Yusuf sedang berada di kantornya yang bertempat di Surabaya utara. Meskipun kedua bola matanya tidak pernah terlepas dari laptop yang ada di depannya, tapi dia tidak sedang mengecek laporan penjualan, dia tidak sedang meneliti pajak atau dia tidak sedang menganalisis penjualan produknya sekarang ini. Walaupun begitu, wajahnya tetap menunjukkan jika dia sedang serius sekarang. Indomie dengan telur mata sapi yang dia pesan sudah dingin dan mengembang karena tidak disentuh sama sekali. Air di gelasnya juga tidak berkurang.
“Pak, kami berniat pulang sekarang. Apakah bapak tidak keberatan jika mengunci kantor dan pintu gerbang jika nanti sudah selesai?” Hendra berdiri di depannya. Kelakuannya sopan, dia mengunci kedua tangannya di depan tubuhnya dan membungkuk sebelum bertanya.
“Oh iya, baik baik Ndra.” Yusuf tersadar. “Kamu boleh pulang, aku baru sadar jika sekarang sudah malam. Sudah hampir tengah malam ternyata,” Yusuf mengusap dengan kasar wajahnya yang menegang sembari melihat jam kayu kecil yang ada di mejanya. “Anak-anak juga suruh pulang saja, masih ada yang harus aku kerjakan saat ini.”
Hendra mengangguk dengan hormat dan beranjak pergi. Dia tahu sekali jika dia berbicara lagi maka dia tidak akan ditanggapi oleh atasannya sama seperti ketika dia masuk tadi. “Eh Ndra, boleh aku bertanya sesuatu?” Hendra menghentikan kakinya. “Apakah kamu pernah merasa ingin menghilang?”
“Maaf pak?” Hendra memiringkan kepalanya tanda dia tidak mengerti.
“Oh sudahlah, mungkin karena sudah malam otakku jadi sedikit berkarat.”
“Kecewa pak,” Hendra menatap dengan pasti. “Jawaban dari pertanyaan bapak tadi. Terkadang jika aku sangat kecewa, aku ingin tiba-tiba saja menghilang dari semua orang yang mengenalku. Tidak jarang aku berharap aku mampu bermigrasi ke tempat lain dimana tidak ada satu orangpun yang mengenalku agar aku bisa menetralisir kekecewaanku.”
“Oh begitu, baiklah. Pulanglah sekarang.” Hendra menutup pintu dengan sangat lembut. “Kecewa? Apa yang dia kecewakan?” gumamnya sendirian. Dia memutar lagi video yang dia download dari youtube itu, sekali lagi dan sekali lagi. Berkali-kali.
Dia membuka youtube untuk mencari lagi beberapa video tentang Sun Wandari yang mempunyai nama asli Priandika Natifa tersebut. Dia bisa gila jika tidak segera menemukan jawabannya. Video tentang karya-karya lukisan Sun, video wawancara dan artikel-artikel serta berita-berita. Dia mencari semuanya, dia mencari apapun tentang Sun Wandari.
“A Man? Sudah kubilang jika dia adalah cinta pertamaku. Memang benar aku sudah berencana dari dulu untuk meninggalkan Italy setelah berhasil membuka galeri ini, dan aku tidak berencana menjadi seniman seumur hidupku, tentunya kalian sudah tahu itu. Tapi aku tidak berencana untuk berhenti dalam waktu dekat ini. Anggap saja aku berlibur untuk mencari muse ku dalam melukis, itu saja.”
“Apa itu ada hubungannya dengan lukisanmu yang pertama?”
“Lagi-lagi lukisan A Man? Tahukah, kalian terkadang sangat menyebalkan ketika bertanya masalah A Man, kalian tahu? dan kenapa kalian lebih tertarik siapa itu A Man daripada lukisan A Man itu sendiri?”
“Karena anda terlalu misterius Sun, lalu apa muse anda itu A Man?”
“Berhentilah bertanya masalah A Man,”
“Muse? A Man?” Yusuf kembali berpikir. “Dia mau berlibur? Kemana? Sebentar,” dia membuka buku agendanya dengan cepat lalu menuliskan garis horizontal dan membaginya menjadi beberapa bagian. Yang paling kanan dia menandainya dengan angka 2015, dan yang paling kiri dia menandai 2006. Di tengahnya dia menandai sebagai 2011, Dika kecelakaan dan meninggal.
