Zibran memandang bingung pada layar ponselnya. Dito yang baru saja menghubunginya berhasil membuatnya dirundung cemas. Getar suara yang tak biasa serta kalimat Dito tidak jelas, hingga sambungan telepon yang diputus sepihak tanpa menunggu ia mengerti.
Ia mencoba kembali menghubungi Dito, tapi sama sekali tak ada jawaban. Teman-teman Kaffa yang lain pun demikian. Zibran berdecak kesal saat nomor telpon Kaffa sama sekali tidak aktif.
Khawatir, tanpa sepatah kata pun ia meninggalkan pekerjaannya begitu saja, memacu kendaraannya dengan ugal-ugalan untuk segera sampai ke tempat di mana putranya berada.
Masa bodoh akan ponselnya yang terus berdering dalam sakunya, risiko kehilangan pekerjaan pun tak lagi penting. Putranya adalah hal terpenting, ia tidak peduli akan apa pun lagi sekarang.
"Dito!" Zibran berteriak lantang,
saat berhasil menemukan keberadaan Dito begitu dirinya tiba di area sekolah putranya. Langkahnya kian lebar menghampiri pemuda yang telah berhasil membuatnya cemas.
"Ada apa? Kaffa kenapa?" tanya Zibran tanpa basa-basi pada Dito di hadapannya. Raut wajah tak biasa dari anak tersebut saat pandangan mereka bertemu membuatnya semakin cemas.
"Pak Zibran ...."
Dito menunduk, kedua tangannya saling bertaut begitu sadar dari keterkejutannya akan kehadiran Zibran saat ini. Ia bingung ingin menjelaskan segalanya seperti apa? Bukan takut akan kemarahan dari Zibran, tetapi ia takut bila Zibran kecewa padanya karena tak dapat menepati janji menjaga Kaffa dengan baik.
"Ada apa? Kaffa baik-baik saja? Kenapa?" Zibran kembali bertanya, menunggu jawaban dari Dito yang kaku di hadapannya. Namun, hingga beberapa detik berlalu, Dito masih tetap diam membuat hening mengambil alih untuk sesaat. Sampai atensi keduanya teralihkan oleh seorang siswa yang tiba-tiba datang dengan panik.
"Dit, Kaffa ada di atas gedung!"
"Apa?" tanya Zibran tak mengerti.
Ia menatap siswa di hadapannya tak percaya akan kalimat yang baru di dengarnya. Namun, tak ada penjelasan didapatnya. Siswa tersebut segera berlari bersama Dito lebih dulu meninggalkan saat ia masih mencoba memahami, sebelum pada akhirnya Zibran menyusul langkah keduanya sampai pada akhirnya ia mendapati hal yang membuat dunianya seakan berhenti berputar.
Pijakan Zibran goyah, ia limbung dan nyaris terjatuh bila seseorang tak seorang siswa menahan tubuhnya. Pandangan Zibran terkunci sepenuhnya pada sesorang yang berada pada puncak tertinggi bangunan tersebut, tempat yang tak lazim untuk berada di sana.
"Kaffa!"
***
Semilir angin memainkan rambutnya. Kesejukan akan embusan angin di tengah teriknya matahari tak cukup mampu membuatnya merasa nyaman.
Genggaman kedua tangannya mengerat pada pegangan kursi roda dan semampu mungkin ia menjaga keseimbangan.
Satu pegerakkan kecil saja ia lalukan dengan gegabah, maka semuanya benar-benar akan berakhir. Dan, bila pada akhirnya skenario terburuk dalam pikirannya benar-benar terjadi, dapat ia pastikan hidupnya pun akan berakhir saat ini.
"Apa yang terjadi padamu?" tanya Firza setelah berdecak keras.
Ia kembali mengeratkan genggaman, jangtungnya berpacu tak normal, dirinya benar-benar tak paham akan hal yang terjadi. Pikirnya Kaffa hanya ingin melihat pemandangan dari tempat ini seperti biasa, ia tak pernah menduga bila Kaffa akan memilih berada di bibir atap gedung dan berkata ingin segalanya berakhir.
Firza rasanya ingin menarik Kaffa dari sana, menjauh dari jangkauan maut yang bisa saja merenggut. Namun, Firza tak dapat bertindak gegabah, tempat ia berpijak sungguh berbahaya. Risiko kehilangan nyawa adalah taruhan, ia sama sekali tak ingin Kaffa sampai terluka bila terjatuh dari atap bangunan berlantai tiga tersebut. Dirinya tak ingin kehilangan lagi, terlebih dengan cara seperti ini.
"Lepas, Kak!"
"Lalu, membiarkanmu jatuh begitu saja? Dasar gila, apa yang terjadi padamu mengapa kamu tiba-tiba seperti ini?"
Firza menaikkan nada suaranya, ia benar-benar kalut saat ini. Siapa yang dapat berpikir tenang saat berada dalam situasi saat ini? Kaffa bisa dengan mudah menjatuhkan diri dari kursi rodanya tanpa dapat ia cegah. Entah apa yang terjadi pada sahabatnya itu hingga bertindak gila, atas dasar apa Kaffa melakukan hal konyol seperti ini?