Andreea's POV
Dimana?
Aku membuka mataku dan mengerjap-ngerjapkannya lalu melihat ke sekeliling. Tubuhku terasa lemah sekali seperti rohku terhisap keluar. Dimana ayah?
"A..yah.."
"Tuan putri? Anda sudah sadar?"
Terdengar suara seseorang dan orang itu memegang tangan kananku.
"Syukurlah.. syukurlah..."
Orang itu sepertinya menangis. Tanganku basah. Kenapa dia menangis? Aku juga seperti pernah mendengar suara ini. Siapa ya?
"Mer..lin? Apa itu kau?" tanyaku asal menebak.
"Iya tuan putri. Ini saya."
Baguslah. Aku sempat khawatir karena tidak melihatnya semenjak aku dibawa keruanganku.
"Reea!"
"Dree!"
Kudengar suara kak Kri dan kak Si yang memanggilku bersamaan.
"Syukurlah kamu sudah sadar. Kami sangat khawatir padamu," peluk kak Kri hangat.
"Kau sudah tertidur selama satu bulan, Dree! Kami benar-benar sangat khawatir," tambah kak Si lagi ikut memelukku.
"Kau keren sekali!! Aku sangat bangga padamu," ucap kak Si mempererat pelukannya membuat kak Kri harus mengalah melepasku agar kak Si puas memelukku.
"Terima kasih karena sudah bertelepati pada kami kalau adik kami sudah sadar," ucap kak Kri pada Merlin yang dijawab hanya dengan anggukan olehnya.
"Dimana ayah?" tanyaku karena tidak melihat ayah diruangan ini.
"Ayah masih ditahan, Reea," jawab kak Kri, "saat ini ayah masih dipenjara tempat kita bercerita kemarin."
"Aku mau bertemu ayah," ujarku mencoba bangun dari tempat tidur, tetapi tidak bisa.
Aku merasa badanku sangatlah berat.
"Tuan putri, tolong jangan memaksakan dirimu. Kau baru saja terbangun dari tidur panjangmu. Tubuhmu masih belum siap bergerak terlalu banyak," terang Merlin padaku.
"Ya.. Bagaimana kalau kau makan yang banyak terlebih dahulu?" tanya kak Si membawakan makanan entah dari mana.
"Makanlah, Reea," ujar kak Kri membantuku duduk.
Akupun mulai makan. Entah sudah berapa banyak makanan yang diberikan padaku, tetapi aku masih belum kenyang juga. Seketika aku teringat ucapan KyuBi kalau nafsu makanku akan sangat besar kalau aku memakai Luna Alaka'i terlalu lama.
Jadi rindu Desa Siluman Rubah, batinku dalam hati.
Aku benar-benar sangat merindukan ayah. Aku sudah melihat kak Kri dan kak Si dan mereka baik-baik saja. Jadi aku harus memastikan bahwa ayah juga baik-baik saja. Karena itu aku makan semua makanan yang dikirim ke ruanganku.
***
Besoknya..
"Merlin! Aku sudah bisa bergerak!" teriakku pada Merlin sambil menggerakkan kedua tanganku.
"Baguslah tuan putri, kalau Anda makan lebih banyak lagi, maka Anda dapat dengan segera bertemu dengan ayah Anda," jelasnya membuatku bersemangat.
Akupun semakin berapi-api. Selama masa pemulihan Merlin yang menjagaku dua puluh empat jam karena kak Kri dan kak Si harus menjalankan tugas. Merlin bercerita, masih sangat banyak bangkai Orc yang telah kubunuh berserak di depan tembok Tenggara kerajaan. Jadi harus dibersihkan.
Begitu pula dengan banyaknya pesan dari kerajaan lain dan pesan dari makhluk lain yang berdatangan ke Kerajaan Api terkait pembunuhan Orc yang hanya dilakukan oleh satu orang. Mereka ingin memastikan hal itu. Bahkan tak sedikit yang menyatakan perang kepada Kerajaan Api karena peristiwa pembunuhan yang kulakukan.
Kabar mengenai adanya pemilik Luna Alaka'i pun tersebar ke seluruh penjuru. Mereka protes karena merasa tidak adil kalau pemilik Luna Alaka'i diam dalam satu kerajaan sementara seharusnya pemilik Luna Alaka'i membawa keseimbangan di dunia. Kerajaan sangatlah kacau saat ini.
"Hei penyihir! Cabut mantramu dari wajah adikku!" perintah kak Si pada Merlin saat mereka sudah menyelesaikan tugas mereka untuk hari ini.
