Langit sore menyapa. Faris sendiri yang baru menunaikan sholat ashar merenung di halaman masjid. Khadijah yang ingin bertemu Hifni langsung menghampiri Faris yang tengah terdiam.
Khadijah sendiri langsung mendekat dan menanyakan apa yang sedang Faris lakukan. Faris sendiri kali ini tak ingin menjawab. Dia menatap anak kecil yang sedang asik bermain.
“Aku sejak masuk SD tak pernah merasakan hangatnya papa. Dia sudah pergi dengan wanita sialan itu. Dia gak pernah tau aku sering dibully hanya karena gak punya papa.” Faris sendiri langsung menangis. Dia begitu sakit mengingat hal itu. Khadijah mendapat cerita dari salah seorang teman Faris jika menghindar dari kejaran seorang lelaki. Dia yakin itu adalah mantan suaminya.
“Kau bertemu papa semalam?”
“Bagiku, papa sudah mati. Dia sudah mati delapan belas tahun yang lalu. Dia juga sudah menguburku hidup-hidup.” Khadijah sendiri terdiam. Dia meminta Faris untuk segera pulang. sudah ada teman-temannya yang menunggunya.
Khadijah menatap sang putra yang telah menjauh. Dia menatap Hifni yang sedang bersama sang istri. Khadijah akhirnya mendekat dan membicarakan apa yang menjadi kekhawatirannya dalam hati.
“Saya minta tolong. Bapak sudah melihat sendiri.” Hifni mengangguk. Dia menatap sang istri dan meminta untuk merencanakan agar Faris dan Amin bertemu.
“Dia kurang sosok seorang ayah. Semoga Amin bisa menjadi kakak yang baik untuk putra mbak Khadijah.” Alishba hanya mengangguk.
“Aku bisa bertemu dan berbicara dengan Faris? Kira-kira kapan ya?” Khadijah terdiam beberapa saat.
“Faris biasanya kalo pagi ngajar di tempat penampungan orang yang kurang beruntung. Setelah itu biasanya dia latihan atau ngelatih dance.” Alishba hanya mengangguk. Dia berencana ingin mampir ke tempat Faris mengajar.
Khadijah menunjukkan sebuiah video tentang kegiatan panti itu. Terlihat Faris begitu bersemangat menyampaikan narasi untuk orang-orang yang mereka bina.
“Hai, kembali lagi bersama saya, Muhammad Faris Audah. Seperti biasa, saya kali ini sedang bersama beberapa orang yang sedang menjalani pembinaan dari Dinas Sosial. Mereka adalah golongan gepeng, bahkan pekerja prostitusi, mulai dari mucikari hingga PSK.” Faris tersenyum dan video beralih pada beberapa orang wanita yang sedang mengerjakan sesuatu.
“Banyak diantara kita yang justru memandang sebelah mata mereka. Sebagian besar mereka yang memilih menjadi pelacur, menggelandang atau perbuatan dosa justru berakar dari ketidak pedulian kita. Mulai ketidak pedulian dari orang sekitar, bahkan orang tuanya.” Alishba sendiri terdiam mendengar narasi itu. Dia percaya jika Faris bukanlah pemuda yang arogan serperti yang lain.
“Insya Allah Faris anak baik. Hanya saja, dia sedang terluka.” Alishba menatap wajah pemuda yang sungguh tampan. Muhammad Faris Audah, nama yang begitu indah.
***
“Faris, tunggu Nak.”
“Faris sudah mati. Dia dikubur hidup-hidup oleh papanya delapan belas tahun yang lalu.” Suara itu mengejutkan semua orang yang berada di ruangan itu, tak terkecuali seorang perempuan. Dayat dan Aldi langsung mendekat juga menenangkan kondisi emosi Faris.
“Faris, sudahlah. Kita pergi saja.” Faris akhirnya diajak keluar oleh mereka berdua. Hikam sendiri terus berusaha mencegah sang putra keluar.