Gedung dihadapan Nadila sekarang ini memang terlihat sedikit menyeramkan. Meskipun begitu, namun sebenarnya gedung itu terlihat bersih dan asri. Di sisi depan gedung itu tergambar sebuah logo khas dari Badan Intelijen Negara yang berbentuk lingkaran. Terlihat juga berberapa petugas keamanan yang terlihat mondar-mandir, seakan-akan menambah citra menyeramkan gedung itu.
Dengan penuh ragu, Nadila berjalan memasuki gedung itu. Sementara, Arfid mengikutinya dari belakang. Saat hendak membuka pintu gedung, Nadila mendadak teringat sesuatu sebelum ia melakukan penerbangan ke Jakarta.
“Sini serahin semua identitas lo. KTP, SIM, HP dan KTM,” Ucap Arfid saat berada di bandara.
“Lo gila? Gimana caranya gue bisa terbang kalau gak ada identitas?” tanya Nadila jengkel.
“Udah ah, buruan sini,” Balas Arfid.
Nadila berhenti tepat didepan pintu gedung BIN itu. Tangannya kemudian mengambil sesuatu didalam saku jacketnya. Nadila melihat KTP yang diberikan Arfid berberapa jam sebelum check-in.
Azalea Paramita Salsabila.
Nama itu tertulis di KTP yang sedang Nadila pegang. Nadila kemudian melihat foto yang tercantum pada KTP itu. Foto itu terlihat begitu mirip dengannya. Nadila heran bagaimana bisa Arfid mendapatkan fotonya. Dan yang lebih membuatnya penasaran, apakah tidak apa-apa jika ia memakai identitas palsu?
Nadila membalikkan badannya kemudian menunjukkan KTP itu kepada Arfid, “Kenapa nama gue disini Azalea? Bukan Nadila?”
Arfid tidak menggubris pertanyaan Nadila. Ia justru menarik tangan Nadila kemudian membawanya masuk kedalam gedung itu.
****
Ruangan itu terlihat agak sedikit gelap namun Nadila masih bisa melihat isi ruangan itu. Didalam ruangan itu, terlihat berberapa pria separuh baya dan seorang wanita yang sedang duduk pada meja panjang yang berwarna hitam. Sementara, disisi depan meja itu terlihat sebuah proyektor dan sisi belakang meja itu diisi oleh dua laki-laki yang berdiri tegap sambil memegang senjata.
Nadila mendadak kikuk saat memasuki ruangan itu. Apalagi saat ia melirik ke arah laki-laki yang memegang senjata.
Seorang wanita yang masih berusia sekitar 25 tahun mendadak berdiri kemudian menghampiri Nadila yang masih terdiam di pintu masuk ruangan itu, “Ayo masuk, Nadila. Kita harus rapat.”
Nadila mengangguk kecil kemudian berjalan mengikuti wanita itu. Semua mata tertuju kepadanya sehingga membuat Nadila sedikit merasa takut. Nadila memilih duduk disamping wanita itu, sementara Arfid duduk di hadapannya.
Seorang pria separuh baya yang menggunakan jas berwarna dongker berdiri dari tempat duduknya, “Ya, karena berhubung Nadila sudah hadir. Saya langsung saja ya.”