Kaffa menatap para teman satu timnya. Ia sengaja meminta Firza dan Zibran untuk mengumpulkan mereka. Sama seperti Zibran maupun Firza, Kaffa berpikir mereka juga berhak untuk mengetahui segala fakta tentang kondisinya.
Zibran terus berada di sisi kaffa, ia selalu mendampingi putranya yang saat ini menjadi pusat perhatian para pemuda yang berkumpul dalam ruang rawat Kaffa. Tak ada yang bersuara. Eril dan anggota tim basketnya kehilangan kata setelah mendengar penjelasan panjang Kaffa. Semuanya terkejut melihat keadaan Kaffa sekarang, mereka tak pernah berpikir kondisi Kaffa akan separah ini. Sungguh, mereka berharap bila apa yang Kaffa katakan hanya sebuah candaan. Namun, melihat raut wajah Firza membuat mereka terpaksa harus mempercayai.
"Lalu, bagaimana dengan final nanti?" tanya Eril.
"Kalian akan bermain tanpaku. Mulai sekarang Aku tidak lagi menjadi anggota tim basket HSBC." Kaffa menjawab pertanyaan tersebut dengan tenang, keputusan yang ia ambil beberapa jam lalu terucap dengan mantap. Ia memang telah memikirkannya cukup lama semenjak ia tahu akan dirinya akan berakhir seperti ini. "Maaf akan keputusanku dan terima kasih untuk selama ini," lanjutnya.
Firza menengadah, berusaha untuk menahan air matanya. Ia telah berjanji pada Kaffa bahwa dirinya akan menerima keputusan tersebut, lagipula tak ada pilihan selain ini. Kaffa butuh waktu dan fokus pada rangkaian pengobatan yang harus ia jalani mulai sekarang.
"Pak Zibran." Eril menatap Zibran yang hanya diam sejak tadi. Ia ingin pelatihnya tersebut mengatakan sesuatu.
Zibran menarik napas panjang, menatap anggota timnya tersebut satu per satu. "Keputusan Kaffa adalah pilihan yang tepat, sebagai pelatih Bapak tidak akan mempertahankan Kaffa dalam tim saat ini. Dia hanya akan menjadi beban bila tetap dalam tim."
Eril dan para anggota tim basket menatap Zibran tak percaya. Bagaimana bisa dengan gamblangnya Zibran yang mereka ketahui adalah ayah Kaffa dapat berkata demikian terhadap putranya sendri.
"Kaffa," ucap Eril pelan membuat atensi Kaffa yang tertuju pada Zibran teralih padanya. Perlahan ia mendekat pada rekan satu timnya tersebut. Sekali pun selama ini ia kerap kali merasa cemburu dan tersaingi, tetapi tetap saja ia tak ingin Kaffa seperti ini. Ia masih ingin bermain basket bersama Kaffa hingga mengakhiri masa SMA-nya.
"Kamu harus sembuh, aku masih ingin bermain denganmu, Kaff."
Kalimat Eril berhasil membuat Kaffa tercenung untuk beberapa saat. Eril kemudian membawanya dalam rengkuhannya membuat Kaffa terpaku untuk beberapa saat.
"Aku akan berusaha, Kak. Aku juga masih ingin bermain bersama kalian," ucap Kaffa membalas rengkuhan Eril. Air mata yang coba ia bendung akhirnya meluruh membuat teman-temannya tak sanggup untuk menahan air matanya
Firza telah terisak. Ia menjadi begitu cengeng beberapa hari ini karena seorang Kaffa, hanya anak itu yang berhasil membuat hatinya luluh lantak. Begitu lemah dan rapuh.
"Sudah-sudah, kalian buat Bapak menangis," ucap Zibran yang mencoba untuk mengenyahkan pilu dalam ruangan tersebut. Ia berusaha tersenyum, meski lelehan air matanya tak dapat terbendung. Sebagai orang paling dewasa dalam ruangan itu saat ini ia tentu harus membuat para remaja tersebut lebih baik.
"Maaf, Pak," ucap Eril yang melepas rengkuhannya pada Kaffa. Ia pun dengan lembut mengusap jejak air mata Kaffa, sahabat paling muda yang ia miliki.
Sama seperti Eril para pemuda yang lainnya pun mengusap air mata mereka, memaksakan sebuah senyum guna mengenyahkan pilu. Setelahnya perbincangan mereka lebih ringan dengan goyunan yang coba Zibran bangun, walau cukup kaku. Setidaknya lebih berwarna tidak lagi kelabu seperti tadi.
Cukup lama para pemuda itu berada di sana, meramaikan kamar rawat Kaffa dengan berbagai hal membuat Zibran merasa bersyukur putranya memiliki teman yang baik. Zibran kini tak lagi mencoba Membangun obrolan bersama para pemuda tersebut, ia hanya tersenyum melihat apa yang mereka lakukan hingga membuat Kaffa dapat tersenyum lebar dengan bermain game online bersama.