Dika sudah mendaftarkan Rose ke salah satu sekolah SD terbaik di kota Jakarta. Dia membeli apartemen yang bisa dibilang cukup mewah kali ini hanya untuk Rose. Dia bahkan menyempatkan diri untuk berbelanja baju dan keperluan pribadi Rose bersama. Dia memberikan yang terbaik untuk Rose dan untuk pendidikannya.
Apartemen mewah itu terletak di Jakarta pusat dengan pemandangan sunrise dan sunset yang sempurna. Memiliki teras di sisi timur dan barat. Ada tiga kamar, untuk Dika, untuk Rose dan yang lainnya digunakan sebagai ruang serba guna. Ada juga dapur yang sudah dipenuhi dengan perlengkapan yang mereka beli tadi. Selain itu dia juga memelihara kucing, seekor kucing local dengan bulu emasnya dan dinamai sebagai Hany. Hany mempunyai wilayah teritori dari kamarnya Rose sampai ruang teve, selebihnya tidak boleh.
Hari pertama Rose sudah siap sebelum setengah tujuh. Dia keluar dari kamarnya setelah selesai membersihkan kotoran Hany. “Kak, masak apa?” teriaknya kencang ketika berlari ke dapur sambil menenteng tas bunga matahari yang dibelinya bersama Dika. Dika tidak menjawab dan hanya mengacungkan teflon untuk membiarkan Rose melihat sendiri. “Nasi goreng, telur dadar dan segelas susu. Ok tidak terlalu buruk untuk sarapan di hari pertama masuk sekolah,” gumamnya sambil meraih kursi dan duduk dengan tenang. “Aku boleh makan apel ini?”
“Kamu bisa memakan apapun di rumah ini, kamu bahkan aku memperbolehkanmu makan lemari jika kamu mau.” Dika fokus dengan telur dadar.
“Ah, aku sebenarnya tidak suka dengan apel. Aku lebih suka pisang, buah surga.”
“Kamu bisa makan apapun Rose, jangan pilih-pilih.” Kata Dika.
“Baiklah, lain kali jika aku mau aku akan makan lemari.” Rose mengambil pisau dengan sedikit mencibir ke arah Dika yang sedang menggoreng telur dadar. “Butuh berapa jam lagi kak? Jika tidak bisa aku makan sekarang aku bisa minum susu dan roti saja.”
“Sebentar lagi, 5 menit lagi.” Dika tampak terburu-buru sambil sesekali melihat jam dinding. “Ini pertama kalinya aku masak dalam 7 tahun ini, jadi jangan banyak komentar dan makan saja”
“Kak, kau tahu aku tidak berharap banyak agar masakanmu enak. Cukup dengan matang saja,” celoteh Rose sambil duduk kembali sambil tertawa. “Kak, bagaimana nanti jika aku ditanyai siapa nama ayah dan ibuku?” Dika langsung mematikan kompornya dan menaruh dua telur tersebut pada dua piring kecil. “Ini hanya pertanyaan bagaimana, jika nanti ada yang tanya”
“Katakan aku adalah ayahmu, begitu saja kog repot.” Dika melepas tali celemek lalu dengan satu gerakan menggantungkan celemek itu ketempatnya.
“Lalu ibuku?”
“Ibumu ya? Makanlah itu sebelum membicarakan masalah ibumu, sebentar lagi kamu harus berangkat.” Perintah Dika menutup semua pertanyaan dari Rose.
Setelah sedikit pertikaian mengatasanamakan ibu, mereka berdua akur dengan sarapan masing-masing.
“Rose, kamu harus menghubungiku kalau ada apa-apa jika tidak mau terjadi apa-apa.” Ancam Dika ketika Rose masuk ke pintu gerbang sekolahnya. Rose berhenti dan berbalik langkah kembali ke Dika.
“Sepertinya aku yang harus berkata seperti itu untukmu kak, kamu baru beberapa minggu kan disini? Sebaiknya kamu yang hati-hati dan kalau tidak mau terjadi apa-apa jika ada apa-apa hubungi segera aku.” Rose tertawa riang melihat perubahan wajah Dika yang cepat, lalu masuk dan melambaikan tangan di belakang pintu gerbang sekolah dan menghilang.
