“Sudahlah, Ma! Papa itu sudah tidak memperdulikan kita lagi. Dia lebih memilih wanita murahan kan daripada Mama. Kenapa Mama masih mengingat papa? Mama tau kan aku akan membenci papa. Papa yang membuat masa kecilku selalu mendapat penghinaan.” Emosi seorang pemuda yang tampak tak bisa dibendung. Ada Dayat yang berusaha menenangkan pemuda itu yang dikuasai amarah.
“Faris, kumohon jangan seperti ini! kendalikan amarahmu!” Sebuah bisikan dari Dayat diberikan untuk pemuda disampingnya. Emosinya yang begitu labil. Terutama, ketika diingatkan tentang papanya.
“Sebenci itu kah kau sama papamu?” Khadijah melemparkan pertanyaan
“Mama, kenapa Mama masih tanya? Sudah terlihat kan aku sangat benci Papa. Dia itu gak bertanggung jawab orangnya. Kalo papa memang bertanggung jawab, dia tak akan membuat kita seperti ini.” Pemuda itu masih tampak emosi.
“Jangan pernah sebut papa! Aku gak akan pernah menerima papa kembali.” Pemuda itu tak bisa membendung tangisnya.
“Sudah, Faris ya. Jangan terbawa emosi lagi! Tolong tenangkan diri dulu ya!” Dayat tak henti-hentinya menenangkan Faris yang masih dikuasai emosi.
Dia terdiam dan hanya menangis. Ingatan itu membuat rasa sakitnya kembali hadir.
“Faris, genggam piagam ini! Piagam ini adalah milikmu. Piagam ini kebanggaan bagimu.” Khadijah tersenyum. Pemuda itu menatap Khadijah yang selalu tersenyum dan hadir dalam kehidupannya.
“Hari ini hari istimewa untukmu. Maafkan Mama sudah membuatmu marah!” Dia hanya mengangguk.
“Jangan pernah ingat papa lagi! Papa sudah mati belasan tahun yang lalu.” Khadijah merasa sedih. Putranya benar-benar telah menghapus papanya dalam dirinya. Nama papanya telah hilang selamanya.
“Sudah ya, jangan ribut lagi! Ayo kita foto! Kapan lagi bisa foto bareng-bareng.” Aldi mengajak mereka menuju spot foto yang telah disediakan.
Khadijah terus khawatir tentang semua dendam dalam diri putranya. Anaknya sudah begitu membenci papanya. Dia teringat semua kenangan masa-masa itu.
‘Faris, semoga kau bisa ikhlas dengan semua yang terjadi pada kehidupan kita.’ Khadijah menatap putranya yang sedang berbicara dengan teman-temannya.
Dialah Faris, seorang pemuda yang bertalenta dan prestasi. Baru saja Faris mendapatkan sebuah penghargaan dari gubernur. Membawa nama harum tanah kelahirannya di tingkat internasional. Penghargaan yang kesekian kalinya diterima olehnya.
Dibalik semua prestasi yang dia torehkan kali ini, ada sebuah kisah yang menyedihkan dalam masa lalunya. Kedua orang tuanya bercerai gara-gara seorang pelakor yang begitu tega membuat sang papa menelantarkan mereka begitu saja.
Tumbuh tanpa kehadiran seorang Ayah dan penuh dengan hinaan membuatnya menjadi sosok tangguh dan peduli pada sesama. Dibalik sosoknya yang begitu kuat, dia menyimpan sakit hati. Emosi yang seringkali tak terbendung membuat Khadijah membutuhkan stok sabar yang luar biasa dalam menghadapi sang putra.
“Faris, kita pulang yuk!” Khadijah dengan senyuman hangat mengajaknya pulang. Sebuah mobil sudah menunggu mereka. Mobil itu milik Pak Aris, seorang pengusaha dan pemilik toko kain dan baju yang cukup besar.
Selama perjalanan, Faris hanya diam. Tak ada sepatah kata yang terucap. Dia menatap piagam yang baru saja diterima.
“Faris, selamat ya, Nak.” Khadijah tersenyum dengan hangat pada anaknya.
“Terima kasih, Ma.” Faris mencium tangan Khadijah yang tampak berkaca-kaca.
Mereka akhirnya sampai dirumah sederhana. Baru 2 bulan mereka menempatinya. Mereka membelinya dari uang hasil Khadijah bekerja dan hadiah yang Faris terima.