Setelah cukup lama bergelut dengan ketakutan dan rasa cemas yang menyesakkan, kini mereka dapat bernapas lega. Kaffa kembali membuka matanya, anak itu benar-benar menepati janjinya untuk keluar ruang operasi dengan selamat.
Firza tak mampu mengucapkan sepatah kata apa pun. Ia benar-benar berterima kasih pada pemilik semesta yang telah mmewujudkan asa yang sepanjang operasi ia pupuk. Tuhan dengan segala kemurahan hatinya mengabulkan pintanya hari ini, mengembalikan Kaffa padanya
Sunguh, Firza tak ingin merasakan kehilangan seorang adik lagi. Kejadian sepuluh tahun lalu telah cukup menjadi memori kelam nan menyakitkan, ia tidak ingin lagi melihat adiknya terbujur kaku dan terkubur di bawah gundukkan tanah. Masih begitu banyak hal yang ingin Firza lalui bersama Kaffa.
Bocah manis yang ia kenal sejak sepuluh tahun lalu sangat ingin ia jaga. Seseorang yang telah menguatkannya di saat ia begitu terluka ketika sang adik meninggal karena kecelakaan. Firza jatuh hati pada anak tersebut karena celoteh, senyum manis, hingga sikapnya mengingatkan Firza pada Azaf.
Sejak pertemuan mereka di toko kue milik Denia Firza menjadi sangat tertarik pada Kaffa. Ia selalu datang ke sana, menghabiskan waktu dengan bermain bersama Kaffa. Firza awalnya mengganggap Kaffa sebagai sosok Azaf, kerap kali ia memanggil Kaffa dengan nama adiknya, membuat Kaffa kecil selalu memberenggut kesal padanya.
Bagi Firza Kaffa adalah pengganti adiknya. Ia menyayangi Kaffa selayaknya Azaf, menjaga dan menjadi sosok kakak yang baik untuk adiknya.
Tidak masalah bila ia harus kehilangan orang tua akibat perceraian, tetapi ia tak pernah sanggup kehilangan Kaffa. Adik kecilnya yang selama ini selalu menjadi pelipur lara.
"Dasar cengeng!"
Firza langsung mengusap air matanya dengan kasar begitu mendapatkan sentuhan dari jemari Kaffa. Segera ia mengalihkan pandangannya dari Kaffa yang memandangnya dengan nakal. Mendadak dirinya merasa malu telah sampai harus menitikkan air mata, ia pun tak dapat menyangkal bila ia sedang cengeng saat ini.
"Firza itu khawatir sama kamu, wajar kalau dia sampai nangis karena saking bahagianya." Zibran berujar lembut, ia membelai rambut putranya. Segala kalimat syukur ia panjatkan pada sang pencipta, ia pun tak dapat menahan air matanya yang terus mendesak keluar.
"Kalian sama aja, cengeng! Aku, kan, sudah bilang aku akan baik-baik saja." Kaffa mencebik, ia mendengkus melihat Firza dan ayahnya yang tampak sangat kacau dengan jejak air mata.
"Nenek!" teriak Kaffa yang mengalihkan pandangannya pada wanita yang tak jauh darinya menyuruh kedua laki-laki di sisinya itu untuk menyingkir. "Suruh mereka keluar, Nek."
Zibran dan Firza sontak dibuat terkejut akan kalimat Kaffa pada Elma, keduanya saling melirik untuk sesaat lalu sama-sama menggeleng menolak keinginan Kaffa.
"Wajah kalian menyedihkan, jelek!" Kaffa berseloroh memandang keduanya. Wajah mereka yang kacau akan air jejak air mata, menjadi tampak menggemaskan bagi Kaffa. Terlebih ekspresi keduanya yang berusha tersenyum.