Dayat sendiri berpamitan pulang. Amin sendiri akhirnya menemani anak-anak itu sampai mereka memutuskan untuk membubarkan diri. Setelah semuanya selesai, Amin memutuskan untuk menemui Faris yang sepertinya sedang latihan tipis-tipis.
“Aku mengganggumu?”
“Enggak. Aku baru mau mulai Latihan sendiri.” Amin sendiri akhirnya membiarkan Faris latihan. Gerakannya begitu bagus. Pantas saja banyak orang yang begitu menyukai.
Amin kangsung mendekat pada Faris ketika sudah selesai. Banyak hal yang dia bicarakan padanya, termasuk dengan kegiatan sehari-hari. Dia bercerita jika awal mula belajar dance karena diajak Dayat.
“Saat itu masih SMP. Dia lihat aku sedang mengintip di sebuah sanggar. Akhirnya aku diajak. Dari situ aku mulai latihan.” Amin sendiri mendengar semua yang Faris ceritakan. Banyak hal yang membuat dirinya kagum dengan sosok Faris.
“Gak pernah satu timn gitu sama Dayat?”
“Selama SMP kami satu grup. Tapi masuk SMA, kita pisah. Tapi, kalo sama Sukma, memang sejak awal masuk sanggar kami satu tim.” Amin sendiri tak sabar untuk melihat penampilan Faris. Sebenarnya, Faris sendiri malu dengan beberapa pujian yang Amin lontarkan.
“Itu bukan berlerbihan. Itu nyata. Aku harap, semoga papa kamu semakin menyesal telah meninggalkanmu saat itu.” Faris sendiri langsung terdiam. Orang yang baru saja Amin sebut membuat dada Faris begitu sesak. Sesak dengan amarah, kesedihan dan kekecewaaan. Dia tak pernah ingin bertemu bahkan sekedar mendengar namanya.
“Jangan pernah menyebut orang itu!” Amin sendiri tak berani berkomentar. Faris sendiri akhirnya masuk dan langsung menangis. Amin sendiri menenangkannya dan meminta maaf.
Tak lama, Khadijah pulang. Dia tampak terkejut melihat anaknya menangis disamping Amin.
“Ada apa ini?”
“Maaf Tante, saya yang membuat Faris menangis.” Khadijah sendiri tak ingin langsung menyalahkan Amin. Dia tau jika Faris emosinya bisa naik turun begitu cepat.
“Apa yang terjadi?”
Amin sendiri langsung bercerita jika dirinya tak sengaja menyebut papanya Faris. Khadijah sendiri mengerti. Amin tidak salah dalam posisi saat ini. Memang, sejak kejadian beberapa tahun silam, Faris tak ingin mendengar apapun terkait sang papa, walaupun hanya sekedar nama.
“Faris, sampai kapan kau akan seperti ini Nak? Kita gak bisa menyimpan luka itu begitu lama. Mama tau bagaimana sakit hatimu. Tapi, kau tak mau hidup tanpa kebencian itu?”
“Dia yang memulai Ma. Kalau dia tak berbuat seperti itu tak mungkin ada rasa sakit ini. Aku tau mungkin masa lalu Mama kelam. Aku bisa memaafkan masa lalu Mama. Tapi Papa sudah menghina dan merendahkan harga diri Mama. Dia bukan papaku. Dia gak ada bedanya dengan lelaki hidung belang di lokalisasi.” Khadijah dan Amin sendiri tak berani berkomentar. Amin sendiri langsung memeluk Faris dan berusaha menenangkannya.
“Faris istirahat dulu ya! Kemarin kan tekanan darahmu cukup tinggi. Jangan marah-marah terus!” Amin mengantar Faris menuju kamarnya. Mereka membiarkannya istirahat untuk beberapa saat.
“Amin, yang sabar ya kalau menghadapi Faris! Emosinya memang seperti itu. Aku sendiri sebagai mamanya sudah gak tau lagi harus bagaimana agar dia bisa mengontrol emosinya.” Amin sendiri hanya mengiyakan dan mencoba memahami.