A Man

Yessi Rahma
Chapter #1

A Man 1 Dia Yang Tidak Pernah Disebutkan Namanya

“Salju di musim dinginpun akan meleleh ketika dia lewat. Mataharipun akan bersembunyi di balik awan ketika dia datang. Hujanpun akan berhenti ketika dia keluar rumah. Bahkan bayipun akan berhenti menangis ketika menatap matanya. Sebuah puisi yang sangat cocok sekali menggambarkan pelukis ini. Bukankah begitu?” penyiar berita itu tampak antusias mengawali berita yang akan dia bawakan secara live.

           Para pencari berita menyemut mengerubuti sebuah galeri yang akan dibuka satu jam lagi. Rasanya mereka begitu ingin berlomba merekam wajah sang pelukis yang memang terkenal dengan kemisteriusannya. Acara pembukaan galeri tersebut disiarkan secara live oleh berbagai stasiun teve international. Setidaknya ada sekitar 100 stasiun teve yang sudah mengirimkan perwakilannya untuk mendapatkan berita yang bagus dan sudah menjadi trending topik di berbagai negara dan media sosial selama dua bulan terakhir.

“Dek, dek dek!” seorang pria berumur 28 tahun dengan baju kaos batik yang sudah luntur berteriak-teriak di depan teve. “Lihatlah! Lihatlah, itu, itu bukankah, bukankah itu Dika? Priandika Natifa?” teriaknya berkali-kali tapi masih tetap tergagap sambil memegangi remot tevenya.

“Kamu ngelindur ta mas?” sahut istrinya dari dapur yang sibuk mencuci beras untuk dimakan besok pagi.

“Kalau aku ngelindur bagaimana bisa aku mengenali temanku!” sang suami hampir saja marah. “Itu, itu Dika. Priandika Natifa,” ujarnya kembali sambil melotot ke arah teve untuk memastikan yang dilihatnya memang benar. Matanya membuka begitu lebar seolah ingin menelan teve itu hanya untuk meyakinkan dirinya sendiri jika dia tidak salah. “Iya benar itu Dika.”

“Sepertinya kamu lelah, cepat tidurlah dan urusi pajak besok pagi. Kamu ada janji dengan beberapa klien penting besok,” istrinya mengingatkan sambil mengelap air yang menetes dari tangannya setelah mencuci beras.

“Itu Dika, itu Dika, aseli itu Dika.” Dia mencoba meyakinkan istrinya.

“Terakhir kamu ngelindur kamu memeluk pintu dan mengelus-elusnya. Tidakkah kamu ingat?”

“Kalau aku ngelindur bagaimana bisa aku menjawab semua pertanyaanmu dan berdebat denganmu. Cepatlah kesini.” Dia mengeraskan volume tevenya.

“Mana mungkin orang mati bisa hidup lagi mas Yusuf Imani. Sadarlah. Kamu sudah terlalu sering ngelindur tentang dia.” Istrinya mulai kehilangan kesabaran. Tingkah suaminya yang hampir mirip dengan orang gila ketika mendengar nama ‘Dika’ cukup membuatnya kewalahan beberapa tahun terakhir atau lebih tepatnya setelah menerima kabar kematian Dika. Belum lagi kebiasaan ngelindurnya dan merintihnya ketika tidur serta memanggil-manggil nama orang itu. Yusuf akan menggila ketika Dika muncul.

“Seorang pelukis yang terkenal dengan kesempurnaan karya seninya beberapa jam lagi akan menggelar pameran lukisan termewah dan terhebat sepanjang abad. Semua orang di seluruh dunia sedang menantikannya. Selain karena kehebatan karya seninya, pelukis yang satu ini juga dikenal dengan kemisteriusannya. Sampai sekarang tidak ada yang tahu siapa dia sebenarnya, dari berita yang beredar nama yang digunakannya selama ini bukan nama aslinya. Dia juga dikabarkan dibuang oleh orang tua aslinya dan memiliki sedikit gangguan mental. Berita spekulasi tersebut semakin kencang berhembus menjelang pembukaan galeri lukisan yang paling mewah dan paling hebat sepanjang abad ini. Akan tetapi berita tersebut sudah ditolak mentah-mentah oleh sekretaris yang merangkap sebagai juru bicaranya pagi tadi. Sekretarisnya mengatakan jika tidak ada yang salah dengan Sun, dia tidak dibuang oleh orang tua aslinya dan dia tidak memiliki gangguan mental.”

