Andreea's POV
Cuit Cuit Cuit. Kicauan burung sukses membuat kelopak mataku terbuka. Kulihat jendela kamarku sudah terbuka lebar dan udara segar sehabis hujan menyeruak masuk ke dalam hidungku. Haaaa aku sangat suka bau udara sehabis hujan, mereka seperti membawaku untuk kembali memejamkan mata dan terbang kembali ke alam mimpi.
“DREEEEEEE!!!!!”
“Jangan memanggilnya seperti itu!!”
Ah, mereka mulai lagi. Kakak keduaku sangat suka memanggilku dengan nama Dree, dia menganggapku adik laki-lakinya. Dan kakak pertamaku tidak terima aku dipanggil begitu. Dan mereka akan selalu berdebat hanya karna nama panggilanku.
“Heloooowww… apa mata adik gagahku ini masih bisa terbuka?” Tanya Kak Si melompat ketempat tidurku.
“Ugh.. kak Si, kau berat.” Ucapku lirih. “Menyingkir kau gendut! Jangan usik adikku!” Seru kak Kri sambil mendorong tubuh kak Si.
“Hei! Dia itu adikku” balasnya dan akhirnya mereka berdebat. Lagi.
Kenapa kalian harus berdebat? Ayolah, aku adik kandung kalian berdua.
“Kalian berdua, cukup!” terdengar suara ibu yang dingin dan disusul suara tawa ayah dari belakang ibu.
“Hahahaha.. Mereka hanya bersemangat, sayangku. Mereka berdua akan kembali ke Kerajaan Api dan menjalankan tugas sebagai pejuang. Dan oh! Tentu saja pasti mereka bersedih juga karena um,.. harus berpisah dengan adik mereka. Lagi.” Dari tertawa ucapan ayah terdengar meragu karena tidak enak denganku.
“Tenanglah! Kami akan pulang di hari libur berikutnya dan akan membawakanmu oleh-oleh, ya?” suara kalem kak Kri berusaha menghiburku.
“Ya! Ya! Kami tidak akan lupa dengan kalian semua. Kami akan selalu berkunjung saat hari libur. Kami akan bekerja keras, mendapat banyak Lei (mata uang yang berlaku pada saat itu. 1 Lei = Rp 5.000), dan membawakan makanan yang banyakkkk untukmu Dree.” Ucapnya dengan penuh semangat dan ingin memberi kepastian padaku kalau mereka tidak akan melupakan aku.
Padahal bukan itu yang menjadi alasan aku sedih. Yah, sebenarnya itu juga merupakan salah satu alasan kesedihanku.
“Baiklah portal kalian sebentar lagi akan terbuka. Kalian harus bersiap. Rea apa kamu mau ikut mengantar kakak-kakakmu?” Tanya ibu padaku. “Mau, bu.”
Kedua kakakku membantuku turun dan ayah berniat mengendongku tapi aku menolak. Aku ingin berjalan sendiri. Kami bersama berjalan keluar rumah. Rumah kami berada ditengah-tengah desa. Itu karena ayah merupakan Archigós (Kepala Suku) di desa ini. Beliau yang memimpin pembangunan desa ini dibantu orang-orang yang bernasib seperti dirinya.
Sesampainya di luar rumah, seorang laki-laki berumur 20-an tahun dengan bakat portal sudah menunggu, Sin Talenta, orang yang sama yang merekrut kedua kakakku setahun yang lalu, warga asli Kerajaan Api. Dari desa ini, hanya kakak-kakakulah yang direkrut menjadi pejuang untuk Kerajaan Api diusia mereka yang masih sangat muda. Bisa dibilang pengendalian api mereka sudah hampir setara dengan pengendali berusia 20-an tahun. Tentu saja karena sparing dan latihan yang diberikan ayah sebagai sesama pengendali api dan taktik menyerang ibu meskipun ibu pengendali air. Keduanya merupakan kombinasi yang sangat sempurna.