A Little Hope

Triyanti Fitri
Chapter #11

11 | Kehilangan

Zibran hanya dapat terdiam. Untuk kesekian kali ia tak dapat bertemu Kaffa. Langkahnya selalu tertahan di depan pintu megah tersebut setelah kalimat umpatan dan tindakan kasar dari Elma diterimanya. 

Berhari-hari telah berlalu semenjak kepergian Denia, juga sejak fakta itu terungkap. Namun, Kaffa masih saja tidak pernah keluar dari kamarnya. Hal tersebut tentu saja membuat Zibran cemas akan keadaan putra semata wayangnya. 

Zibran takut terjadi hal buruk pada Kaffa. Ia berpikir bila kejadian ini berdampak buruk untuk mental Kaffa, mengingat betapa Kaffa sangat terpukul akan kepergian Denia, juga betapa mengejutkan fakta yang akhirnya terungkap. Bukan keinginan Zibran untuk membuat Kaffa mengetahuinya saat itu di saat putranya terluka hingga terguncang begitu hebat. 

Ia tidak bermaksud membuat Kaffa mengetahui segalanya dengan cara seperti ini. Zibran tak pernah menyangka bila Kaffa akan mendengar apa yang ia katakan. Melihat perdebatan dirinya dan Elma saat itu hingga putranya kehilangan kesadaran.

"Maafkan Ayah, Nak." Zibran meluruh, bersimpuh di depan pintu rumah yang tidak pernah terbuka untuknya. 

Sesak menghimpit, hatinya berdenyut pilu. Tatapan Kaffa yang menatapnya saat itu membuatnya benar-benar hancur, saat di mana Kaffa hanya memandangnya dengan tatapan kosong tanpa ingin disentuh. Zibran memaki dirinya sendiri hingga saat ini. Ia terlalu bodoh mengatakan siapa dirinya di saat yang tidak tepat.

Seandainya saja ia tidak mengatakan apa pun, memilih pergi begitu Elma mengusir maka semua tidak akan terjadi. Luka yang dirasakan Kaffa pasti tidak akan separah ini, putranya tidak akan terluka lebih parah dan ia akan tetap dapat bersama Kaffa saat anak itu terpuruk. 

Namun, seandainya dan perandaian lain sama sekali tidaklah berguna. Segalanya telah terjadi dan tak dapat disesali, meski memohon kesempatan agar dapat memperbaiki yang terjadi. Ia tak dapat lagi lebih dekat dari Kaffa.

***

"Ibu, apa yang harus aku lakukan?" Kaffa bertanya pelan sembari mengusap bingkai kaca yang selama ini berada dalam dekapannya. Pertanyaannya tentu tak menuai jawaban, desau angin yang berembus pun tak mampu menjawabnya.

Tidak ada seorang pun dapat mengetahui tentang apa yang akan terjadi ke depannya. Termasuk Kaffa, ia tak pernah menyangka akan berpisah secepat ini dengan ibunya. Pelukan hangat kecupan lembut, serta merdu suara sang ibu kini tidak akan dapat lagi di dengarnya. Ia tak akan pernah lagi bersamanya, meski memohon pada takdir.

Tak pernah terbayang olehnya bila akan menyaksikan wanita yang paling ia sayangi dimasukkan ke dalam liang lahat, menyatu dengan tanah dan tidak akan pernah ia peluk lagi. Sakit. Semua teramat mengejutkan untuknya, bagaimana bisa ibunya pergi secepat ini? 

Pagi itu semuanya baik-baik saja. Sang ibu masih tersenyum padanya, memeluk seusai mendaratkan kecupan dan berjanji akan berteriak paling heboh saat dirinya berhasil memenangkan pertandingan. Namun, jangankan berteriak. Untuk membuka mata saja ibunya tidak lagi mampu. 

"Ibu." Suaranya tercekat, kembali air mata meluruh kala rasa rindu tak mampu terbendung. Ia kembali terisak sembari mendekap foto yang mengabadikan wajah ibunya di sana. Senyum yang tidak akan pernah ia lihat lagi secara nyata. 

"Kaf, cukup, Nak!"

Kaffa menghela napas. Ia akhirnya beranjak membuka pintu kamar setelah selama ini hanya bergeming dan mengabaikan sesorang di balik pintu tanpa ada niat untuk membukanya. Ia hanya belum ingin memberi celah bagi siapa pun untuk berada di sampingnya hingga saat ini.

Dirinya lebih memilih diam bersama dukanya tanpa seseorang harus melihat pilu isak tangisnya. Ia butuh waktu untuk sendiri menerima dan memahami segalanya tentang kepergian ibunya dan sebuah fakta yang kini terungkap. Kini, satu minggu telah berlalu semenjak luka itu dirasakannya, tidak hanya akan sakitnya kehilangan. Ia perlahan mencoba untuk bangkit setelah tenggelam akan lara yang menyiksanya selama ini.

Lihat selengkapnya