Satu.
Dua.
Tiga.
Cairan bening menetes pelan setiap tiga detik. Adys terhipnotis oleh kemonotonan itu. Suasana yang sunyi, kamar yang serba putih, dan aroma antiseptik. Mata Adys sudah terasa berat sekali. Adys mencoba menggerakkan tubuh. Dia meringis merasakan ngilu yang luar biasa.
Adys tak tahu lagi sekarang hari apa dan sudah berapa lama dia tidur. Dia teringat pada Leah, kakaknya. Leah, kini adalah satu-satunya kerabat sedarah Adys yang masih tersisa. Adys bertanya-tanya bagaimana kabar Leah di rumah tanpa dirinya.
Punggung Adys terasa kaku seperti balok kayu. Adys ingin duduk, tapi otot-ototnya seolah kehilangan tenaga. Adys mencari tombol pemanggil perawat di atas kepala dan menekannya. Beberapa saat kemudian pintu kamar terbuka. Seorang perawat muda, mungkin tak jauh usianya dengan Adys, masuk dan menyapa dengan ramah.
“Selamat pagi, Mbak Adys. Ada yang bisa saya bantu, Mbak?” tanyanya sambil mendekati tempat tidur Adys. Adys membaca papan nama di dada perawat itu, Nurina A.
“Punggung saya pegal, Mbak. Saya pengen duduk. Bisa tolong dibantu?” Suster Nurina tersenyum dan meraih tombol untuk menaikkan bagian kepala tempat tidur. Setelah posisi Adys nyaman, Suster Nurina menyerahkan tombol itu pada Adys.