan Kaffa memeluk pinggangnya. 

"Mungkin nanti, Pak. Aku berangkat duluan, ya, assalamualaikum," pamit Kaffa yang kemudian melajukan sepedanya lebih dulu, meninggalkan Zibran di persimpangan jalan.

*** 

Kaffa tak menyesali keputusannya untuk membentangkan jarak di antara dirinya juga Zibran. Mereka hanya dapat bercengkerama singkat setelah jauh dari sekolah agar tidak membuat teman-temannya tidak nyaman. Meski, Kaffa harus merasa kehilangan karena tidak ada lagi Zibran yang mengantarnya hingga ke ruang kelasn, Zibran tidak lagi mengusak rambutnya sehabis latihan dan bertanya dengan lembut padanya.

Sama seperti yang lainnya, Kaffa pun kini mendapat perlakuan yang sama dari Zibran, tegas dan keras. Kaffa tidak menyesal akan pilihannya, ia justru senang melihat Zibran dapat melakukannya dengan baik hingga semua teman-temannya perlahan kembali seperti dulu. 

Latihan berjalan cukup baik, Eril dan yang lainnya kembali fokus dan bermain dengan baik seperti biasa sehingga mereka dapat bermain dengan prima membuat mereka dapat menang dalam babak penyihisan hari ini. 

Kaffa tersenyum, turut larut bersama kebahagiaan para teman-temannya akan keberhasilan mereka mengalahkan lawannya.

"Kamu hebat."

"Pak," ucap Kaffa yang cukup terkejut akan apa yang dilakukan Zibran padanya di depan semua anggota timnya.

"Hanya seperti ini, tolonglah ...." Zibran mengusap rambut putranya. Ia sudah tidak tahan dengan jarak yang ada di antara mereka selama beberapa hari ini. 

"Sebentar saja," ucap Kaffa menatap Zibran. Ingin rasanya ia mendekat, memupus jarak di antara mereka, memeluk Zibran dengan erat guna menumpahkan rindu yang menggebu. 

"Kaffa!" Teriakan mendadak dari Firza sontak membuat Kaffa berbalik, melangkah mundur, menjauh dari Zibran. 

"Nenekmu tadi menelpon beberapa kali, pas aku telepon balik nomornya sudah tidak aktif," terang Firza memberikan ponsel pada Kaffa.  

Lihat selengkapnya