"Kenapa?"
"Karena adikku itu sangat mirip dengan ibuku! Kalau kau memantrai wajahnya seperti ini, aku jadi tidak bisa lihat kecantikannya!" teriak kak Si meninggikan suaranya.
"Siera, tolong jangan berteriak. Bisa-bisa suaramu memperburuk keadaan Reea," nasehat kak Kri.
"Huh!"
Aku hanya bisa tersenyum melihat kak Si yang memajukan bibirnya seperti anak kecil.
"Krissameri Talenta! Siera Talenta! Para pejuang dipanggil ke menara penjaga di sisi utara kerajaan. Harap segera menghadap!" teriak suara dari luar ruanganku.
"Aduuhh.. ada apa lagi sih!?" gerutu kak Si mendengar perintah tersebut.
"Kita harus pergi. Kami pergi dulu, Reea. Kami akan mengunjungimu lagi di lain kesempatan," ucap kak Kri mengecup dahiku singkat.
"Dah, Dree!" ucap kak Si melambai padaku.
"Kau! Jangan macam-macam!" serunya menunjuk Merlin.
Akupun membalas lambaian tangan kak Si. Melihat mereka yang sudah keluar dari ruanganku dan menutup pintu, ternyata aku baru sadar kalau tempat tidurku saat ini sangatlah empuk.
Aku bahkan terlambat menyadari ternyata ada balkon di sisi kananku yang dibatasi oleh pintu kaca besar. Pada waktu malam hari, pintu kaca itu ditutup oleh tirai berwarna merah berudu yang terlihat sangat lembut apabila disentuh. Disebelah kiri pintu menuju balkon itu terdapat meja kecil dengan sofa yang muat untuk dua orang yang juga berwana merah berudu.
Kamar ini hanya memiliki dua warna utama, yaitu warna merah dan warna krem. Warna merah yang terkesan mewah dan tentu saja berudu juga menjadi warna dasar dari kelambu tempat tidurku yang di hiasi untaian benang berwarna emas. Di sisi sebelah kiri tempat tidurku terdapat kamar mandi yang sangat luas juga. Hampir setengah dari ukuran ruangan ini. Di kedua sisi tempat tidurku juga terdapat nakas dan di nakas sebelah kanan terdapat lampu tidur.
Aku baru sadar sekarang kemewahan ruangan ini. Soalnya sebelumnya aku terlalu banyak berpikir. Sekarang aku punya waktu untuk memperhatikan sekelilingku dengan seksama.
Selama masa pemulihanku, Merlin memberikan buku padaku untuk kubaca. Dia bilang aku tidak tahu apa-apa karena tidak pernah membaca. Dia juga bilang kalau buku adalah jendela dunia karena itu akupun jadi tertarik untuk membaca.
Sudah seminggu berlalu, aku sudah bisa berjalan, tetapi bakatku belum bisa kukeluarkan sepenuhnya. Aku tidak bisa membuat sayap. Sewaktu mencoba mengumpulkannya di punggungku, tubuhku tidak tahan dan aku langsung terjatuh. Karena itu Merlin melarangku pergi untuk menyelamatkan ibu sebelum kondisiku pulih total.
"Haaahhhh.. Lama sekali..." desahku bosan.
Padahal punya Luna Alaka'i apa aku tidak bisa pulih dengan kekuatannya? batinku berharap.
"Itu dia! Aku bisa bertanya pada Barack. Dia juga pasti pernah mengalami hal ini," cetusku teringat percakapan kami.
Akupun mengambil posisi dan melipat kakiku dan meletakkan tanganku di atas kedua lututku. Aku mengatur pernapasanku.
Barack? Apa kau bisa mendengarku?
Tidak ada jawaban.
Apa cara ini tidak berhasil?
Barack! Barack! Barack!
Aku mencoba memanggil lebih keras.
"Andreea? Suaramu keras sekali,"
Ah! Itu dia!
"Barack dimana kau?"
"Aku di siniaaaaaaaaaaa... A- apa yang terjadi dengan wajahmu??" tanyanya menutup mulutnya dengan kedua tangannya karena terkejut melihat wajahku.
"Ceritanya panjang. Aku ingin bertanya padamu," jawabku terburu-buru.
"Tidak! Tunggu dulu. Aku senang kau memanggilku, tetapi aku muncul bukan untuk melihat wajahmu yang begini."
TING
Barack menyentuh wajahku dan dia tersenyum senang.
"Kau cantik sekali," ucapnya mengelus wajahku.