A Little Hope

Triyanti Fitri
Chapter #24

24 | Berhenti

Kaffa menutup bukunya setelah menyelesaikan seluruh tugasnya malam ini. Ia menghela napas, lalu meregangkan tubuhnya yang terasa kaku setelah bergelung dengan rumus-rumus dan beberapa materi lainnya. Pandangannya pun beralih menatap daun jendela kamar yang basah, akibat hujan yang tiba-tiba turun beberapa saat lalu. 

Cukup lama terdiam, hingga iris kelamnya tertuju pada jejeran bingkai foto yang berada dia atas meja belajarnya. Potret beku yang menggambar kebahagiaan ia dan para teman-temannya sekitar delapan bulan lalu, momen perayaan kelulusan Firza dan ia yang berhasil naik ke tingkat akhir. Kini tinggal bebrapa bulan lagi ia akan mengakhiri masa SMA-nya yang penuh warna dan menyusul Firza menyandang status mahasiswa.

Potret beku yang selanjutnya menjadi perhatian Kaffa kini adalah gambar kedua orang tuanya yang sengaja disatukan dalam bingkai bersama potret dirinya di antara mereka. Kaffa kian melebarkan senyumnya, sang ayah benar-benar membuat dirinya dapat merasakan kebahagiaan kala menatap foto tersebut. Sebuah foto keluarga satu-satunya yang ia miliki. 

Andai kematian tak memisahkan mereka, bila saja ibunya masih dapat berada di sisinya tentu kebahagiaan yang ia rasakan akan berlipat ganda. Namun, garis takdir tak dapat Kaffa usik dan berjalan sesuai keinginannya.

Di menit berikutnya perhatian Kaffa teralih pada suara motor yang telah Kaffa hafal. Segera Kaffa menggeser kursi rodanya mengambil handuk yang tersampir dibelakang pintu lalu bergegas keluar kamar.  

Meski tak dapat berjalan, gerak Kaffa tetap tak terbatas. Ia dengan lihai mengerakkan kursi rodanya menuju pintu dan menyambut kehadiran Elma dan Zibran. Dugaannya benar, kedua orang tersebut basah kuyup akibat mengendarai motor pada saat hujan.

"Kenapa tidak tunggu hujannya reda saja?" tanya Kaffa setelah menyerahkan handuk pada keduanya. 

"Lama, lagi pula tidak cukup deras." 

"Tidak cukup deras apanya? Sampai kuyup gitu," sungut Kaffa menanggapi kalimat ayahnya. "Tidak perlu buru-buru pulang juga."

Zibran tersenyum menatap Kaffa yang memberenggut kesal. Gemas ia pun mengacak-acak rambut putranya dan mencubit pipinya, membuat Kaffa kian kesal.  

"Sudah, Ayah mandi sana! Ganti baju, nanti malah masuk angin."

"Siap!" seru Zibran penuh semangat, setelahnya ia bergegas menuju kamar mandi.

"Nenek juga," ucap Kaffa yang sejak tadi hanya diam.

Tak ada jawaban dari Elma, bahkan reaksinya pun datar. Ia berlalu begitu saja meninggalkan Kaffa, tanpa sepatah kata apa pun. Begitu hanya tinggal dirinya sekarang, Kaffa membawa kursi rodanya menuju dapur. Menyiapkan minuman hangat untuk keduanya agar tidak masuk angin, ia tidak ingin mereka sampai jatuh sakit.

Tidak butuh waktu lama tiga cangkir teh telah selesai dibuatnya bersamaan dengan datangnya Zibran. Ia pun menyajikan teh hangat buatannya kini bersama sisa kue dari toko yang dibawa ayah dan neneknya tadi. 

"Wahh!" Zibran yang baru saja tiba berseru heboh melihat kue dan teh yang telah disajikan putranya. Ia tersenyum lebar, mengulas senyum bangga pada Kaffa.

"Anak Ayah pinter banget, sih," ujarnya mengecup kening Kaffa terlebih dulu sebelum duduk dan menikmati teh buatan Kaffa yang selalu terasa nikmat. 

"Sudah belajarnya?" Kaffa mengangguk, menjawab singkat pertanyaan ayahnya membuatnya lagi-lagi mendapatkan pujian dan belaian lembut dari ayahnya.  

"Ayah, gak usah berlebihan deh." 

"Loh, siapa yang berlebihan? Ayah benar, kok, anak ayah hebat, dia luar biasa dan cerdas. Apa yang salah?" 

"Suka-sukanya Ayah aja, deh." Zibran tergelak, ia terbahak akan kalimat dan reaksi Kaffa yang tak mampu menyangkal kalimatnya seperti biasa.

Sementara Kaffa, ia tak banyak bicara lagi. Ia sibuk membalas rentetan chat dari Firza yang sejak belum sempat ia balas, tetapi setelahnya tak ada balasan lagi karena Firza tidak lagi aktif. Hal tersebut membuat Kaffa merasa bersalah karena terlambat menanggapi Firza, padahal ia tahu sahabatnya sampai meluangkan waktu hanya untuknya di tengah kesibukannya sebagai mahasiswa.

Lihat selengkapnya