A Missing Part

Rara Rahmadani
Chapter #3

Bagian Dua

Matahari memancarkan panasnya dengan terik. Siang ini daerah kawasan perkantoran elite di Pekanbaru cukup ramai. Berberapa orang terlihat duduk dihalte sembari menunggu Bus Metro Pekanbaru. Mobil-mobil juga terlihat begitu kencang—mengejar waktu jam makan siang—, Motor juga terlihat menyempil diantara mobil-mobil itu.

Jalan Sudirman kembali macet seperti pagi tadi.

Nadila mengendarai motornya cukup kencang. Berberapa kali ia meletakkan tangan kirinya ke pahanya karena sengatan matahari terasa cukup perih. Sementara, tangan kanannya sudah terlihat memerah seperti terkena sunburn.

Saat melewati kawasan MTQ, Nadila tak sengaja melirik spion motornya. Dibelakangnya terlihat sebuah mobil Avanza berwarna putih yang terlihat seperti mengikuti Nadila.

Merasa ketakutan, Nadila memacukan motornya seperti orang yang sedang kesetanan. Berberapa kali ia meliuk-liuk saat menghindari kendaraan dihadapannya. Namun mobil yang berada dibelakang Nadila juga tak ingin kalah. Berberapa kali mobil itu membunyikan klakson, meminta jalan kepada kendaraan lain.

Nadila membelokkan motornya ke sebuah jalan kecil yang berada di dekat Bandara Sultan Syarif Kasim II. Berkali-kali ia memasuki gang kecil. Ia kembali melirik ke spion dan ternyata mobil tersebut masih mengikutinya.

Gila.

Nadila kembali memacukan motornya kemudian memasuki sebuah gang kecil yang ia kira hanya motor saja yang bisa masuk. Namun ternyata ia salah besar, mobil tersebut masih bisa mengikutinya.

“Ini kenapa sih, kenapa mereka mau menculik aku? Apa mau nembak aku lagi?” ucap Nadila. Berberapa tetes keringat mengalir diwajahnya. Ia terlihat begitu takut apalagi mengingat kejadian kemarin yang masih membekas di otaknya.

Begitu terlihat tembok menjulang tinggi dan berberapa pohon, Nadila langsung memberhentikan motornya. Ia melihat ke arah kanan dan kiri dan hanya terlihat semak belukar.

Sial! Ini jalan buntu!

Nadila mendengar suara mobil yang semakin dekat dengan tempat ia berada. Ia melirik kearah semak belukar dan ia melihat sebuah kayu panjang. Nadila mengambil kayu tersebut. Setidaknya ia harus bisa membela diri meskipun ia tahu itu akan sia-sia.

Mobil itu berhenti tepat dihadapan Nadila. Nadila memegang kayu tersebut dengan kuat. Hormon Adrenalinnya terpacu saat melihat berberapa orang berpakaian hitam keluar dari mobil tersebut.

Seseorang yang tingginya sekitar 187 cm dan memakai kemeja hitam mendekati Nadila. Sontak, Nadila bergerak mundur. Laki-laki itu membuka kacamata hitamnya dan terlihat wajahnya yang Nadila perkiraan masih berumur 22 tahun.

“Tenang Nadila. Gue gak minat untuk menculik lo,”ucap Laki-laki itu dengan suara lembut.

Nadila melotot. Bagaimana bisa laki-laki asing didepan ini bisa tahu namanya?

“Gue disini mengajak lo buat bekerja sama,” Ucap laki-laki itu lagi.

Mendengar suara laki-laki itu, Nadila sedikit merasa lega. Meskipun merasa lega, Nadila tidak boleh lengah. Laki-laki yang dihadapannya memakai pakaian serba hitam seperti orang yang menodongkan pistol kepadanya kemarin. Nadila memegang kayu semakin erat, “Apa?”

Laki-laki itu melirik ke arah kanan dan kirinya, “Jangan bicara disini. Berbahaya. Ini tugas negara.”

Nadila melongo saat laki-laki itu menekankan ucapannya yang mengenai tugas negara. Hah? Tugas negara apa? Bagaimana bisa seorang warga sipil seperti Nadila dimintai kerjasama mengenai tugas negara? Laki-laki dihadapannya pasti sudah sinting.

Lihat selengkapnya