Terlambat, untuk pertama kalinya Firza merasakan hal tersebut. Siswa berbakat dan berprestasi yang selama ini tak pernah melanggar aturan, kini harus berdiri di depan tiang bendera. Beruntung cuaca saat ini tengah mendung jadi cukup sejuk, bila tidak sudah pasti ia telah bermandikan peluh.
Firza masih terus mendengkus kesal akan hal yang telah terjadi. Ia sudah tahu bila akan berakhir seperti ini, seharusnya ia tidak harus mendengar kata-kata Kaffa tadi. Masa bodoh, bila telinganya harus panas mendengar ocehan Kaffa sepanjang hari. Sayang, ia tak dapat membantah saat memaksanya pergi.
"Firza!"
Firza sontak menoleh menatap orang yang bergegas menghampirinya. Ia dapat menangkap gurat cemas pada wajah pria tersebut.
"Bagaimana dengan Kaffa? Kamu mengantarnya pulang? Dia baik-baik saja? Neneknya tidak marah, bukan?"
"Kaffa tidak pulang, dia ada di rumahku." Firza menjawab dengan malas pertanyaan Zibran.
"Apa? Lalu, kamu meniggalkannya sendiri? Bagaimana bila terjadi hal buruk padanya? Kenapa tidak mengantarnya pulang sehingga ada yang mengawasinya?" tanya Zibran membuat ia harus mendapatkan tatapan tajam dari Firza.
"Dia tidak mau, dan dia yang memaksaku untuk pergi. Jangan mengomeliku sepertinya! Bila ingin melihatnya, sana pergi. Kalian sama-sama berisik!" gerutu Firza dengan nada dingin dan tatapan tajamnya, lalu berlari meninggalkan Zibran begitu saja di saat hujan mulai tumpah.
Firza pikir Zibran akan turut berlari untuk mencari tempat berteduh, tetapi ternyata anggapannya salah. Sang pelatih justru membawa motornya keluar dari area sekolah di tengah hujan yang semakin deras.
"Dasar bodoh," gumam Firza menatap Zibran yang semakin jauh darinya. Ia tersenyum tipis setelahnya, lalu memilih masuk ke area sekolahnya daripada berbasah-basahan. Lagi pula, para guru tak sekejam itu bila menghukumnya berdiri saat hujan.
***
Kaffa tak banyak bergerak. Ia menunduk kaku sambil meremat kuat ponselnya, kerasnya volume musik yang ia dengar tak cukup mampu menenangkannya. Hujan deras diiringi gemuruh guntur saat ini berhasil membuat tubuhnya gemetar. Ia tak pernah menyukai situasi seperti ini. Kaffa takut akan suara menggema tersebut, ia tak pernah menyukainya.
"Ibu." Kaffa menggumam. Biasanya saat seperti ini sang ibu selalu ada di sisinya, mendekap erat dan memberinya ketenangan. Atau, sekadar bersama teman-temanya. Namun, hanya dirinya saat ini tanpa ada siapa pun. Kalau tahu seperti ini, ia tentu akan pergi ke sekolah saja bersama Firza tadi.
Cukup lama Kaffa merasa situasi mencekam tersebut, hingga peluh telah membasahi wajah dan tubuhnya yang gemetar. Langit pun masih kelam, cahaya petir sesekali menyambar lalu disusul gemuruh guntur yang menggema membuat Kaffa benar-benar ketakutan.
"Ibu," ucap Kaffa. Ia berusaha keras untuk tak menjatuhkan air matanya, tetap bertahan walau rasanya benar-benar tersiksa berada di situasi seperti ini.
"Kaffa!"
Perhatian Kaffa sontak teralih mendengar namanya diserukan dengan lantang. Ia pun berbalik guna memandang orang tersebut yang telah membuka pintu kamar dengan kasar.
"Pak—" Kalimat Kaffa terpenggal. Baru saja ia akan menghampiri, tetapi orang tersebut lebih dulu mendekapnya dengan erat membuat Kaffa terpaku di tempatnya.
Zibran memeluknya dengan begitu erat. Namun, entah mengapa terasa begitu nyaman untuk Kaffa hingga ia tak dapat menolak akan hadirnya.
"Kamu baik-baik saja? Kamu tidak apa-apa?"
Kaffa tak menjawab pertanyaan tersebut, ia hanya menatap Zibran yang kini bertanya panik sambil memeriksa kondisinya, mengusap wajah hingga mengecek suhu tubuhnya dengan punggung tangan.