Agustus, 2006
Dika duduk di belakang perpus sambil menikmati jus yang sudah tidak dingin lagi. Dia baru saja membatalkan puasanya. Perutnya keroncongan dan perih akibat berbuka dengan jus jeruk yang kecut. “Sabar ya nak” sambil dielus-elusnya perutnya yang kelaparan. Dia mempunyai kebiasaan berpuasa sejak ditinggal mati kedua orang tuanya dan 2 kakak kembarnya. Karena sejak dia kehilangan kedua orang tuanya, dia benar-benar harus berpuasa Daud agar gaji kakak perempuannya cukup untuk makan satu bulan. Sedangkan untuk biaya sekolahnya dia bekerja di salah satu bengkel motor milik ayah temannya setiap hari kecuali hari lebaran. Dia sama sekali tidak pernah merasakan membeli baju baru semenjak kedua orang tuanya meninggal. Baju yang dipakainya kadang kekecilan, kadang kebesaran tergantung siapa yang memberinya.
Begitu juga saat dia kuliah, dia hanya bisa makan sekali sehari dan tidak jarang dalam seminggu ada satu hari dia tidak makan sama sekali. Gaji yang dia terima dari pekerjaan di bengkel tidak cukup untuk makan dan membayar buku kuliahnya. Untuk mengurangi besarnya biaya makan yang harus dia penuhi dalam satu bulan, Dika ikut dengan pekerjaan-pekerjaan volunteer tentang lingkungan, bencana, dan kemasyarakatan. Di kegiatan tersebut, biasanya disediakan makan secara gratis, walaupun tidak dibayar. Begitu Dika menyambung hidup selama masa-masa sulitnya.
Matanya mengantuk dengan rambut awut-awutan. Dia mencari mobil dan berkaca dalam spionnya. Rambutnya disisir dengan jari kekanan dan kekiri sesuai dengan yang biasanya. Seorang mahasiswa dengan rompi yang kedodoran dan berjilbab datang menghampirinya dari arah belakang tubuhnya. Dia bisa melihat itu dengan jelas di kaca spion tersebut. “Aku sudah sampai setengah jam yang lalu, dan kamu dengan santainya baru datang?” kata Dika saat memutar tubuhnya.
Sandra tersenyum, sebuah roti bakar dipenuhi dengan meses coklat kesukaan Yusuf keluar dari tasnya. “Aku membuatnya seharian ini, aku tidak jamin rasanya enak tapi aku jamin kalau roti itu lebih higienis dari roti bakar yang ada di pedagang kaki lima.” Katanya dengan senyum terkembang sempurna.
Perut Dika yang kosong selama 24 jam membuat tangan Dika reflek menjamah roti bakar lapis yang baru saja dikeluarkan Sandra dari tasnya. Sandra memukul tangan Dika ketika dia hendak mencicipinya. “Ini untuk Yusuf, bukan untukmu.”
“Kau tahu San, aku belum makan dari kemarin malam dan setega itu kamu memukul tanganku? Hah? Memberi makan orang berpuasa akan mendapat pahala sama dengan orang yang berpuasa, tidak kah kamu tahu itu?”
Sandra tersenyum sebentar, dia memiringkan wajahnya lalu berkata “Aku akan membuatkanmu satu nanti, selepas dari sini. Tapi ini khusus untuk Yusuf, ok? Bersabarlah sedikit.” Roti bakar itu diletakkan di lantai teras belakang perpus. “Dika, kau punya korek? Aku butuh korek api untuk menyalakan lilin.”
“Untuk apa pakai korek? Pakai lilin? Tidakkah itu seperti anak kecil San, sudah begitu saja. Dia harus cukup bersyukur karena kita ingat ulang tahunnya. Tidak usah terlalu berlebihan,” Dika duduk di depan roti itu dan menguap berkali-kali karena kelelahan. “Ngomong-ngomong itu gosong ya?”
“Hish, biarkan saja.” Sekali lagi Sandra memukul tangan jahil itu. “Sekali kamu menyentuhnya aku tidak akan membuatkanmu catatan kuliah lagi,” ancam Sandra. Dika mencibir, perutnya sudah dari tadi minta diisi tapi melihat Sandra yang selalu menepati janjinya dia tidak mau cari gara-gara. Dika tidak bisa membayangkan dirinya yang selama ini tidak punya buku wajib sebagai mahasiswa ekonomi tidak dipinjami catatan lagi oleh Sandra. Pasti nilai D akan keluar akhir semester. “Eh itu siapa? Siapa mereka?” Sandra berdiri setelah mendengar suara orang berjalan kearah mereka. “Apa kita sebaiknya pindah tempat, sepertinya mereka juga ada acara disini.”
