Tenggelam akan pengaruh minuman beralkohol yang Bayu suguhkan membuat Zibran melakukan kesalahan fatal. Acara perayaan kemenangan tim basketnya berakhir dengan sebuah insiden mengerikan.
Zibran tak paham apa yang telah terjadi pada malam itu hingga dirinya berakhir seranjang bersama Denia dengan keadaan tak berbusana. Jerit Denia kala itu pun masih membekas dalam ingatannya, bagaimana gadis yang selalu ia bersamanya sejak masuk SMP itu sangat ketakutan, serta di mana seseorang datang menerobos kamar yang mereka tempati.
Semuanya menjadi gaduh saat itu, para warga yang menerobos masuk langsung menghakimi Zibran dan Denia akan tuduhan melakukan hal tak senonoh. Tak hanya keduanya, Bayu dan para teman-teman lainya pun diperlakukan demikian. Namun, hanya Zibran dan Denia yang menjadi sorotan.
Akibat hal tersebut keduanya langsung dikeluarkan dari sekolah, menjadi buah bibir para warga sekitar. Segalanya kian parah saat beberapa minggu setelahnya, Denia hamil.
Emosi warga kian tersulut saat mengetahuinya, penghakiman pun dilayakangkan pada Zibran dan Denia. Zibran tak hanya mendapatkan amarah dari para warga, tetapi juga makian dari keluarganya sendiri.
Sang ayah tak tanggung-tanggung mengusirnya, memutuskan hubungan darinya dan meninggalkan Zibran. Ayah dan ibunya beserta kerabat lain meninggakan Zibran sendiri, mereka pindah tanpa mengatakan apa pun pada Zibran.
Sementara itu, orang tua Denia terpaksa menerima Zibran dan menikahkan keduanya, agar semuanya tidak semakin rumit. Berbulan-bulan setelahnya bayi dalam kandungan Denia pun lahir.
Baik Zibran maupun Denia sangat bahagia saat itu. Mereka begitu menantikan sang buah hati, meski terlahir karena sebuah kesalahan. Namun, keduanya tetap mendambakan kelahiran bayi mereka.
Akan tetapi, bahagia itu tak dapat dikecapnya melainkan luka yang harus didapatkan Zibran. Gugatan perceraian dari ibu Denia membuatnya harus melepas. Ia yang masih berusia 15 tahun saat itu tak tahu harus melakukan apa, keluarganya tak ada satu pun membantu, bahkan para warga bersikap antipati padanya.
Tak memiliki pilihan, Zibran pun menuruti Elma, pergi menjauh dari kehidupan istri dan anaknya. Mengingkari janjinya pada Denia untuk bertanggung jawab dan sama-sama membesarkan anak mereka, tetapi Zibran tak sepenuhnya meninggalkan Denia dan putranya. Ia selalu berusaha untuk tetap mengawasi, bahkan mengikuti kemana pun orang tua Denia membawa istri dan anaknya.
***
Zibran memandang Kaffa, tangannya digenggam erat oleh putranya yang terus tertunduk sepanjang ia bercerita.
"Lanjutkan, Ayah." Kaffa berucap pelan, meminta Zibran kembali menceritkan segala tentang masa lalunya, mulai dari perkenalan mereka, kesalahan itu hingga bagaimana kehidupan Zibran selama ini.
"Cukup, Nak. Kamu tidak harus mengetahui segalanya. Semua tidak pernah ada hubungannya denganmu. Apa yang terjadi pada Ayah dan ibumu di masa lalu tidak harus kamu ketahui," ujar Zibran dengan lembut. Tak pernah terbesit niat untuk mengungkap masa lalu kembali dan membeberkannya pada putranya.
Bila saja bisa, maka ia tentu akan menutup rapat-rapat akan kenangan masa kelam yang pernah ia jalani. Masa ketika hidupnya harus hancur karena kesalahan fatal yang telah ia perbuat di mana ia merenggut kesucian Denia.
"Maaf, Ayah. Maafkan aku yang telah menghacurkan hidup kalian. Bila saja kesalahan itu tak terjadi maka-"
"Ayah tak akan pernah memilikimu bila segalanya tak terjadi." Zibran menyela, ia bangkit dari duduknya dan membawa Kaffa yang terisak di atas ranjang rumah sakit itu ke dalam dekapnya.