Dika sadar kenapa sifat Rose seperti itu, karena dia adalah anak kakaknya. Mau bagaimana lagi jika keluarga itu pasti mempunyai sifat yang hampir sama. Dika keras kepala, Rose juga. Buah tidak jatuh jauh dari pohonnya, mungkin pepatah itu benar.
Setelah keluar dari komplek sekolah tersebut Dika langsung meluncurkan mobilnya ke arah kemayoran. Dia ingat jika dia ingin mempunyai kegiatan selain menjadi ayah yang terbaik untuk Rose. Dia ingin menjalankan bisnis. Hanya bisnis, katanya dalam hati. dan tidak akan sebesar bisnis mister Smith. Ngomong-ngomong soal mister Smith, Dika belum pernah menghubunginya setelah acara waktu itu.
“Hai, mister Smith? You miss me right?” kelakarnya dengan tertawa lebar ketika sudah sampai di salah satu restoran bintang empat yang ada di daerah kemayoran. “Aku di Indonesia sekarang, jika kamu tidak suka aku bisa kembali ke Italy tanpa membuahkan satu lukisanpun dari sini.”
“Kau gila?” yang disana hampir berteriak marah. “Aku lebih rela kamu menjadi mumi disana dan menghasilkan lukisan bagus-bagus daripada kau harus kembali dan menghabiskan uangku untuk makanmu saja.”
“Nah itu sebabnya aku disini saja kan,” Dika tersenyum puas. Dia tahu benar bagaimana caranya menghadapi mister Smith dengan segala keras kepalanya. “Aku menelponmu hanya untuk mengabarimu ini, jadi jangan cari aku selama tiga bulan ini.”
“Baiklah, asalkan kamu membuat lukisan-lukisan desa seperti sebelum-sebelumnya. Oh, ini ada Jane. Dia sedang bersamaku sekarang, rasanya tanpa kamu dia tidak ada yang melindungi.”
“Jane, ah aku sudah lupa jika mempunyai sekretaris bernama Jane. Mister Smith, bisakah kamu berikan telpon ini padanya, aku ingin bertanya sesuatu padanya.” Dika mendengar mister Smith kembali memanggil Jane dengan sebutan pelacur. “Hai Jane, apa kamu merindukanku?”
“Tentu saja,” suara Jane sedikit parau.
“Kamu menangis atau sakit?” Dika langsung bertanya, Jane masih saja diam. “Kau diapakan oleh mister Smith?”
“Dia memanggilku pelacur lagi, aku benci dipanggil seperti itu.”
“Anggap saja pelacur itu berkonotasi baik, tidak ada salahnya sakit hati.” Dika berucap. Pesanan kopi amerikanonya sudah datang. “Galeriku, baikkan? Semuanya berjalan baik?”
“Tentu saja, bagaimana bisa tidak baik jika kamu memilih tim 7 yang beranggotakan orang-orang gila seperti itu. Aku baru menyadari Sun jika dibalik satu orang gila pasti ada orang gila yang lebih hebat lagi dibelakangnya.”
Dika tertawa, “Sudah aku tutup, mendengar galeriku baik dan kamu baik-baik saja aku sudah cukup senang. ok, See you.”
Tidak berapa lama setelah dia menutup telpon, seorang muncul dari pintu masuk. Pria maskulin dengan setelan jas warna abu-abu serta kemeja warna senada. Dia tampak seperti pebisnis biasanya, pakaian rapi, wangi dan punya tatapan mata yang bagus.
“Sun Wandari?” katanya setelah bertanya kepada pelayan. Dika sengaja memilih tempat duduk di samping jendela agar bisa melihat siapa saja yang masuk dan menganalisisnya, agar dia tidak bisa dianalisis terlebih dahulu. Sun mengangguk dan mempersilahkan orang itu duduk. Dari cara dia duduk Dika tahu jika orang di depannya ini sangat berhati-hati dan teliti. Aku mendapatkan partner gila lagi, gumamnya dalam batin sambil tersenyum.