“Mereka teman-teman Yusuf dari luar kampus, tidak ada salahnya mereka bergabung disini juga kan?” Dika bertanya. Dia tahu dia melakukan kesalahan ketika salah satu teman Yusuf berkata ingin bergabung di acara itu dan membuat Sandra langsung badmood.
“Tentu saja tidak, semakin ramai akan semakin menarik.” Sandra kembali duduk dengan wajah ditekuk. Dia tiba-tiba menjadi pendiam dan sibuk memunguti permukaan roti yang gosong. Dika meninggalkannya untuk menyambut segerombolan itu. Dari cara Dika berinteraksi dengan mereka Sandra tahu jika mereka sudah kenal dekat. Beberapa detik kemudian Dika mengenalkan Sandra ke mereka, mereka teman-teman Yusuf yang tidak tahu caranya berbusana dengan rapi.
“Sandra ini sangat ngefans dengan Yusuf, apapun yang diminta Yusuf akan selalu diturutinya. Apapun itu,” Dika berkelakar setelah memperkenalkan mereka.
“Wow, bahkan ketika Yusuf minta anakpun kamu bisa mewujudkannya?” salah seorang teman wanita Yusuf berceletuk membuat keadaan beberapa detik hening. “Kau ini apa-apaan si,” yang lain menimpali dengan menyikut perut wanita tersebut.
“Mungkin kecuali itu Nif,” Dika meralat. “Dia begitu mengidolakan Yusuf dan tidak pernah melihatku kalian tahu, dia menyepesialkan Yusuf seperti dewa.”
“Sejak kapan aku seperti itu,” Sandra protes dengan wajah tidak ikhlas. “Aku selalu memperlakukan kalian sama, yah memang ada beberapa hal yang sedikit berbeda.”
“Kamu menyukai Yusuf?” wanita yang tadi berceletuk. Sandra menggeleng dengan tenang. Tatapan wanita tersebut seperti siap ingin menerkamnya jika dia mengangguk atau menjawab iya. “Lalu dibandingkan dengan Dika, siapa yang lebih tampan diantara mereka berdua?”
“Semua orang tahu jika jawabannya Dika,” Sandra hampir saja kehilangan control. “Hanya saja Dika sedikit menyulitkan, jadi aku lebih senang bersama Yusuf. Bukan begitu Dik?” Dika tersenyum tenang.
“Lalu apa kamu juga menyukai Dika?”
“Iya, tentu saja.” Sandra memasang kuda-kuda.
“Sebagai apa?”
“Eh Yusuf sedang ke arah sini, semuanya bersiap-siap ya.” Seru Dika.
Mereka bersembunyi di antara semak-semak tanaman pagar yang ada disana. Suasana gelap membuat keberadaan mereka tidak diketahui oleh Yusuf. Yusuf celingukan, dia ingat betul jika Dika mengajaknya untuk bertemu di jam sekarang dan di belakang perpus. tapi tidak ada seorang pun disini. Hanya ada beberapa mobil bisu yang terparkir disana.
“Dia belum datang? Tidak biasanya dia tidak tepat waktu.” Yusuf duduk ditempat yang diduduki oleh Sandra dan Dika tadi. Dia menunggu dengan sabar sampai saat sebuah telur melayang tepat di wajahnya, setelah itu bergantian dengan tepung dan air. Semua keluar dari persembunyiaannya dan secara langsung menyerang Yusuf dengan telur-telur serta tepung dan air. Semua orang bahagia, kecuali Sandra.
Sandra tidak pernah keluar dari tempat persembunyiannya malam itu. dia diam saja dan memperhatikan apa yang terjadi disana. Yusuf tersenyum, Dika tersenyum, kedua sahabatnya tampak bahagia.
Apa yang terjadi padanya?
Italy, sekarang
Jendela café yang bertempat dipinggir jalan utama kota Roma itu sudah membeku. Tidak ada satupun pengunjung di café itu yang berani duduk di dekat jendela karena terlalu dingin. Mereka memilih di sofa-sofa hangat yang berada di tengah ruangan café tersebut. Salju tebal seperti mengelilingi kafe dengan konsep minimalis tersebut. Ada sebuah pemanas ruangan tradisional yang berada di tengah ruangan dan lorongnya asapnya langsung naik melalui pipa besar berwarna silver. Dapurnya sedikit tersembunyi dibalik dinding hijau yang dihiasi dengan rak-rak buku kecil serta beberapa tanaman penghias.
