Elma cukup terkejut akan kedatangan Zibran di tengah malam, tetapi ia sama sekali tak menolak kehariannya Zibran kali ini. Wanita 54 delapan tahun tersebut langsung menarik Zibran masuk ke dalam rumahnya.
"Bagaimama keadaan Kaffa? Dia baik-baik saja? Dia sudah cukup lebih tenang?" Sederet pertanyaan itu langsung meluncur begitu Elma menutup pintu rumahya, ia menatap Zibran dengan cemas.
"Tenanglah, dia sudah tidak apa-apa," ujar Zibran membawa Elma yang tampak begitu kacau untuk duduk lebih dulu pada soffa yang tak jauh dari keduanya.
"Anda, baik-baik saja?" Zibran bertanya, ia menatap Elma cemas. Wanita tersebut benar-benar sangat kacau, jejak-jejak air mata masih dapat Zibran lihat dengan jelas.
"Apa kamu pikir saya akan baik-baik saja setelah yang terjadi hari ini?" Elma mengalihkan pandangannya dari Zibran, ia menengadah mencoba menahan air matanya untuk tidak tumpah.
"Kaffa pasti akan membenciku, dia mungkin meninggalkanku setelah ini." Elma menghela napas kasar, melepaskan sesak yang sebelum kembali berucap, "saya benar-benar telah melukainya."
Tangisan itu pada akhirnya kembali pecah. Elma tak mampu membendungnya. Isakan pilu serta tatapan luka kaffa tadi membuat hatinya terasa tercabik, sangat menyakitkan.
Ia tak pernah bertujuan untuk melukai Kaffa. Apa yang ia lakukan di masa lalu semata-mata demi masa depan putri dan cucunya. Elma tak ingin Denia menderita bila hidup bersama Zibran, apa yang dapat diberikan anak lima belas tahun itu pada putri dan cucunya, bila mereka bersama?
Elma hanya memikirkan masa depan bagi putri semata wayangnya, tak ingin Zibran hanya dapat membuat Denia semakin menderita. itulah alasan terhadap perbuatannya lima belas lalu, dan kini. Ia menyesali sikapnya.
Berpikir bila apa yang dilakukannya adalah yang terbaik, kali ini ia sadar bila itu hanyalah keegoisannya saja. Perintahnya pada Zibran untuk meninggalkan anak dan istrinya telah menghancurkan hidup Denia dan Kaffa sendiri.
Kaffa takkan sehancur ini bila semuanya tidak terungkap seperti sekarang. Anak itu pasti akan baik-baik saja di sepanjang hidupnya, tumbuh dengan penuh kasih sayang dari kedua orang tuanya, serta Denia tidak harus menanggung membesarkan Kaffa seorang diri.
Ia pun tidak harus melihat Denia harus menangis setiap malam kala merindukan sosok Zibran. Elma tahu, dirinya sangat mengerti betapa putrinya mencintai Zibran. Insiden malam itu memang kecelakaan, tetapi perasaan Denia dan Zibran benar adanya. Mereka saling mencintai.
"Maafkan saya, Zibran. Tolong Maafkan saya." Elma terisak parah, tangannya gemetar menggenggam tangan Zibran. Ia bahkan telah menjatuhkan diri bersimpuh di hadapan Zibran.
"Apa yang Ibu lakukan?" Zibran menarik tubuh Elma menghentikan aksi wanita itu. Ia tidak pernah menginginkan Elma bersikap seperti ini, dibawanya tubuh Elma ke dalam dekapnya. mengusap-usap punggung wanita itu dengan lembut guna memberikan ketenangan.
***
"Tidurlah, begitu kamu bangun pasti ayahmu pasti sudah datang."
Firza kembali berucap hal yang sama untuk ketiga kalinya, tetapi tetap tak berhasil membuat Kaffa kembali memejam walau anak itu telah tampak sangat mengantuk. Sejak terbangun dari tidurnya tengah malam tadi Kaffa tidak lagi terpejam, hingga mentari telah menyapa.