“Untuk orang yang baru saja datang ke Indonesia, anda termasuk yang mempunyai pelafalan bahasa Indonesia dengan sangat baik. Eduard Samanna,” katanya dengan begitu baik. Sun dengan baik juga menerima uluran tangan tersebut. “Sun, kenapa anda begitu tertarik dengan restoranku?”
“Dan kenapa anda ingin menjualnya?” Sun berbalik tanya.
“Ehmmmm,, aku sedang butuh uang.” Katanya singkat.
“Ya begitulah, karena aku banyak uang dan anda sedang butuh uang. Itu alasan yang tepat kan,” Sun tersenyum. “Aku akan membeli tempat itu, tapi dengan satu syarat. Anda tetap menjadi koki disana, aku dengar kehebatan koki Samanna sudah tersebar dalam beberapa benua. Jadi aku tidak mau melepaskan ikan paus dan hanya mendapatkan ikan tenggiri. Jika tidak, ya mungkin anda bisa cari yang lain.” Samanna terdiam, dia tidak menyangka jika Sun benar sekali seperti apa yang dikatakan oleh media. Sun begitu sempurna dalam negosiasi. “Tentu saja aku menggaji anda,”
“Sampai kapan aku harus bekerja untukmu?”
“Sampai aku menemukan ikan paus yang lain, bagaimana?”
“Ok, baik.”
“Sebelum itu, bisakah aku tanya kepadamu dua hal?” Samanna terdiam, dia begitu keras berpikir dan berandai-andai apa yang akan ditanyakan oleh Sun. “Kamu kenal Yusuf Imani bukan? Dimana dia sekarang?”
Samanna yang mempunyai mata sipit itu menyipit. Yusuf Imani? “Iya aku kenal dia, terakhir dia datang ke acara reuni angkatan lima tahun lalu. Katanya dia jadi eksportir, tapi aku tidak tahu dia spesialisasi kemana. Hanya itu saja.”
“Oh begitukah, syukurlah kalau begitu. Aku harap kita bisa menjadi partner yang baik, oh satu lagi. Aku akan membiayaimu untuk mengembangkan bakatmu, jadi aku harap aku tidak menemukan paus lainnya tapi aku merawat paus itu sendiri. kamu mengerti kan?” Samanna mengangguk. Dalam hati dia sudah geram bukan main, “Baiklah, kamu bisa mulai kerja hari ini kan?”
Dia mengepalkan tangan erat. Berdiri tapi tidak mengatakan apa-apa, “Jika kamu bertanya Yusuf Imani kamu tentu juga mengenal Chandrika Olivia kan? Untuk informasi tambahan dia sedang melakukan kampanye saat ini, aku yakin jika kamu mendukungnya dia akan menang dalam pemilu kali ini.”
“Kamu menjual restoranmu untuk membiayai Sandra agar jadi gubernur?” Dika langsung bisa membaca gerak-gerik Samanna. “Kamu masih menyukainya Sam?” tatapan mata tajam Samanna langsung berteriak. Dia tidak tahu kenapa ada orang bisa memperlakukannya seperti ini. “Apa dia masih suka menolak pria-pria yang mendekatinya? Dia akan mendapatkan masalah diumurnya yang sekarang Sam, sebaiknya kamu cepat-cepat meyakinkan dia dan menikahinya.”
Samanna kembali duduk. Dia menatap Dika erat-erat seperti ingin tahu apa yang ada di pikirannya. Yusuf Imani? Dia memanggil Chandrika Olivia dengan nama Sandra? Bagaimana bisa? “Kamu tidak ingat aku Sam?” Dika bertanya secara halus sekali. “Aku dulu pernah berkali-kali berkelahi denganmu, kau tidak ingat? Bahkan kita pernah satu sel berdua, kau tidak ingat?” Dika bertanya.
