“Amin, kulihat kemarin kau sempat bersama Faris. Kalian sudah baikan?”
“Alhamdulillah Sukma. Awalnya memang dia masih mencurigaiku. Tapi, setelah aku semalam membantunya untuk istirahat, Alhamdulilah udah enggak.” Sukma sendiri hanya tersenyum melihat kedua temannya sudah baikan. Dia berharap jika Amin sendiri mampu menghadapi Faris dengan semua gejolak emosinya.
“Kau jangan gampang tersinggung kalau lagi menghadapi Faris! Bersikaplah lebih dewasa darinya! Aku yakin Amin pasti bisa ungtuk menemani dan membantunya.” Amin sendiri mengiyakan.
Tak lama, Faris sendiri datang dan siap untuk latihan kali ini. Latihan ditengah hari yang mendekati waktu penampilannya. Amin sendiri memastikan jika kondisi Faris sudah lebih sehat dari sebnelumnya.
“Gak perlu khawatir. Aku udah sehat Kak. Aku siap latihan kok hari ini.” Amin sendiri akhirnya membiarkan Faris untuk nikut latihan bersama teman-temannya. Dia hanya melihatnya dari kejauhan. Tampak dia sendiri begitu senang dan dominan diantara teman-termanya.
Amin sendiri memutuskan untuk pergi dan melanjutkan kegiatannya yang lain. Faris sendiri yang tak melihat keberadaan Amin di depan sanggar hanya terdiam. Dia sendiri sebenarnya ingin waktu yang lebih banyak dengan Amin.
“Faris, kau kenapa?”
“Kak Amin kemana ya?”
“Mungkin dia ingin ketemu adik-adiknya.”
“Kak Amin kan anak terakhir, punya adik dari mana?” Sukma sendiri tersenyum dengan terkejutnya Faris.
“Faris, Amin dan kamu itu ada persamaan. Kalian sama-sama punya adik selain adik kandung. Adik yang dia bina lumayan banyak lho. Memang sih gak seperti kamu yang tipikalnya seperti itu. Kapan-kapan, kita main lah ke tempat dia ngajar.” Faris sendiri hanya mengiyakan. Dia sendiri juga ingin mempersiapkan bahan untuk pelatihan orang yang baru dirazia satpol pp beberapa hari yang lalu.
Setelah semua urusannya selesai, Faris sendiri terdiam. Banyak hal yang dia belum mengerti dalam hidupnya. Kenapa harus ada orang yang tak berungtung? Kenapa ada orang yang tega menghina dan memandang sebelah mata orang-orang seperti mereka?
“Faris, kok melamun saja? Pulang yuk! Aku boleh mampir ke tempatmu?” Faris sendiri hanya mengiyakan ajakan Dayat. Faris banyak bercerita tentang sosok Amin yang akhir-akhir ini mendekatinya. Semalam dia banyak membantu dan menginap untuk dirinya. Dayat sendiri hanya mendengar semua cerita Faris hingga tuntas sebelum mengomentarinya.
“Amin yang kemarin kau ajak itu bukan sih?” Faris mengiyakan. Dayat sendiri senang jika memang ada teman yang lebih dekat dengannya. Dia beranggapan jika hal itu memang Faris butuhkan.
“Faris, aku sempat berbincang dengannya kemarin. Sepertinya dia anak baik. Gak perlu takut dia berbuat macam-macam. Insya Allah Amin akan jadi teman yang baik bagimu.” Faris sendiri berharap demikian. Dia sendiri sebenarnya masih dibayangi rasa takut dengan apa yang pernah terjadi dalam hidupnya.
“Faris, aku tau apa yang pernah kau alami. Aku tau kalau melupakan dan mengikhaskan hal itu gak mudah. Tidak seperti membalik telapak tangan. Tapi aku yakin, seorang Faris pasti bisa untuk melakukannya.” Faris sendiri berterima kasih atas hal itu.
Mereka menyempatkan diri untuk sholat di masjid yang dekat dengan rumah Faris. Setelah sholat, tampak sekumpulan anak yang sedang bermain. Tampak raut wajah penuh gembira terpancar.
Faris sendiri terdiam dengan apa yang dia lihat. Anak-anak itu masa kecilnya tak seperti dirinya. Masa kecil mereka begitu senang. Masa kecilnya tak diwarnai dengan bayangan kelam yang pernah terjadi. Tak lama, bola yang mereka buat main terlempar dan berhenti tepat disamping Faris.