Dika masuk dengan langkah yang lebar-lebar untuk dapat segera sampai di depan kasir dan memesan minuman. Tangannya dimasukkan kedalam saku jaket kulitnya. Bibirnya hampir mati rasa setelah melarikan diri dari beberapa orang wanita muda yang mengejarnya hanya untuk meminta foto berdua.
“Seperti biasa,” katanya kepada pegawai part time yang sudah sangat dikenalnya dengan baik sejak 2 tahun lalu. “Ah jangan sampai salah memasukan takaran gula lagi,” Dika berpesan. Tidak seberapa lama kemudian pesanannya sudah siap.
“Aku baru tahu jika kamu moslem Sun,” Jully berkata saat menyerahkan kopi tersebut dan menerima uang yang diberikan oleh Sun. “Aku lihat acara live-mu beberapa minggu yang lalu, dan aku mengakui jika kamu handal membuat orang kehabisan kata-kata.”
“Aku anggap itu sebagai pujian ya Jul,” kata Sun sambil tersenyum sekilas dan berpamitan pergi.
Dika berhenti di depan café itu dan mengeluarkan ponselnya. Setelah berhasil menyuruh Jane untuk segera menjemputnya, dia merasakan dingin menyerubut dalam dagingnya. Seperti biasanya, dia akan melompat-lompat kecil dan mengusap-usap telapak kedua tangannya. Tiba-tiba matanya melihat sebuah mobil yang sepertinya mogok di seberang jalan. Seorang lelaki bertubuh tidak muda lagi mencoba menebak apa yang salah seperti orang buta. Kakinya langsung mencari tempat menyeberang jalan untuk membantu mobil tersebut.
“Hi, mobilmu kenapa?” tanya Sun tanpa sungkan. Pria paruh baya itu mendongakkan kepala lalu menjelaskan dengan bahasa Italy dengan logat yang sangat kental. Sun menggeleng, telinganya mencoba menangkap satu per satu kata yang pria tersebut katakan tapi tetap saja tidak bisa. “Can you speak English?” tanyanya dengan sopan tapi tanpa sungkan. Pria itu kemudian mengubah bahasanya dengan mudah seperti mempunyai tombol bilingual dalam tubuhnya yang jika dipencet dengan cepat akan mengeluarkan audio dua bahasa.
Tidak berapa lama, mobil tersebut bisa diperbaiki oleh Sun dengan mudah. Sun sudah sangat akrab dengan hal-hal yang berbau mobil. Terjadi penyumbatan disalah satu kabelnya yang menyebabkan bensin tidak bisa masuk dengan lancar sesuai dengan yang seharusnya. Sun merasakan tangan yang sangat dingin ketika menjabat tangan pria itu. “Oh kamu Sun Wandari ya?” katanya dengan bahagia setelah benar-benar mampu mengamati wajah Sun dengan baik. Matanya berseri-seri seperti seorang penambang tua yang tiba-tiba saja menemukan batu emas digundukan pasir yang ada didepannya.“Kamu lebih tampan dari yang aku duga,” katanya dengan bahagia. Tampaknya pria paruh baya tersebut mengenal dirinya dengan sangat baik.
“Apa yang bisa dibanggakan oleh kulit yang bagus semasa muda paman? Dibandingkan dengan hati yang tetap saja tulus bahkan ketika sudah tua,” Sun tersenyum sopan.
“Kalau begitu bisakah aku foto denganmu, atau jika kamu keberatan aku hanya akan memfotomu. Sahabatku akan sangat senang ketika dia tahu aku bertemu dengan Sun Wandari yang dia idolakan.”
“Oh tentu saja, aku hanya tidak mau berfoto dengan wanita dan paman bukan wanita.” Sun meraih pundak paman itu dan tersenyum lebar di depan kamera. “Hasilnya baguskan?”
“Tentu saja, ah sahabatku pasti senang sekali.”
Sahabat? Sun terhenyak. Sudah lama sekali dia tidak mendengar kata itu. “Paman punya sahabat?”
“Iya, tentu saja. Semua orang di dunia ini mampu menghadapi kejamnya dunia karena ada sahabat. Aku sudah bersahabat dengan dia sudah lama, sekitar 20 tahunan. Kami tertawa, kami tersenyum, kami bertengkar dan kami berbaikan. Tapi sayangnya dia sekarang sedang berbaring dan tidak bisa apa-apa di pembaringannya.”