“Dika? Priandika Natifa?” bibirnya bergetar ketika menyebut nama itu. “Bukankah kamu sudah mati? Tenggelam akibat fery yang kamu tumpangi bocor ditengah lautan,”
“Iya, benar. Tapi aku selamat dan bisa melanjutkan hidup. Aku memang sudah mati menurut orang Indonesia, tapi untuk yang percaya aku masih hidup aku akan terus hidup.” Dika tersenyum senang. “Oh ya, bukan berarti hanya karena masa lalu kita tidak bisa professional. Aku harap seperti apapun masa lalu yang ada diantara kita, tidak mempengaruhi kinerja kita sekarang.”
Surabaya, 2007
Eduard Samanna, siapa orang Surabaya yang tidak kenal dengan namanya. Dia adalah salah satu anak rector di satu-satunya kampus Surabaya yang paling terkenal namanya. Rector itu memiliki empat orang anak. Tiga dari empat anaknya mengabdi menjadi tentara dan polisi sedangkan yang paling kecil adalah yang paling bandel. Dia bersikeras tidak mau dimasukkan ke dalam akademi militer manapun dan dia hanya ingin masuk kuliah di kampus yang dipimpin ayahnya. Iya, itulah Eduard Samanna.
Selain dikenal sebagai anak rector dia juga dikenal sebagai ketua senat. Jabatan ketua senat kadang membuatnya sedikit lupa daratan. Tapi yang menjadikannya lebih dikenal lagi adalah kisah cintanya yang dramatis. Dia tidak pernah dikabarkan jika dia menyukai atau dekat dengan mahasiswi lainnya karena dia tipe-tipe yang tidak bisa merayu. Tapi keadaan berubah ketika dia bertemu dengan Sandra, seorang mahasiswi dari desa yang jauh dan mempunyai kecantikan yang alami. Sejak saat itu dia melupakan amanat organisasi dan kedudukannya sebagai anak rector. Setiap kali dia melihat Sandra dia selalu mendekatinya layaknya kucing tahu ikan berkeliaran di depannya.
Menurut Dika, Sam terlalu berlebihan menyikapi cinta pertamanya. Semua orang punya cinta pertamanya bukan dan tidak hanya dia saja yang mempunyai cinta pertama. Sam berubah dari Sam yang punya kharisma mematikan menjadi Sam yang melankolis dan bodoh. Tidak jarang ketika kamu memutar radio pada saat itu pasti akan berterbangan salam dan puisi yang dikirim oleh Sam untuk Sandra.
Menghadapi tingkah Sam, Sandra hanya diam saja. Dia mematung, tidak berkata iya dan tidak berkata tidak. tapi semua orang tahu jika Sandra sama sekali tidak tertarik dengan Sam dan dengan kehidupannya Sam. Sandra tidak pernah tertarik untuk hidup sebagai high class society dalam masyarakat, tidak pernah sekalipun.
Pernah suatu kali, ada kemah bersama yang diadakan oleh senat untuk mengakrabkan sesama mahasiswa. Sebenarnya Dika dan Sandra tidak pernah tertarik dengan hal yang begitu, tapi karena Yusuf berhasil diracuni oleh Sam untuk mengajak Sandra, jadilah mereka berdua datang.
Keadaan gelap, mereka di salah satu bumi perkemahan yang ada di Malang.
“Dik, kau bilang kau tidak akan datang. Bagaimana si dirimu ini?” Sandra memprotes.
“Kau tahu kan si Ucup dekat sekali dengan fansmu itu.”
“Kalau tahu begini aku tidak akan berkata pada Yusuf kalau aku akan datang jika kamu juga datang, hash. Aku kira…” Sandra nampak kecewa.
“Yah maaf San, aku tidak enak dengan Yusuf. Aku juga sedikit takut jika Sam berada di sekelilingmu, apalagi sekarang keadaannya mendukung. Gelap, dingin dan sangat jarang orang. Jika nanti kamu ada apa-apa, kamu cukup teriak saja.”
“Kenapa kamu jadi paranoid seperti itu Dik? Kau kesurupan ya?”
“Sudahlah kali ini dengarkan aku, aku tidak berharap sama sekali kepada Yusuf. Kau tahu kan San, Yusuf itu lemah jika dihadapkan dengan birokrasi.”