A Little Hope

Triyanti Fitri
Chapter #20

20 | Dewasa

Kaffa mendengarkan dengan saksama setiap kalimat yang diucapkan sang ayah. Ayahnya sangat hati-hati dalam berucap, seakan takut bila rangkaian kalimat itu akan melukainya. Padahal, tanpa Zibran ketahui, bukan penuturannyalah yang telah membuat hati Kaffa begitu hancur. Namun, bagaimana Zibran yang tampak begitu terluka saat ini. 

"Ayah." Kaffa mengeratkan genggaman tangannya pada ayahnya. Memaksa Zibran untuk menatap matanya yang sejak tadi seolah dihindari oleh Zibran. 

"Tidak apa-apa, aku bisa melewatinya. Semua baik-baik saja."

Zibran tercenung. Kaffa tersenyum dengan begitu lebarnya seakan semua baik-baik saja, putranya tampak begitu tenang setelah mendengar penjelasan akan kondisinya. "Kaffa," ucapnya pelan menatap Kaffa lekat.

"Aku sudah menduganya, jadi tidak terlalu mengejutkan. Awalnya, setelah final nanti mau memang melakukan pemeriksaan untuk memastikannya, tapi ternyata tidak sempat sampai final," jelas Kaffa dengan tenang. 

Tak ada kebohongan dalam setiap kalimatnya, semenjak ia mengompol tanpa sengaja kala itu, ia telah mencari tahu segalanya. Awalnya tentu ia tak percaya akan segala macam artikel yang dibacanya, tetapi gejala dan semua hal yang ia alami merajuk pada jawaban pasti, paraplegia.

Kaffa tentu tahu ada yang salah akan dirinya, tetapi ia tak ingin siapa pun tahu. Ia tak ingin kebahagiaan keluarganya yang baru saja ia rangkai terusik dengan segala macam keluhannya. Akan tetapi, sepandai apa pun dirinya mencoba untuk menutupi pada akhirnya semua akan terkuak. Padahal, Kaffa benar-benar berharap kakinya akan sanggup untuk bertahan hingga ia behasil memberikan piala untuk sekolahnya.

"Bagaimana bisa kamu menutupinya selama ini, kita akan dapat menanganinya lebih awal bila tahu segalanya lebih cepat."

"Nggak, Yah, cepat atau lambat segalanya akan tetap sama. Bila aku mengatakannya sejak awal, maka semuanya akan lebih cepat pula. Ayah akan kepikiran sama penyakitku, mencari cara bagaimana agar aku sembuh sampai lupa bagiamana caranya tersenyum, seperti ini, iya kan?"

Kaffa berdecak, ia mendengkus melihat ayahnya yang hanya dapat diam tanpa berkata apa pun. Kaffa memilih kembali melanjutkan kalimatnya, "dua bulan itu adalah saat di mana aku ingin merasakan kebahagiaan bersama Ayah tanpa memikirkan apa pun. Karena aku tahu setelah semuanya terungkap segalanya pasti akan seperti ini, Ayah akan—"

"Jangan seperti ini, Nak." 

Kaffa mengernyit tipis, membalas pelukan tiba-tiba dari Zibran. "Apanya?" tanya Kaffa polos.

Lihat selengkapnya