“Dika, memiliki gangguan mental?” sepasang suami istri ini mengulang kalimat tersebut beberapa kali sambil saling menatap satu sama lain seakan tidak percaya. “Bagaimana bisa?”

“Tapi walaupun berita negative tentang pelukis ini sangat kencang berhembus tapi tidak menyurutkan perhatian dunia kepada karya lukis yang dibuatnya.” Si Pembawa berita itu menambahkan ketika karya-karya yang pernah dibuat oleh Sun Wandari muncul memenuhi layar teve itu seperti mozaik.

“Atau dia melakukan itu untuk membuat maneuver agar pembukaan galeri seninya semakin menarik? Bukankah itu masuk akal mas? Bukankah itu masuk akal?” sang istri mulai menggigit bibirnya tidak kuat menahan sedih yang tiba-tiba saja datang menyelimuti rumahnya.

“Mungkin saja” Yusuf mulai kehilangan kesadarannya. Dika. “Masih ada beberapa jam lagi sebelum pembukaan dan wawancara live nya, kamu tidak mau sholat dan berdoa untuk Dika? Meskipun sedikit terlambat tapi setidaknya itu saja yang bisa kita upayakan untuk kebaikannya.”

Klik! Layar teve tersebut menghitam.

***

“Sun, acara dimulai lima menit lagi. Bersiap-siaplah! Mereka menunggumu di lantai dasar.” seorang wanita cantik dengan pakaian kurang bahan dan rambut blonde berteriak di depan pintu. Matanya cantik dengan tulang pipi yang tegas. “Kau sedang apa?” tanyanya ketika mendapati orang yang disapanya berdiri diam di depan kaca ruangannya. Tidak bergerak. “Kau memikirkan apa yang dikatakan monyet-monyet itu dibelakangmu? Kamu sendiri yang bilang monyet-monyet itu hanya pesuruh Sun, kau sebentar lagi akan memberi mereka pisang jadi kenapa khawatir seperti itu? Dan sejak kapan kamu jadi orang seperti itu?”cerocosnya. Semua sekretaris itu, cerewet.

Sun sendiri, dia masih tetap melihat bayangan di kacanya. Tapi matanya tidak menatap bayangan dirinya, melainkan bayangan bunga matahari yang berada tepat dibelakangnya. Bunga matahari yang memang sengaja dia letakkan di sana agar ketika dia menatap kaca dia bisa menatap bayangan bunga matahari itu. Dia menghela nafas kemudian. “Jangan khawatir, aku tidak pernah takut dengan monyet-monyet tersebut, aku juga tidak khawatir dengan acara pembukaan galeriku.”

“Jadi apa yang kamu khawatirkan? Permintaan sponsor yang memintamu untuk sedikit membuka kemisteriusanmu? Kamu tidak perlu melakukannya jika kamu tidak mau. Jika mereka memaksa kita bisa saja membatalkan kontraknya dan mencari sponsor lain yang lebih bisa diajak bernegosiasi tentang itu. Tawaran terakhir yang kau tolak beberapa bulan yang lalu masih mau menerimamu jika kau tidak merasa nyaman dengan kontrak baru ini.” Jane tampak ikut khawatir. Ini adalah pertama kalinya dia melihat mata Sun yang selalu tenang dipenuhi dengan aura aneh yang dia sendiri tidak bisa mendiskripsikan.

“Kamu sudah menjadi asistenku berapa tahun Jane? Bagaimana bisa kamu mengira aku akan khawatir dengan hal tidak berguna seperti itu.”

“Lalu?” mata bundar Jane membulat. Dia akan dimaki-maki PD dan banyak orang jika Sun tidak keluar tepat waktu. “Jangan bilang kamu berniat untuk membukanya?” Sun mengangguk. Sebuah anggukan kecil yang hampir saja membuat gedung galeri berlantai tujuh ini ambruk. “Semuanya?”

Sun mengangguk lagi. “Mungkin ini adalah waktu yang tepat. Aku sudah lelah dengan gemerlap dunia seni disini. Tapi aku tidak berencana membuka semuanya, hanya saja aku akan menjawab semua yang mereka tanyakan. Aku sudah berjanji tidak akan berkelit lagi.” Jawabnya dengan senyum sekilas.

“Baik, jika itu maumu.” Jane menghela nafas berat. Dia sudah mengira jika cepat atau lambat Sun akan mengungkapkan semuanya. Semuanya yang dulu hanya dia dan ayahnya yang tahu. Dan hal itu, hanya permasalahan waktu. “Tapi kamu perlu ingat sesuatu, jika dunia mulai meninggalkanmu aku akan tetap disampingmu karena aku asistenmu.”

Aula gedung galeri paling mewah yang berada di Italy ini diramaikan oleh blits dari banyak kamera yang sekarang mulai mengarah kepada Sun. Hari ini adalah hari dimana Sun akan tampil di depan kamera dengan kharismanya lagi. Pembicaraan tentang pembukaan galeri seni dari seorang pelukis misterius bernama Sun Wandari sudah sangat diperbincangkan beberapa bulan ini. Koran-koran local dan nasional, berita-berita dari teve international hampir setiap hari membahasnya seperti melakukan penghitungan mundur setiap hari.

Sun tampak elegan dengan jas hitam dengan garis jahitan yang tegas. Dia bisa dikatakan terlalu pintar untuk menjadi seorang pelukis dan terlalu fashionista untuk menjadi seorang seniman. Semua orang di belahan dunia manapun setuju dengan kalimat tersebut. Otaknya seperti bercabang banyak, satu untuk kehidupannya, satu untuk galeri dan lukisannya dan satu untuk penampilannya.

“Acara dimulai dalam hitungan tiga, dua satu.” Seorang tenaga part time kurus berteriak seperti itu dan diikuti oleh teriakan-teriakan penonton yang sulit untuk diredam. Penonton sangat antusias bahkan pembawa acarapun harus berusaha sedikit keras untuk menenangkannya. Acara itu dilakukan dalam aula lantai pertama yang berkapasitas 400 orang. Aura mewah dan elegant dari museum itu turut serta menghiasi aula yang merupakan satu-satunya tempat tanpa bunga matahari tersebut. ada beberapa pajangan disana, lukisan-lukisan abstrak yang sebenarnya milik ayah Jane ketika dia masih hidup. Panggungnya ada dipojok ruangan dengan batu-batu marmer mewah elegant yang menghiasinya.

“Baik, selamat siang, selamat pagi dan selamat malam bagi pemirsa yang berada di seluruh dunia yang sangat antusias untuk melihat acara live ini. Hari yang dingin untuk melihat bunga matahari mekar bukan?” gemuruh tepuk tangan penonton di aula utama galeri tersebut. Mereka pasti tahu arti bunga matahari mekar tersebut. Siapa lagi kalau bukan Sun Wandari. “Salju di musim dinginpun akan meleleh ketika dia lewat. Mataharipun akan bersembunyi di balik awan ketika dia datang. Hujanpun akan berhenti ketika dia keluar rumah. Bahkan bayipun akan berhenti menangis ketika menatap matanya. Barisan ungkapan tersebut sangat cocok sekali untuk menggambarkan keberadaan Sun Wandari, seorang pelukis yang terhebat sepanjang masa. Bagaimana menurutmu sendiri Sun?”

“Kalian terlalu berlebihan. Kalian tahu, kalian hanya dibohongi oleh sponsor-sponsorku dan media saja.” Sun masih mempertahankan ekspresi datarnya. Dia tidak ingin kelihatan sombong atau terlalu rendahan. Tapi penonton masih saja bertepuk tangan. Sun melirik ke pinggir panggung, disana Jane dan tim-nya melakukan analisis serta hal-hal yang lain yang diperlukan untuk membackupnya. Kalian tahu, dibalik orang hebat pasti dibelakangnya ada orang yang lebih hebat lagi.

“Itulah yang menjadikanmu unik dan menarik Sun.” pembawa acara ikut bertepuk tangan, mengakui kehebatan Sun dalam memainkan kata-kata dan ekspresi di depan kamera.

“Aku takut jika kamu yang tertarik kepadaku.” Sun memancingnya lagi dan membuat seluruh orang terpingkal-pingkal dengan sendirinya. Jane tersenyum dan mengacungkan jempol yang hanya bisa dilihat Sun.

“Maaf jika kamu kecewa aku yang menjadi pembawa acara kali ini. Tapi seberapapun kecewanya kamu, kamu harus menerima jika dua jam ke depan aku yang akan membawa acara ini,” guraunya. Sun sedikit tersenyum, menampakkan barisan gigi seperti biji mentimun yang berwarna putih bersih. “Dengan senyum itu aku yakin jika kamu bisa membuat semua wanita di dunia ini tergila-gila kepadamu. Kamu punya tubuh bagus, wajah bagus, image yang mengagumkan, dan kharisma yang tidak bisa ditandingi. Apakah kamu tidak mau mencoba pekerjaan lain? Sebagai model atau aktor mungkin? Aku dengar dari berbagai produser kamu sudah menolak mereka mentah-mentah ketika tawaran itu muncul. Tentunya hal itu mengundang banyak tanda tanya bukan? Atau memang kamu sendiri bercita-cita dari kecil untuk menjadi seorang pelukis?”

Ini adalah pertanyaan menjebak. Jane tahu itu. Itu sebabnya dia berdoa dan berharap-harap cemas agar Sun bisa menjawabnya dengan baik. Jane menakupkan jemarinya di depan dada dan merapalkan beberapa doa untuk Sun. Sun, you can do it! Katanya dalam hati.

“Mungkin karena uang yang mereka tawarkan lebih sedikit dari yang bisa aku hasilkan sebagai seniman.” Ucapnya diikuti teriakan wanita-wanita yang mulai menggila karena kalimatnya. Pembawa acara tersebut berpikir beberapa detik lalu kembali tersenyum. “Kamu tidak perlu berkelit-kelit hanya untuk memancingku.” Pembawa acara tersebut menghela nafas, dia beberapa kali mengingatkan dirinya sendiri jika ini adalah pekerjaannya. Betapapun marahnya dia, tapi kamera sekarang sedang menyala.

“Oh baiklah kalau begitu. Aku dengar juga kamu memiliki kepribadian ganda. Kamu menjadi orang yang sangat ramah ketika kamera off tapi menjadi orang yang sangat menyebalkan ketika kamera on. Bolehkah kami tahu kenapa?”

“Aku benci dengan kamera dan media.”

“Anda benci dengan kamera dan media? Tapi bukankah berkat kamera dan media, lukisan anda pertama yang berjudul A Man menjadi karya seni tingkat dewa? Ngomong-ngomong soal itu, apakah ada cerita dibalik lukisan itu? Dan mohon jangan berkelit lagi. Saya ingat terakhir kali kita berbicara masalah ini dan anda membohongi saya.” Layar yang berada di belakang mereka berdua langsung menunjukkan sebuah foto berbackground hitam. “Bagaimana bisa anda mencampur berbagai macam warna menjadi hitam yang berbeda-beda? Dan jika diperhatikan beberapa kali warna hitam tersebut berasal dari ratusan warna?” Sun tersenyum. Dia ingat sekali bagaimana dia membohongi dan berkelit setiap kali kamera on di hadapan semua orang jika itu menyangkut masalah A Man, lukisan pertamanya. Tapi dia tidak bisa berkelit lagi hari ini. Dia sudah berjanji untuk menjawab semua pertanyaan itu.

“Sebenarnya, semua warna bisa menjadi warna hitam jika anda tahu komposisinya dan cara mencampurnya dengan benar. Tidak ada yang spesial dari itu. Jika anda mau, salah satu tim saya akan mengajarkan teknik mencampurkan warna tersebut,” Sun menghela nafas kemudian. Ini saatnya, dia berkata dalam hati. “Lukisan ini sebenarnya bukan lukisan pertama yang saya buat. Hanya saja, lukisan ini begitu beruntung ketika saya melukisnya dengan seluruh hidup saya, seolah-olah hidup saya selesai setelah saya menyelesaikan lukisan ini. saya lupa kapan saya membuatnya, tapi seingat saya ketika lulus bachelor degree aku sudah selesai membuatnya. Yah saya ingat itu, waktu itu hari wisudaku dan saya ingin memberikan itu pada seorang yang sangat aku sayangi, seumur hidupku.”

“Pacarmu? Dia juga seorang pelukis sama sepertimu?”

Sun menggeleng. Semua orang hening, semua orang di seluruh dunia. “Dia yang tidak pernah aku sebutkan namanya. Cinta pertamaku. Kalian salah jika berpikir aku lulusan seni. Aku lulusan ekonomi di salah satu universitas di negara berkembang.”

“Lalu kenapa lukisan ini berakhir di tempat pelelangan lukisan?”

“Waktu itu aku memutuskan nasib lukisan ini. Lukisan ini, tidak akan pernah menjadi milik siapapun dan dengan harga berapapun. Itulah alasanku kenapa setelah aku berhasil menghasilkan uang aku kembali membelinya. Dia akan sendirian. Selamanya sendirian.” Sun memberikan senyum. Aura seperti pemakaman menyeruak tiba-tiba. Dingin, sedih dan menyayat hati.

Lihat selengkapnya